بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
SHOLAT 2 RAKAAT
SETELAH WITIR DAN BACAAN DALAM SHOLAT WITIR
Oleh : Al-Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi
A. SHALAT
DUA RAKAAT SETELAH SHALAT WITIR
Para ulama juga berselisih pendapat tentang
shalat dua rakaat setelah shalat Witir pada kaifiyah no. 4 dan no. 5, yaitu :
>>> Shalat tujuh rakaat dengan cara
tidak bertasyahhud, kecuali pada rakaat keenam, kemudian langsung berdiri untuk
rakaat ketujuh tanpa salam, lalu bertasyahhud dan bersalam.
>>> Shalat tujuh rakaat dan tidak
duduk untuk bertasyahhud kecuali pada akhirnya.
Tentang hal ini, ada tiga pendapat di
kalangan ulama:
- Shalat dua rakaat setelah shalat Witir adalah sunnah. Ini adalah pendapat Katsîr bin Dhamrah dan Khâlid bin Ma’dân. Al-Hasan dan Abu Mijlaz mengerjakannya, serta Ibnu Rajab menukil hal tersebut dari sebagian orang-orang Hanbaliyah.
- Ada rukhshah (keringanan) dalam hal tersebut dan bukan makruh. Ini adalah pendapat Al-Auza’iy, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.
- Hal tersebut makruh. Ini adalah pendapat Qais bin ‘Ubadah, Mâlik, dan Asy-Syâfi’iy.
Tarjih :Tentunya bahwa dalil-dalil tegas yang telah kami sebutkan, yang menjelaskan tentang kaifiyah itu, adalah hujjah yang harus diterima tentang pensyariatan shalat dua rakaat setelah shalat Witir.
Ibnu Taimiyah berkata,
“Dan kebanyakan ahli fiqih tidak mendengar tentang
hadits ini (yaitu hadits tentang keberadaan shalat dua rakaat setelah shalat
Witir di atas,-pent.). Oleh karena itu, mereka mengingkari (keberadaan shalat)
tersebut. Ahmad dan selainnya mendengar dan mengetahui keshahihan (hadits) ini,
serta memberi keringanan untuk mengerjakan dua rakaat ini dan mengerjakan (dua
rakaat) tersebut dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Maka, seseorang yang melakukan hal
tersebut tidaklah diingkari, tetapi (hal itu) bukanlah wajib menurut
kesepakatan (para ulama) dan orang yang meninggalkan (hal) itu tidak dicela ….”
[Bacalah
pembahasannya dalam Majmu’ Fatâwâ karya Ibnu Taimiyah, Fathul Bâry karya Ibnu
Rajab, dan Al-Mughny]
B.BACAAN
DALAM SHALAT TARAWIH SERTA TENTANG BERDOA KETIKA ISTIRAHAT PADA PELAKSANAAN
TARAWIH
Dalam Qiyâm
Ramadhân, Syaikh Al-Albany rahimahullah
berkata,
“Tentang bacaan dalam shalat Lail pada qiyâm
Ramadhan dan selainnya, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidaklah
menetapkan suatu batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui dengan bentuk
tambahan dan pengurangan.
Pada setiap rakaat, beliau kadang membaca sekadar yâ ayyuhal muzzammil (surah
Al-Muzzammil) yang bacaan tersebut (berjumlah) dua puluh ayat, dan kadang
sekadar lima puluh ayat. Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat dengan (membaca) seratus ayat dalam semalam, tidaklah ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang lalai.”
“… dengan (membaca) dua ratus ayat, sungguh ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang qânit ‘khusyu’, panjang shalatnya,-pent.’ lagi ikhlas.”
Selain itu, pada suatu malam dan dalam keadaan sakit, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam membaca tujuh (surah) yang panjang, yaitu
-Al-Baqarah,
-Âli ‘Imrân,
-An-Nisâ`,
-Al-Mâ`idah,
-Al-An’âm,
-Al-A’râf, dan
-At-Taubah.
Juga dalam kisah pelaksanaan shalat Hudzaifah bin Al-Yamân di belakang Nabi ‘alaihish shalâtu was salâm bahwa beliau shallallâhu ‘alaihi wa
sallam membaca (surah) Al-Baqarah, lalu (surah) An-Nisâ’, kemudian (surah)
Âli ‘Imrân dalam satu rakaat, dan beliau membaca (beberapa surah) tersebut
dengan lambat lagi pelan.
Juga telah tsabit (sah, tetap) dengan sanad yang paling shahih bahwa, tatkala ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu memerintah Ubay
bin Ka’ab untuk mengerjakan shalat (mengimami) manusia sebanyak sebelas
rakaat dalam Ramadhan, Ubay radhiyallâhu ‘anhu membaca dua ratus
(ayat) sampai orang-orang yang (bermakmum) di belakangnya bersandar di atas
tongkat karena kelamaan berdiri, dan tidaklah mereka bubar kecuali pada
awal-awal fajar.
Juga telah shahih dari ‘Umar bahwa beliau memanggil para pembaca Al-Qur`an pada bulan
Ramadhân, kemudian memerintah orang yang bacaannya paling cepat untuk membaca
tiga puluh ayat, orang yang pertengahan (kecepatan membacanya untuk membaca)
dua puluh lima ayat, dan orang yang lambat (kecepatan membacanya untuk membaca)
dua puluh ayat.
Dibangun di atas hal tersebut, kalau seseorang mengerjakan shalat sendirian, silakan memperpanjang sesuai dengan kehendaknya, Demikian pula bila ada (orang yang mengerjakan shalat) bersamanya dari (kalangan) orang yang bersepakat dengannya (dalam hal memperpanjang pelaksanaan shalat,-pent.). (Lagipula), setiap kali (pelaksanaan shalat seseorang) panjang, hal itu lebih utama. Akan tetapi, ia janganlah berlebihan dalam hal memperpanjang (pelaksanaan shalat) sampai menghidupkan seluruh malam, kecuali kadang-kadang, dalam rangka mengikuti Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, “Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shallallâhu ‘alaihi wa sallam).”
Selain itu, apabila mengerjakan shalat sebagai imam, hendaknya ia memperpanjang (pelaksanaan shalatnya) dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang (yang bermakmum) di belakangnya berdasarkan sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
“Apabila salah seorang dari kalian qiyâm (mengerjakan shalat) untuk (mengimami) manusia, hendaknya ia memperingan pelaksanaan shalatnya karena, di antara mereka (yang bermakmum), ada anak kecil dan orang besar, serta di antara mereka, ada orang lemah, orang sakit, dan orang yang mempunyai keperluan. Apabila qiyâm sendirian, hendaknya ia memperpanjang pelaksanaan shalatnya sesuai dengan kehendaknya.”
Adapun tentang berdoa ketika istirahat pada pelaksanaan shalat Tarawih, hal ini tidak disyariatkan, demikian pula tidak ada doa setelah shalat Tarawih. [Bacalah Al-Inshâf karya Al-Mardâwy]
C.BACAAN
DALAM SHALAT WITIR
Ada pun bacaan dalam shalat Witir, beberapa
hadits yang menjelaskannya, di antaranya, adalah hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Imam
Ahmad dan selainnya bahwa Ubay
berkata,
“Pada shalat Witir, adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam membaca sabbihisma Rabbikal A’lâ (surah Al-A’la), qul yâ ayyuhal kâfirûn (surah Al-Kâfirûn), dan qul huwallâhu ahad (surah Al-Ikhlash). Apabila salam, beliau berkata, ‘Subhânal Malikul Quddûs ‘Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci’,’ sebanyak tiga kali.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Ibnul Jârud, Abu Dawud, An-Nasâ`iy, Ibnul Hibban, Ad-Dâraquthny, Ath-Thabarâny, dan Al-Baihaqy. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dan Syaikh Muqbil]
Juga dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza riwayat Ahmad dan selainnya bahwa beliau berkata,
“Pada shalat Witir, sesungguhnya beliau membaca sabbihisma Rabbikal A’lâ (surah Al-A’la), qul yâ ayyuhal kâfirûn (surah Al-Kâfirûn), dan qul huwallâhu ahad (surah Al-Ikhlash). Apabila salam, beliau berkata, ‘Subhânal Malikul Quddûs, Subhânal Malikul Quddûs, Subhânal Malikul Quddûs,’ dan mengeraskan suaranya ketika (membaca bacaan) itu.”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thayâlisy, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, ‘Abd bin Humaid, An-Nasâ`iy, Ibnul Ja’ad, Ath-Thahâwy, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, dan Ibnul Jauzy. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dan Syaikh Muqbil.]
Berdasarkan dua hadits di atas, Ats-Tsaury, Ishâq, dan Abu Hanîfah menganggap bahwa pembacaan tiga surah di atas dalam shalat Witir adalah sunnah.
D.MEMBACA
TIGA SURAH PADA AKHIR SHALAT WITIR
Imam Mâlik dan Asy-Syâfi’iy
juga menganggap bahwa pembacaan tiga surah di atas dalam shalat Witir adalah
sunnah, kecuali pada rakaat ketiga. Menurut keduanya, pada rakaat ketiga,
selain surah Al-Ikhlash, seseorang juga disunnahkan untuk menambah bacaan
dengan surah Al-Falaq dan surah An-Nâs.
Namun, hadits mengenai tambahan dua surah
tersebut dianggap lemah oleh Imam Ahmad,
Ibnu Ma’in, dan Al-‘Uqaily. Oleh karena itu, seharusnya orang yang
mengerjakan shalat Witir tiga rakaat hanya membaca surah Al-Ikhlash pada rakaat
ketiga.
Dalam Sifat Shalat An-Nabi hal. 122 (cet.
kedua Maktabah Al-Ma’ârif), Syaikh
Al-Albâny juga menshahihkan hadits tentang pembacaan seratus ayat dari
surah An-Nisâ` dalam rakaat shalat Witir.
[Tentang
pembahasan ini, baca jugalah Al-Mughny karya Ibnu Qudamah, Al-Majmu’ karya
An-Nawawy, dan Syarhus Sunnah karya Al-Baghawy]
~~~~~~~~~~~00000~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar