Rabu, 10 Juli 2013

WAKTU SHOLAT DHUHA



Oleh : Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari


Shalat dhuha dikerjakan pada siang hari. Waktunya yang utama/afdhal disebutkan dalam hadits di bawah ini :
Zaid bin Arqam radhiyallaahu ‘anhu melihat orang-orang sedang shalat dhuha, maka ia berkata: “Ketahuilah, orang-orang itu sungguh mengetahui bahwa shalat (dhuha) selain di waktu ini lebih utama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda “Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim, No. 1743)
Waktu yang demikian itu, kata Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah adalah ketika matahari telah tinggi dan panasnya terasa. (Subulus Salam, 3/50)

Al-Imam An Nawawi rahimahullaah berkata, 

Ar-Ramdha’ adalah pasir yang panasnya bertambah sangat karena terbakar matahari. Shalat Awwabin adalah saat kaki-kaki anak unta yang masih kecil terbakar karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas. Awwab adalah orang yang taat. Ada yang mengatakan awwab adalah orang yang kembali dengan melakukan ketaatan. Dalam hadits ini ada keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dhuha, walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari sampai tergelincirnya.” (Al-Minhaj, 6/272)
 
Ucapan beliau rahimahullaah bahwa waktu shalat dhuha yaitu mulai terbitnya matahari sampai zawal, tentunya tidak persis saat terbitnya matahari, karena adanya larangan yang datang dalam hadits lain untuk mengerjakan shalat di waktu tersebut seperti hadits berikut ini:

Dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian memilih untuk mengerjakan shalat kalian ketika terbit matahari dan tidak pula ketika tenggelam matahari, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Al-Bukhari, No. 582, 3272 dan Muslim, No. 1922)

Uqbah bin Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata : “Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi.” (HR. Muslim, No. 1926)

Demikian pula hadits ‘Amr bin ‘Abasah radhiyalaahu ‘anhu yang menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepadanya :Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari….” (HR. Muslim, No. 1927)

Adapun hadits Abud Darda’ dan Abu Dzar yang mengabarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman : “Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat dari awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Demikian juga dalam riwayat Ahmad (4/153) dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani disebutkan dengan lafadz : “Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai anak Adam, cukupi Aku pada awal siang dengan empat rakaat niscaya Aku akan mencukupimu dengannya pada akhir harimu’.”

Maka yang dimaksud awal siang dalam dua hadits di atas bukan persis setelah shalat subuh, karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullaah menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya shalat dhuha. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk dengan terbitnya matahari, akan tetapi disenangi mengakhirkannya sampai matahari tinggi. Sebagian dari mereka berpendapat, waktunya mulai masuk saat matahari tinggi. Pendapat ini yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar, 2/329)
Dalam Kitab Zadul Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari selesainya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.”
 
Kata pen-syarahnya, “Yakni dari naiknya matahari seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat dengan matahari berada di tengah langit. Waktunya yang paling utama adalah apabila panas matahari terasa menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/176)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaah menyatakan bahwa ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya sekitar satu meter. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal siang sampai datangnya waktu larangan di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena adanya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang shalat awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/88)


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Mengerjakan Shalat Dhuha setelah Siang Meninggi

Dalam peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani mengabarkan, “Rasulullahallam  Shallallahu ‘alaihi wa datang pada hari Fathu Makkah setelah siang meninggi, lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat….” (HR. Muslim, No. 1665)




~~~~~~~~~~~~~~~~~0000~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Tidak ada komentar: