بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak perlu berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati dan cukup menjatuhkan ke tanah seperti orang bodoh atau seperti daging yang diletakkan di atas papan pencincang. Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam syariat.
Syariat
memuji orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak dalam gerakan
hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba itu bisa berupa
mendatangkan manfaat yang belum didapat seperti mencari penghidupan, ataupun
menjaga apa yang sudah ada, seperti menyimpan. Usaha itu juga bisa untuk
mengantisipasi bahaya yang datang, seperti menghindari serangan, atau bisa juga
menyingkirkan bahaya yang sudah datang seperti berobat saat sakit. Aktivitas
hamba tidak lepas dari empat gambaran berikut ini:
~Gambaran Pertama : Mendatangkan
manfaat~
Adapun sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat ada tiga tingkatan:
1. Sebab
yang pasti, seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan penyebab yang memang
sudah ditakdirkan Allah dan berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu kaitan yang
tidak mungkin ditolak dan disalahi.
- Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu,
sementara engkau pun dalam keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan
ke makan itu seraya berkata, “Aku orang yang bertawakal. Syarat tawakal adalah
meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan ke makan adalah usaha, begitu
pula mengunyah dan menelannya”
.
-Tentu saja ini merupakan ketololan yang nyata
dan sama sekali bukan termasuk tawakal. Jika engkau menunggu Allah menciptakan
rasa kenyang tanpa menyantap makanan sedikit pun, atau Dia menciptakan makanan
yang dapat bergerak sendiri ke mulutmu, atau Dia menundukkan malaikat untuk
mengunyah dan memasukkan ke dalam perutmu, berarti engkau adalah orang yang
tidak tahu Sunnatullah.
Begitu
pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar Allah menciptakan
tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat melahirkan tanpa
berjima’, maka semua itu adalah harapan yang konyol. Tawakal dalam kedudukan
ini bukan dengan meninggalkan amal, tetapi tawakal ialah dengan ilmu dan
melihat keadaan.
-Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui bahwa
Allahlah yang menciptakan makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk
bergerak, dan Dialah yang memberimu makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan,
hendaknya hati dan penyandaranmu hanya kepada karunia Allah, bukan kepada
tangan dan makanan. Karena boleh jadi tanganmu menjadi lumpuh sehingga engkau
tidak bisa bergerak atau boleh jadi Allah menjadikan orang lain merebut
makananmu. Jadi mengulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.
2. Sebab-sebab
yang tidak meyakinkan, tetapi biasanya penyebabnya tidak berasal dari yang lain
dan sudah bisa diantisipasi.
-Misalnya orang yang meninggalkan tempat tinggalnya
dan pergi sebagai musafir melewati lembah-lembah yang jarang sekali dilewati
manusia. Dia berangkat tanpa membawa bekal yang memadai. Orang seperti ini sama
dengan orang yang hendak mencoba Allah. Tindakannya dilarang dan dia
diperintahkan untuk membawa bekal. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bepergian, maka beliau membawa bekal dan juga mengupah penunjuk jalan
tatkala hijrah ke Madinah.
3, Menyamarkan
sebab-sebab yang diperkirakan akan menyeret kepada penyebab, tanpa disertai
keyakinan yang riel, seperti orang yang membuat pertimbangan secara terinci dan
teliti dalam suatu usaha. Selagi tujuannya benar dan tidak keluar dari batasan
syariat, maka hal ini tidak mengeluarkannya dari tawakal. Tapi dia bisa dikategorikan
orang-orang yang ambisius jika maksudnya utnuk mencari kehidupan yang melimpah.
Namun meninggalkan perencanaan sama sekali bukan termasuk tawakal, tetapi ini
merupakan pekerjaan para penganggur yang ingin hidup santai, lalu beralasan
dengan sebutan tawakal.
Umar Radhiyallahu Anhu berkata,
“Orang yang bertawakal ialah yang menyemai benih di tanah lalu bertawakal kepada Allah.”
~Gambaran Kedua~
Mempertimbangkan
sebab dengan menyimpan barang. Siapa yang mendapatkan makan pokok yang halal,
yang andaikan dia bekerja untuk mendapatkan yang serupa akan membuatnya sibuk,
maka menyimpan makan pokok itu tidak mengeluarkannya dari tawakal, terlebih
lagi jika dia mempunyai tanggungan orang yang harus diberi nafkah.
Di dalam
Ash-Shahihain disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjual kebun korma Bani Nadhir, lalu
menyimpan hasil penjualannya untuk makanan pokok keluarganya selama satu tahun.
Jika ada
yang bertanya, “Bagaimana dengan tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang melarang Bilal untuk menyimpan harta?”.
Jawabnya:
Orang-orang fakir dari kalangan shahabat di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tak ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan harta jika dijamin tidak akan
lapar? Bahkan bisa dijawab sebagai berikut: Keadaan Bilal dan orang-orang yang
semacam dia dari Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di emperan) memang tidak
selayaknya untuk menyimpan harta. Jika mereka tidak terima, maka celaan tertuju
pada sikap mereka yang mendustakan keadaan mereka sendiri, bukan pada masalah
menyimpan harta yang halal.
~Gambaran Ketiga~
Mencari
sebab langsung untuk menyingkirkan mudharat. Bukan termasuk syarat tawakal jika
meninggalkan sebab-sebab yang dapat menyingkirkan mudharat. Misalnya, tidak
boleh tidur di sarang binatang buas, di tempat aliran air, di bawah tembok yang
akan runtuh. Semua ini dilarang.
Tawakal
juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat pertempuran, menutup
pintu pada malam hari dan mengikat onta dengan tali. Allah berfirman,
“Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata”.
(An-Nisa’:102)
Ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat ontaku dan bertawakal, ataukah aku melepasnya dan bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikatlah dan bertawakallah”.
(Diriwayatkan At-Tirmidzy)
Bertawakal dalam hal-hal ini adalah yang berkaitan dengan penyebab dan bukan pada sebab serta ridha terhadap apapun yang ditakdirkan Allah. Jika barang-barangnya dicuri orang, padahal andaikata ia waspada dan hati-hati tidak akan tercuri, lalu dia pun mengeluh setelah itu, maka nyatalah keadaannya yang jauh dari tawakal.
Ketahuilah
bahwa takdir itu seperti dokter. Jika ada makanan yang datang, maka dia gembira
dan berkata, “Kalau bukan karena takdir itu tahu bahwa makanan adalah
bermanfaat bagiku, tentu ia tidak akan datang.” Kalau pun makanan itu pun tidak
ada, maka dia tetap gembira dan berkata, “Kalau tidak karena takdir itu tahu
bahwa makanan itu membuatku tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku.”
Siapa
yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan orang sakit terhadap
dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan benar. Jika
barang-barangnya dicuri, maka dia ridha terhadap qadha’ dan menghalalkan
barang-barangnya bagi orang yang mengambilnya, karena kasih sayangnya terhadap
orang lain, yang boleh jadi adalah orang Muslim. Sebagian orang ada yang
mengadu kepada seorang ulama, karena dia dirampok di tengah jalan dan semua
hartanya dirampas. Maka ulama itu berkata, “Jika engkau lebih sedih memikirkan
hartamu yang dirampok itu daripada memikirkan apa yang sedang terjadi di
kalangan orang-orang Muslim, lalu nasehat macam apa lagi yang bisa kuberikan
kepada orang-orang Muslim?”
~Gambaran
keempat~
Usaha
menyingkirkan mudharat, seperti mengobati penyakit yang berjangkit dan
lain-lainnya. Sebab-sebab yang bisa menyingkirkan mudharat bisa dibagi menjadi
tiga macam:
1. Yang
pasti, seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang menghilangkan lapar.
Meninggalkan sebab ini sama sekali bukan termasuk tawakal.
Yang disangkakan, seperti operasi, berbekam, minum urus-urus dan lain-lainnya. Hal ini juga tidak mengurangi makna tawakal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berobat dan menganjurkan untuk berobat. Banyak orang-orang Muslim juga melakukannya, namun ada pula di antara mereka yang tidak mau berobat karena alasan tawakal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu, tatkala dia ditanya,
“Bagaimana jika kamu memanggilkan tabib untuk mengobatimu?” Dia menjawab, “Tabib sudah melihatku.”, “Apa katanya?”, tanya orang itu. Abu Bakar menjawab, “Katanya, ‘Aku dapat berbuat apa pun yang kukehendaki’.” Al-Mushannif Rahimahullah berkata, “Yang perlu kami tegaskan bahwa berobat adalah lebih baik. Keadaan Abu Bakar itu bisa ditafsiri bahwa sebenarnya dia sudah berobat, dan tidak mau berobat lagi karena sudah yakin dengan obat yang diterimanya, atau mungkin dia sudah merasa ajalnya yang sudah dekat, yang dia tangkap dari tanda-tanda tertentu.” Yang perlu diketahui, bahwa berbagai macam obat telah dihamparkan Allah di bumi ini.
2. Sebabnya hanya sekedar kira-kira, seperti menyundut dengan api. Hal ini termasuk sesuatu yang keluar dari tawakal.
-Sebab Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mensifati orang-orang yang bertawakal sebagai orang-orang yang tidak suka
menyundut dengan api.
-Sebagian ulama ada yang menakwili, bahwa yang dimaksudkan
menyundut dalam sabda beliau, “Tidak menyundut dengan api”, ialah cara yang
biasa dilakukan semasa Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa menyundut dengan api
dan membaca lafazh-lafazh tertentu selagi dalam keadaan sehat agar tidak jatuh
sakit. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca ruqyah
kecuali setelah ada penyakit yang berjangkit. Sebab beliau juga pernah
menyundut As’ad bin Zararah Radhiyallahu Anhu. Sedangkan mengeluh sakit
termasuk tindakan yang mengeluarkan dari tawakal.
-Orang-orang salaf sangat
membenci rintihan orang yang sakit, karena rintihan itu menerjemahkan keluhan. Al-Fudhail berkata,
“Aku suka sakit jika tidak ada yang menjengukku.”
Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad,
“Bagaiman keadaanmu?” Al-Iman Ahmad berjawab, “Baik-baik.” “Apakah semalam engkau demam?” tanya orang itu. Al-Imam Ahmad berkata, “Jika sudah kukatakan kepadamu bahwa aku dalam keadaan baik, janganlah engkau mendorongku kepada sesuatu yang kubenci.” Jika orang sakit menyebutkan apa yang dia rasakan kepada tabib, maka hal itu diperbolehkan. Sebagian orang-orang salaf juga melakukan hal ini. Di antara mereka berkata, “Aku hanya sekedar mensifati kekuasaan Allah pada diriku.” Jadi dia menyebutkan penyakitnya seperti menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa syukur atas penyakit itu, dan itu bukan merupakan keluhan. Kami meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Aku sakit demam seperti dua orang di antara kalian yang sakit demam”.
(Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)
[Dinukil dari “Muhtashor Minhajul Qoshidin, Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin, Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk”.]
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar