Oleh : Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Shalat
dhuha dikerjakan pada siang hari. Waktunya yang utama/afdhal disebutkan dalam
hadits di bawah ini :
Zaid bin Arqam radhiyallaahu ‘anhu melihat orang-orang sedang shalat dhuha, maka ia berkata: “Ketahuilah, orang-orang itu sungguh mengetahui bahwa shalat (dhuha) selain di waktu ini lebih utama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda “Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim, No. 1743)
Waktu
yang demikian itu, kata Al-Imam
Ash-Shan’ani rahimahullah adalah ketika
matahari telah tinggi dan panasnya terasa. (Subulus Salam, 3/50)
Al-Imam An Nawawi rahimahullaah berkata,
“Ar-Ramdha’ adalah pasir yang panasnya bertambah sangat karena terbakar matahari. Shalat Awwabin adalah saat kaki-kaki anak unta yang masih kecil terbakar karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas. Awwab adalah orang yang taat. Ada yang mengatakan awwab adalah orang yang kembali dengan melakukan ketaatan. Dalam hadits ini ada keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dhuha, walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari sampai tergelincirnya.” (Al-Minhaj, 6/272)
Ucapan
beliau rahimahullaah bahwa waktu
shalat dhuha yaitu mulai terbitnya matahari sampai zawal, tentunya tidak persis saat terbitnya matahari, karena
adanya larangan yang datang dalam hadits lain untuk mengerjakan shalat di waktu
tersebut seperti hadits berikut ini:
Dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian memilih untuk mengerjakan shalat kalian ketika terbit matahari dan tidak pula ketika tenggelam matahari, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Al-Bukhari, No. 582, 3272 dan Muslim, No. 1922)
Uqbah bin Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata : “Ada tiga
waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau
menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi.” (HR. Muslim, No. 1926)
Demikian
pula hadits ‘Amr bin ‘Abasah radhiyalaahu ‘anhu yang menyebutkan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepadanya :“Kerjakanlah shalat subuh kemudian
tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena
matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir
sujud kepada matahari….” (HR. Muslim, No.
1927)
Adapun
hadits Abud Darda’ dan Abu Dzar yang mengabarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya Alloh Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman : “Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat dari
awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, ia berkata,
“Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
Demikian
juga dalam riwayat Ahmad (4/153)
dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani disebutkan
dengan lafadz : “Sesungguhnya Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai anak Adam, cukupi Aku pada awal siang
dengan empat rakaat niscaya Aku akan mencukupimu dengannya pada akhir harimu’.”
Maka yang dimaksud awal siang dalam dua
hadits di atas bukan persis setelah
shalat subuh, karena adanya hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Tidak ada shalat setelah subuh
sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari
tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan
Muslim no. 1920)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullaah menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya shalat dhuha. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk dengan terbitnya matahari, akan tetapi disenangi mengakhirkannya sampai matahari tinggi. Sebagian dari mereka berpendapat, waktunya mulai masuk saat matahari tinggi. Pendapat ini yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar, 2/329)Dalam Kitab Zadul Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari selesainya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.”
Kata pen-syarahnya, “Yakni dari naiknya matahari
seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat dengan matahari berada di
tengah langit. Waktunya yang paling utama adalah apabila panas matahari terasa
menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/176)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaah menyatakan bahwa ukuran
satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya
sekitar satu meter. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari
berakhirnya waktu larangan shalat di awal siang sampai datangnya waktu larangan
di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena
adanya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang
shalat awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/88)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
Mengerjakan Shalat Dhuha setelah Siang Meninggi
Dalam
peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani mengabarkan, “Rasulullahallam Shallallahu ‘alaihi wa datang pada hari Fathu Makkah setelah siang meninggi,
lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya
dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat….” (HR. Muslim, No. 1665)
~~~~~~~~~~~~~~~~~0000~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar