Kamis, 11 Juli 2013

TUNTUNAN SHOLAT MALAM (2)


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

HUKUM SEPUTAR SHOLAT MALAM
Oleh : Al-‘Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi



A.SYARIAT SHALAT TARAWIH HANYA PADA BULAN RAMADHAN

Perlu diketahui bahwa shalat Tarawih ini hanya dikerjakan pada bulan Ramadhan berdasarkan keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ [Muttafaqun ‘alaihi] bahwa shalat Tarawih secara berjamaah ini dilakukan oleh beliau pada bulan Ramadhan.

Bertolak dari sini, tampaklah kesalahan sebagian orang yang sering melaksanakan qiyamul lail secara berjamaah di luar Ramadhan. Memang, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam kadang mengerjakan qiyamul lail secara berjamaah di rumahnya bersama Ibnu ‘Abbas, pernah bersama Ibnu Mas’ud, dan pernah pula bersama Hudzaifah.

Namun, beliau tidak mengerjakan hal tersebut terus menerus dan tidak pula mengerjakannya di masjid.  Oleh karena itu, barangsiapa yang mengerjakan qiyamul lail secara berjamaah di luar Ramadhan secara terus menerus atau mengerjakannya di masjid, tidak diragukan bahwa perbuatannya termasuk perkara bid’ah yang tercela. Demikian keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’.




B. HUKUM SHALAT TARAWIH
  • Imam An-Nawawy rahimahullaah berkata, “Dan (hukum) shalat Tarawih adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama.” [Dari Al-Majmû’, Baca jugalah Syarh Muslim]
  • Ibnu Rusyd berkata pula, “Dan (para ulama) bersepakat bahwa qiyâm Ramadhan sangat dianjurkan lebih dari (qiyâm pada) bulan lain.” [Bidayâtul Mujtahid]
  • Ibnu Qudâmah berkata, “(Hukum shalat Tarawih) itu adalah sunnah muakkadah, dan yang awal kali menyunnahkannya adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” [Al-Mughny]
  • Al-Mardawy juga memberi pernyataan yang sama dalam madzhab Hanbaliyah, namun, beliau menyebutkan bahwa Ibnu ‘Aqîl menghikayatkan dari Abu Bakr Al-Hanbaly akan kewajiban ibadah tersebut. [Al-Inshâf]

Oleh karena itu, tidaklah diragukan bahwa hukum shalat Tarawih adalah sunnah muakkadah berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut di atas.




C. MASA'IL (PERMASALAHAN) :

>>>Mana Lebih Utama, Shalat Tarawih Secara Berjamaah atau Sendirian?
Para ulama berselisih pendapat tentang cara yang lebih afdhal dalam pelaksanaan shalat Tarawih, apakah dilakukan secara berjamaah di masjid atau sendirian di rumah?

Ada dua pendapat di kalangan ulama:
  1. lebih afdhal secara berjamaah. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iy dan kebanyakan pengikutnya, Ahmad, Abu Hanifah, sebagian orang-orang Mâlikiyah, dan selainnya. Ibnu Abi Syaibah menukil pelaksanaan secara berjamaah dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Suwaid bin Ghafalah, Zadzân, Abul Bakhtary, dan lain-lain. Alasannya adalah bahwa ibadah ini merupakan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan oleh ‘Umar dan para shahabat radhiyallâhu ‘anhum, serta sudah menjadi simbol agama yang tampak seperti shalat ‘Ied. Bahkan, Ath-Thahâwy berlebihan sehingga mengatakan bahwa shalat Tarawih secara berjamaah adalah wajib kifayah.
  2. Secara sendirian lebih afdhal. Ini adalah pendapat Imam Mâlik, Abu Yusuf, sebagian orang-orang Syâfi’iyyah, dan selainnya. Alasannya adalah hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi, “Sesungguhnya, sebaik-baik shalat seseorang adalah (dikerjakan) di rumahnya, kecuali terhadap shalat wajib.” [Muttafaqun ‘alaihi]. Tarjih (Penguatan salah satu dalil)


Wallahu a’lam, pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat pertama berdasarkan hadits Abu Dzar Al Ghifary radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya seorang lelaki, apabila mengerjakan shalat bersama imam sampai selesai, terhitung mengerjakan qiyâm satu malam.” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzâq, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Ad-Dârimy, Ibnul Jârûd, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, Ibnu Mâjah, Ibnu Abid Dunyâ, Ath-Thahâwy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbân, Al-Baihaqy, dan Ibnu Abdil Barr. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dan Syaikh Muqbil]
Selain itu, pensyariatan pelaksanaan sebuah shalat secara berjama’ah tentu karena mempunyai nilai lebih bila dilakukan secara sendirian. Wallâhu A’lam.




D. WAKTU PELAKSANAAN SHALAT LAIL DAN TARAWIH

~Awal Waktu~
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “(Yang termasuk) sunnah dalam shalat Tarawih (adalah) dilaksanakan setelah shalat Isya sebagaimana kesepakatan salaf dan para imam …, dan tidaklah para imam mengerjakan shalat (Tarawih) kecuali setelah Isya pada masa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâ` Ar-Râsyidîn. Di atas hal inilah para imam kaum muslimin (bersepakat)….” [Majmû’ Al-Fatâwâ]

Ibnul Mundzir juga berkata, “Ahlul ‘Ilmi telah bersepakat bahwa (waktu) antara shalat Isya sampai terbitnya fajar adalah waktu untuk (shalat) Witir.”

Maka ukuran awal waktu pelaksanaan qiyâm adalah setelah shalat Isya, baik shalat Isya-nya pada awal, pertengahan atau akhir waktunya.




~Awal Waktu bagi Musafir yang Telah Menjamak Shalat~
Demikian pula -menurut keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan selainnya- bahwa shalat Tarawih boleh dilaksanakan oleh seorang musafir bila ia telah menjamak taqdim shalat Isya dan shalat Maghrib.  Hal ini berdasarkan hadits Abu Bashrah radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Sesungguhnya Allah telah menambahkan suatu shalat untuk kalian, yaitu Witir, maka laksanakanlah shalat itu antara shalat Isya sampai Shubuh.” 
[Diriwayatkan oleh Ahmad, Ath-Thahâwy, Ibnu Qâni, Al-Hârits bin Abi Usâmah, dan Ath-Thabarâny. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny.] 

Juga dalam hadits Kharijah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah melapangkan kalian dengan suatu shalat yang lebih baik daripada unta merah bagi kalian, yaitu shalat Witir. (Allah) telah menjadikan (shalat) tersebut untuk kalian (agar dikerjakan) antara Isya sampai fajar terbit.” 
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Mâjah, Ad-Dârimy, Ath-Thahâwy, Ad-Dâraquthny, Al-Hâkim, Ath-Thabarâny, dan Al-Baihaqy. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny.]


==> Pendapat Lemah :
Ada satu sisi pendapat lemah di kalangan pengikut madzhab Syâfi’iyyah juga fatwa sebagian orang-orang belakangan dari kalangan Hanbaliyah yang menyatakan kebolehan mengerjakan shalat Witir sebelum pelaksanaan shalat Isya.

Tentunya hal itu adalah pendapat yang sangat lemah, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, 

“Barangsiapa yang mengerjakan (shalat Tarawih) itu sebelum (mengerjakan shalat) Isya, ia telah menempuh jalan para pengikut bid’ah yang menyelisihi sunnah.” 



~Kalau Shalat Witir Dikerjakan Sebelum Melaksanakan Shalat Isya dalam Keadaan Lupa~
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang mengerjakan shalat Witir sebelum melaksanakan shalat Isya dalam keadaan lupa atau ia menyangka telah melaksanakan shalat Isya, apakah shalat Witirnya diulang kembali atau tidak?

Ada dua pendapat di kalangan ulama:
  1. Diulangi kembali. Ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni Al-Auzâ’iy, Mâlik, Asy-Syâfi’iy, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad, dan lain-lain.
  2. Tidak diulangi. Ini adalah pendapat Sufyân Ats-Tsaury dan Abu Hanîfah.


Tarjih :

Tidak diragukan bahwa yang lebih kuat adalah pendapat pertama berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan.


~Waktu Pelaksanaan Shalat Lail dan Tarawih di Akhir Waktu~
Para ulama bersepakat bahwa seluruh malam sampai fajar Shubuh terbit adalah waktu pelaksanaan shalat Witir. 

Namun, ada perselisihan pada batasan akhir waktu shalat Witir, dan ada beberapa pendapat di kalangan ulama :

  1. Akhir waktunya adalah sampai fajar Shubuh terbit. Ini adalah pendapat Sa’îd bin Jubair, Makhul, ‘Athâ`, An-Nakha’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, serta riwayat yang paling masyhur dari Asy-Syâfi’iy dan Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan pula dari ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Abu Musâ, dan Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhum.
  2. Akhir waktunya adalah sepanjang seseorang belum melaksanakan shalat Shubuh, meskipun fajar Shubuh telah berlalu. Ini adalah pendapat Al-Qâsim bin Muhammad, Mâlik, Asy-Syâfi’iy -dalam madzhab terdahulunya- dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini juga merupakan pendapat Ishâq bin Râhawaih, Abu Tsaur, dan lain-lain. Pendapat ini diriwayatkan pula dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ubâdah bin Shamid, Hudzaifah, dan lain-lain.


Tarjih :

Yang lebih kuat adalah pendapat pertama karena dua hadits yang penyebutannya telah berlalu di atas sangatlah tegas menunjukkan bahwa akhir waktu pelaksanaan shalat Witir adalah sampai fajar shubuh terbit. Selain itu, dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, ketika ditanya tentang kaifiyah shalat Lail, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“(Shalat malam dikerjakan sebanyak) dua (rakaat)-dua (rakaat). Apabila engkau khawatir bahwa waktu shubuh (telah masuk), kerjakanlah shalat sebanyak satu rakaat dan jadikanlah akhir shalatmu (sebagai shalat) witir.”  [Muttafaqun ‘alaihi]


Ada pun pendapat kedua, Ibnu Rajab menyebutkan beberapa dalil, yang menjadi landasan mereka, dan menerangkan kelemahan dalil tersebut, kemudian menyatakan, “Di atas anggapan bahwa hadits-hadits ini shahih atau sebagiannya (shahih), maka maknanya diarahkan kepada (pembolehan untuk) mengqadha shalat Witir setelah waktunya berlalu, yaitu malam hari, BUKAN menunjukkan bahwa masih (ada) waktu (untuk mengerjakan shalat Witir) setelah fajar (Shubuh).”

Patut untuk dicermati bahwa, pada halaman sebelumnya, dari Ibnu ‘Abdil Barr, beliau juga menyebutkan bahwa mungkin maksud yang diinginkan oleh orang-orang yang memberikan pendapat kedua, tentang pembolehan pelaksanaan shalat Witir setelah fajar terbit, adalah bagi orang yang lupa mengerjakan shalat Witir, bukan untuk orang yang sengaja mengakhirkan shalat Witir sampai waktu shalat tersebut berlalu.



E. QODHO SHOLAT WITIR

Dalam pembahasan qadha shalat Witir, memang ada persilangan pendapat di kalangan ulama, namun, secara umum, simpulan Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rajab di atas adalah sangat tepat dan sejalan dengan hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Barangsiapa yang tertidur dari shalat Witirnya atau lupa mengerjakan (shalat Witir)nya, hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut bila ia mengingat shalat itu.” 
[Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Mâjah, Ad-Dâraquthny, Ibnu Syâhîn, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil.]


Ada pun orang yang berudzur sehingga belum melaksanakan shalat Witir sampai shalat Shubuh, ia mengqadha shalat Witirnya setelah matahari terbit dengan menggenapkan jumlah kebiasaan shalat Witirnya. Bila kebiasannya adalah shalat Witir tiga rakaat, ia menggenapkan menjadi empat rakaat. Jika kebiasaannya adalah lima rakaat, ia menggenapkan menjadi enam rakaat, dan seterusnya. Hal tersebut berdasarkan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

“Bila didominasi oleh tidur atau sakit terhadap (pelaksanaan) qiyamul lail, beliau mengerjakan shalat dua belas rakaat pada waktu siang.” 
[Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasâ`iy.] 



F. WAKTU PALING AFDHOL DALAM PELAKSANAAN QIYAM

Ibnu Rajab menyebutkan bahwa banyak shahabat yang mengerjakan shalat Witir pada awal malam. Di antara mereka adalah Abu Bakr, ‘Utsman bin ‘Affân, ‘Â`idz bin ‘Amr, Anas, Râfi’ bin Khajid, Abu Hurairah, Abu Dzar, dan Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhum.

Pendapat ini merupakan salah satu sisi pendapat di kalangan orang-orang Syâfi’iyyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad serta diikuti oleh sebagian orang-orang Hanbaliyah. Alasan mereka adalah untuk lebih berhati-hati.

Namun, jumhur ulama menilai bahwa pelaksanaan shalat Witir pada akhir malam lebih utama. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama salaf seperti ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, dan selain mereka dari kalangan shahabat radhiyallâhu ‘anhum ajma’în. Bahkan, Ibnu Sirîn berkata, “Tidaklah mereka (yaitu para shahabat dan tabiin pada zaman beliau,-pent.) berselisih bahwa pelaksanaan shalat Witir pada akhir malam itu lebih afdhal.”

Pendapat ini pula yang dipegang oleh An-Nakha’iy, Mâlik, Ats-Tsaury, Abu Hanîfah, Ahmad -dalam riwayat yang paling masyhur darinya-, dan Ishâq 

[bacalah uraian pendapat ulama di atas dalam Al-Mughny dan Fathul Bâry karya Ibnu Rajab)]

Tarjih :

Insya Allah, yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan keafdhalan pelaksanaan qiyâm pada akhir malam. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya adalah hadits Jâbir bin ‘Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang khawatir bahwa (dia) tidak akan mengerjakan qiyâm pada akhir malam, hendaknya ia mengerjakan shalat Witir pada awal malam, dan barangsiapa yang bersemangat untuk mengerjakan shalat Witir pada akhir malam, hendaknya ia mengerjakan shalat Witir pada akhir malam, karena shalat pada akhir malam disaksikan.” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rabb kita Tabâraka wa Ta’âlâ turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir (dalam salah satu riwayat Muslim, ‘Ketika sepertiga malam pertama telah berlalu,’ dan riwayat beliau yang lain, ‘Apabila seperdua atau dua pertiga malam telah berlalu.’), kemudian berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkan untuknya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, Aku akan memberikan untuknya, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, Aku akan mengampuninya..” [Muttafaqun ‘alaihi]





~~~~~~~~~~~~~~0000~~~~~~~~~~~~





Tidak ada komentar: