Jumat, 12 Juli 2013

TUNTUNAN SHOLAT MALAM (7)


 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

QUNUT DALAM SHOLAT WITIR
Oleh : Al-‘Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi



A.DEFINISI QUNUT

Secara etimologi è Qunut bermakna banyak. Ada lebih dari sepuluh makna sebagaimana nukilan Al-Hâfizh Ibnu Hajar, dari Al-Iraqy, dan Ibnul Araby. Makna-makna tersebut adalah:
1) Doa,
2) Khusyu’,
3) Ibadah,
4) Taat,
5) Pelaksanaan ketaatan,
6) Penetapan ibadah kepada Allah,
7) Diam, 
8.) Shalat,
9) Berdiri,
10) Lama berdiri, dan
11) Kontinu dalam ketaatan.

[Juga ada makna-makna lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthuby, Mufradât Al-Qur`ân karya Al-Ashbahâny, dan lain-lain]

Secara terminology è Qunut bermakna seperti yang disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajr Al-Asqalâny rahimahullâh, “Doa dalam shalat pada tempat khusus dalam keadaan berdiri.” [Bacalah Fathul Bâry 2/490]

Makna secara terminologi inilah yang diinginkan oleh para ulama fiqih dan kebanyakan ulama lain dalam buku-buku mereka. 
[Lihatlah Zâdul Ma’ad karya Ibnul Qayyim]



B.SYARIAT QUNUT WITIR

Syariat tentang qunut dalam shalat Witir telah sah sebagaimana dalam hadits Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata, 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan beberapa kalimat kepadaku untuk saya ucapkan dalam shalat Witir, (yakni) 
‘Ya Allah, berilah hidayah kepadaku pada orang-orang yang Engkau beri hidayah, berilah afiyah kepadaku pada orang yang Engkau beri afiyah, naungilah aku pada orang-orang yang Engkau naungi, berkahilah aku pada apa yang Engkau beri, dan jagalah aku dari kejelekan putusan-Mu. Sesungguhnya Engkau memutuskan dan tidak diputuskan terhadap-Mu, dan sesungguhnya tidaklah hina, orang-orang yang Engkau naungi. Maha Berkah Engkau, wahai Rabb kami, dan Maha Tinggi.’.” 
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Ibnul Jârûd, Ad-Dârimy, Abu Dawud, An-Nasâ`iy, Ibnu Mâjah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Bazzar, Abu Ya’la, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hâkim, Ath-Thabarâny, Al-Baihaqy, serta Abu Nu’aim. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dan Syaikh Muqbil]


Dibangun di atas hadits ini, orang-orang Hanafiyah, Hanbaliyah, dan sebagian orang-orang Syâfi’iyah berpendapat akan kesunnahan qunut Witir pada bulan Ramadhan dan selain Ramadhan. Demikian pula yang diriwayatkan dari Al-Hasan, Ibrâhim An-Nakha’iy, dan Ishâq.

Adapun Imam Malik, beliau tidak berpendapat tentang keberadaan qunut Witir.

Adapun Imam Asy-Syâfi’iy, beliau berpendapat bahwa qunut Witir disyariatkan pada pertengahan Ramadhan.


Tarjih :
Tentunya bahwa tidak diragukan lagi akan kesunnahan qunut Witir berdasarkan hadits Al-Hasan bin ‘Ali tersebut sehingga tidak ada alasan bagi orang yang melarang pelaksanaannya. Adapun pelaksanaan qunut Witir dari pertengahan Ramadhan, hal tersebut hanyalah diriwayatkan dalam hadits yang lemah. Wallâhu A’lam.

[Bacalah pembahasan syariat qunut dalam Al-Muhgny, Bidâyatul Mujtahid, dan Nailul Authâr]



C.TENTANG MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERQUNUT

Yang lebih kuat di antara pendapat para ulama dalam pembahasan ini adalah bahwa tidak ada pensyariatan tentang mengangkat tangan dalam qunut. Ini merupakan pendapat Yazîd bin Abi Maryam, Imam Al-Auzâ’iy, Abu Hanîfah, dan Imam Mâlik. [Lihatlah Al-Mughny dan Al-Majmu’]

Pendapat ini dikuatkan karena tidak ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berqunut.

Adapun dalil yang dipakai oleh para ulama, yang berpendapat tentang pensyariatan hal mengangkat tangan dalam qunut, adalah hadits-hadits yang lemah. 

Dalil mereka yang paling kuat adalah hadits yang diriwayatkan dari jalur Sulaimân bin Al-Mughîrah, dari Tsâbit Al-Bunâny, dari Anas bin Mâlik, tentang kisah para pembaca Al-Qur`ân yang terbunuh. Disebutkan bahwa Anas berkata kepada Tsâbit,


Setiap kali mengerjakan shalat Shubuh, sesungguhnya saya melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan kejelekan atas mereka (pembunuh para pembaca Al-Qur`ân).” 
[Diriwayatkan oleh Ahmad, ‘Abd bin Humaid, Ath-Thabarâny, Abu Nu’aim Al-Baihaqy, serta Al-Khathib]


Namun, hadits ini lemah karena terdapat dua cacat di dalamnya :
1. Sulaiman bin Mughirah. Beliau adalah seorang rawi yang tsîqah, tetapi beliau telah menyelisihi Hammâd bin Salamah yang meriwayatkan hadits ini dari Tsâbit, dari Anas, dan, dalam riwayatnya, Hammad tidak menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya. [Lihatlah riwayat Hammâd dalam Shahîh Muslim 3/1511 no. 677, Musnad Ahmad 3/270, dan Ath-Thabaqât 3/515 karya Ibnu Sa’d] Hammad bin Salamah ini adalah rawi yang paling kuat riwayat haditsnya dari Tsâbit sebagaimana perkataan Imam Yahyâ bin Ma’in, Abu Hâtim, dan selainnya, 
Siapa saja yang menyelisihi Hammâd dalam periwayatan hadits dari Tsâbit, yang didahulukan adalah periwayatan Hammâd.” Bahkan, dalam At-Tamyîz, Imam Muslim menukil kesepakatan ahli ‘ilalul hadits (pakar cacat-cacat hadits) bahwa Hammâd adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari Tsabit. [Bacalah Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy dan lain-lain] 

2. Murid-murid Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, seperti Qatâdah, Muhammad bin Sîrîn, ‘Abdul ‘Azîz bin Shuhaib, Abu Qilâbah, Ishâq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, Abu Mijlaz, ‘Âshim, Musâ bin Anas, Humaid At-Thawîl, Dawud bin Abi Hind, Hanzhalah bin ‘Abdillah, Abu Makhlad, Marwân Al-Ashfar, dan Ibnu Muhâjir, semuanya meriwayatkan hadits yang semakna dari Anas bin Mâlik tentang pelaksanaan qunut, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika qunut. [Lihatlah riwayat-riwayat mereka pada Shahîh Al-Bukhâry, Shahîh Muslim, dan lain-lain (kami sengaja tidak menyebutkan takhrîj-nya untuk menyingkat pembahasan)] 

Seluruh hal ini mempertegas kesalahan Sulaimân bin Al-Mughîrah dalam periwayatannya yang menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika qunut. Syaikhunâ Muqbil bin Hadi rahimahullâh juga termasuk ulama yang melemahkan hadits ini. Wallâhu A’lam.



D.TENTANG MENGAMINKAN DOA QUNUT BAGI MAKMUM SERTA KESALAHAN DALAM HAL MENGAMINKAN

Syariat tentang mengaminkan qunut ini telah tetap dalam hadits Ibnu ‘Abbâs. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qudâmah dalam Al-Mughny melalui ucapannya, 


“Apabila imam berqunut, (doa qunutnya) hendaknya diaminkan oleh orang yang (bermakmum) di belakang imam, dan kami tidak mengetahui bahwa ada perbedaan pendapat dalam pembahasan ini.”


Akan tetapi, perlu diingat bahwa pengaminan hanyalah diucapkan pada lafazh-lafazh doa, bukan pada lafazh pujian. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan dibenarkan oleh Imam Al-Hiraqy dan An-Nawawy. [Lihatlah Su`alât Abi Dâwud dan Al Majmu’ karya An-Nawawy] 


Berdasarkan keterangan ini, tampaklah kesalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat umum yang mengaminkan seluruh doa qunut hingga lafazh-lafazh pujian dalam qunut. Yang dimaksud dengan lafazh-lafazh doa ialah bermula dari kalimat (allâhummah dinâ fî man hadait) hingga (wa qinâ syarra mâ qadhait), sedangkan kalimat setelah (fainnaka taqdhî) dan seterusnya adalah lafazh-lafazh pujian



E. ETIKA IMAM DALAM DOA QUNUT

Hendaknya pula imam berdoa dengan lafazh umum (bukan untuk pribadinya) sehingga, ketika mengaminkan doa imam, makmum juga mengambil andil dari doa tersebut. Hal ini ditegaskan demikian karena dua perkara:

Pertama ==> firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimâs salam,

Sesungguhnya doa kalian berdua telah dikabulkan.” 
[Yunus: 89]


Kalau memperhatikan ayat sebelumnya, kita akan mengetahui bahwa ternyata yang berdoa hanyalah Nabi Musa ‘alaihis salâm,

“Wahai Rabb kami, sirnakanlah harta mereka dan keraskanlah hati mereka. Tidaklah mereka beriman sampai mereka melihat adzab yang sangat pedih.” 
[Yunus: 88]


Bersamaan dengan ini, Allah menjadikan doa itu untuk mereka berdua. Hal ini karena Nabi Musa berdoa, sementara Nabi Harun mendengarkan dan mengaminkan doa tersebut. 
[Lihatlah Asy-Syarh Al-Mumti’ karya Syaikh Shâlih Al-Utsaimîn dan Majmu’ Fatâwâ karya Ibnu Taimiyah]


Kedua ==> Dalam Fathul Bâry, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, 

Yang tampak bagi saya bahwa hikmah pelaksanaan doa qunut pada saat i’tidâl, bukan pada saat sujud, padahal sujud merupakan momen pengabulan doa sebagaimana (keterangan) yang telah pasti (dari Rabb-nya ketika seseorang sujud) juga (padahal) kebenaran perintah untuk berdoa dalam sujud telah pasti, adalah bahwa yang diinginkan dari qunut nazilah ini adalah agar makmum berserikat bersama imam dalam doa, walaupun hanya mengaminkan.”



F. TENTANG MENGUSAP WAJAH SETELAH BERQUNUT

Dalam Masâ`il Abi Dâwud, Imam Abu Dawud berkata, “Saya mendengar Ahmad ditanya tentang seseorang yang mengusap wajahnya (sendiri) dengan kedua tangannya (sendiri) bila selesai berqunut, maka beliau menjawab, ‘Saya tidak mendengar tentang itu.’ Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, ‘Saya tidak mendengar suatu (riwayat) apapun tentang hal tersebut.’.” Kemudian, (Abu Dawud) berkata, “Dan saya tidak melihat Ahmad mengerjakan hal itu.”

Imam Malik ditanya tentang seseorang yang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya sendiri ketika berdoa, maka beliau mengingkari perbuatan tersebut sembari berkata, “Saya tidak mengetahui hal itu.” [Bacalah Mukhtashar Qiyâmul Lail karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy]

Dalam As-Sunan Al-Kubrâ`, Imam Al-Baihaqy berkata, “Adapun tentang mengusap kedua tangan ke wajah selepas doa, tidaklah saya menghafal (hal tersebut) dari seorang pun, dari para ulama salaf, pada doa qunut.”

[Demikian pula simpulan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’. Baca jugalah Irwâ`ul Ghalîl]


~~~~~~~~~~~~~~0000~~~~~~~~~~~~~~

Tidak ada komentar: