Kamis, 11 Juli 2013

TUNTUNAN SHOLAT MALAM (5)


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

KAIFIYAH SHOLAT WITIR DAN TARAWIH
Oleh : Al-‘Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi



A. KAIFIYAH (TATA CARA) PELAKSANAAN SHALAT WITIR DAN TARAWIH

1.) Shalat Tiga Belas Rakaat Diawali dengan Mengerjakan Dua Rakaat Ringan

Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khâlid Al-Juhany radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim bahwa beliau berkata,

Sungguh saya akan memperhatikan pelaksanaan shalat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada malam hari, maka beliau mengerjakan shalat dua rakaat ringan, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat yang panjang, panjang, panjang sekali, lalu mengerjakan shalat dua rakaat yang lebih pendek daripada dua rakaat sebelumnya, selanjutnya mengerjakan shalat dua rakaat dan keduanya lebih pendek daripada dua rakaat sebelumnya, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat dan keduanya lebih pendek daripada dua rakaat sebelumnya, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan keduanya lebih pendek daripada dua rakaat sebelumnya, selanjutnya mengerjakan shalat Witir. Maka, itu (berjumlah) tiga belas rakaat.” 
[Diriwayatkan oleh Muslim]


Juga dalam hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa beliau berkata,
Adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, apabila berdiri pada malam hari untuk mengerjakan shalat, mengawali (pelaksanaan) shalatnya dengan (mengerjakan) dua rakaat yang ringan.”  [Diriwayatkan oleh Muslim]



2.) Shalat Tiga Belas Rakaat, yang Delapan Rakaat di Antaranya Dikerjakan dengan Bersalam pada Setiap Dua Rakaat, Kemudian Mengerjakan Shalat Witir Lima Rakaat Sekaligus dengan Sekali Tasyahhud dan Sekali Salam

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ,

Adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sebanyak tiga belas rakaat pada malam hari. Beliau mengerjakan shalat Witir pada (malam) itu sebanyak lima (rakaat). Tidaklah beliau duduk (yakni bertasyahud dan bersalam) pada (rakaat) manapun, kecuali hanya pada akhir (shalat)nya.” 
[Diriwayatkan oleh Muslim]



3.) Shalat Sebelas Rakaat, dengan Cara Bersalam pada Setiap Dua Rakaat, Lalu Mengerjakan Shalat Witir Sebanyak Satu Rakaat

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ riwayat Muslim bahwa Aisyah berkata,

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat, antara selesainya dari shalat Isya sampai shalat Fajr (shalat Shubuh), sebelas rakaat. Beliau salam setiap dua rakaat dan mengerjakan shalat Witir dengan satu rakaat.” 
[Diriwayatkan oleh Muslim]



4.) Shalat Sebelas Rakaat dengan Cara Tidak Bertasyahud dan Bersalam, Kecuali pada Rakaat Kedelapan, Kemudian Bertasyahhud Tanpa Bersalam, Lalu Berdiri Kembali untuk Mengerjakan Rakaat Kesembilan Kemudian Salam, Lalu Mengerjakan Shalat Dua Rakaat Lagi dalam Keadaan Duduk

Hal tersebut diterangkan dalam hadits Sa’d bin Hisyâm bin ‘Âmir bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ tentang kaifiyah shalat Witir Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka Aisyah menjelaskan,

“… Maka, beliau bersiwak, berwudhu, dan mengerjakan shalat sebanyak sembilan rakaat. Beliau tidak duduk (yakni bertasyahud dan bersalam), kecuali pada (rakaat) kedelapan. Kemudian, beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya, lalu berdiri dan tidak bersalam. Selanjutnya, beliau berdiri untuk mengerjakan shalat bagi (rakaat) kesembilan lalu duduk, kemudian berdzikir kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya, lalu bersalam dengan (suara) salam yang kami dengar. Kemudian, setelah salam, beliau mengerjakan shalat dua rakaat dalam keadaan duduk. Maka, itu (berjumlah) sebelas rakaat, wahai anakku.

Tatkala Nabi Allah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah berumur dan bertambah dagingnya (baca: bertambah berat), beliau mengerjakan shalat Witir sebanyak tujuh (rakaat) dan mengerjakan hal yang semisal dengan perbuatan beliau yang pertama terhadap dua rakaat (setelahnya), maka itu (berjumlah) sembilan (rakaat) wahai anakku.” 

[Diriwayatkan oleh Muslim]


Dalam Al-Muhallâ, Ibnu Hazm menyebutkan beberapa bentuk lain:

1. Shalat tiga belas rakaat, yaitu bersalam pada setiap dua rakaat, lalu mengerjakan shalat Witir satu rakaat.

2. Shalat delapan rakaat dengan bersalam pada setiap dua rakaat, kemudian ditambah dengan shalat Witir satu rakaat.

3. Shalat enam rakaat dengan bersalam pada setiap dua rakaat, selanjutnya mengerjakan shalat Witir satu rakaat.

4. Shalat tujuh rakaat dengan cara tidak bertasyahhud, kecuali pada rakaat keenam, kemudian langsung berdiri untuk rakaat ketujuh tanpa salam, lalu bertasyahhud dan bersalam.

5. Shalat tujuh rakaat dan tidak duduk untuk bertasyahhud kecuali pada akhirnya.

6. Shalat lima rakaat dan tidak duduk untuk bertasyahhud kecuali pada akhirnya.

7. Shalat tiga rakaat dengan cara duduk tasyahhud dan bersalam pada rakaat kedua, lalu mengerjakan shalat Witir satu rakaat.

8. Shalat tiga rakaat dengan cara tidak duduk tasyahhud dan bersalam, kecuali pada rakaat terakhir. [Tambahan dari Kami dan tidak tertera dalam Al-Muhallâ]

9. Shalat Witir satu rakaat.



B. SELISIH PAHAM TENTANG KAIFIYAH (TATA CARA) 4-4-3

Syaikh Al-Albâny juga menyebutkan kaifiyah lain, yaitu shalat sebelas rakaat: empat rakaat sekaligus dengan sekali salam, kemudian empat rakaat sekaligus dengan sekali salam, lalu tiga rakaat, sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ,

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidaklah menambah lebih dari sebelas rakaat pada (bulan) Ramadhan tidak pula pada selain Ramadhan. Beliau mengerjakan shalat empat (rakaat), jangan kamu bertanya tentang baik dan panjang (shalat)nya, kemudian mengerjakan shalat empat (rakaat), jangan kamu bertanya tentang baik dan panjang (shalat)nya, lalu mengerjakan shalat tiga (rakaat).” [Muttafaqun ‘alaihi]


Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kaifiyah ini.


  1. Pendapat Abu Hanîfah, Ats-Tsaury, dan Al-Hasan bin Hayy adalah bahwa boleh mengerjakan qiyamul lail sebanyak dua rakaat sekaligus, empat rakaat sekaligus, enam rakaat sekaligus, atau delapan rakaat sekaligus, dengan cara tidak bersalam, kecuali pada rakaat terakhir. Kelihatannya, pendapat ini pula yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany sehingga beliau menetapkan kaifiyah shalat sebelas rakaat: empat rakaat sekaligus dengan sekali salam, kemudian empat rakaat sekaligus dengan sekali salam, lalu tiga rakaat. 
  2. Di sisi lain, jumhur ulama, yakni Mâlik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishâq, Sufyân, Ibnul Mubârak, Ibnu Abi Lailâ, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, Ibnul Mundzir, serta ulama lain, menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar radhiyallâhu ‘anhumâ, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Sa’id bin Jubair, Hammad, dan Al-Auza’iy. Ibnu ‘Abdil Barr berkata, Ini adalah pendapat (ulama) Hijâz dan sebagian (ulama) ‘Irâq.” Semuanya berpendapat bahwa shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, yaitu harus bersalam pada setiap dua rakaat. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Bâz beserta para syaikh anggota Al-Lajnah Ad-Dâ`imah, juga pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan selainnya, sehingga mereka semua menyalahkan orang yang memahami hadits Aisyah di atas dengan kaifiyah shalat sebelas rakaat: empat rakaat sekaligus dengan sekali salam, kemudian empat rakaat sekaligus dengan sekali salam, lalu tiga rakaat. Menurut mereka, pemahaman yang benar adalah bahwa, dalam hadits itu, empat rakaat, dikerjakan sebanyak dua rakaat-dua rakaat.


Tarjih :
Yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama bahwa seseorang harus bersalam pada setiap dua rakaat. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, Shalat malam (dikerjakan sebanyak) dua (rakaat)-dua (rakaat).” [Muttafaqun ‘alaihi]
Hadits ini adalah berita, namun bermakna perintah, yaitu perintah untuk mengerjakan shalat malam sebanyak dua rakaat-dua rakaat. Demikian keterangan Syaikh Ibnu Bâz dalam Majmu’ Fatâwâ.


[Bacalah pembahasan hal di atas dalam Al-Istidzkâr, Fathul Bâry, Fatâwâ Al-Lajnah Ad-Dâ`imah, dan Asy-Syarh Al-Mumti’]



~~~~~~~~~~~~~~0000~~~~~~~~~~~~~~~~

Tidak ada komentar: