بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
CATATAN DARS
BAB :
DEFINISI DAN HUKUM PUASA
A. PENDAHULUAN
>>>
Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam yang dilengkapi dengan amalan dan ibadah
yang dapat menambah keindahan ibadah dan melipatgandakan pahala di bulan
Ramadhan. Persiapan dan perbaikan diri merupakan inti penyebab dilipat gandakannya
pahala seseorang.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Alloh 'Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, sungguh dia bagianku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, karena (orang yang berpuasa) dia telah meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku’. Bagi orang yang berpuasa mendapat dua kegembiraan;, yaitu gembira ketika berbuka puasa dan gembria ketika berjumpa dengan Robb-Nya dengan puasanya. Sesungguhnya bau tidak sedap mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Alloh dari pada bau minyak kasturi.”
(HR. Bukhari dan Muslim, lafadz dari Muslim)
>>> Jadi, amal kebaikan kita akan dilipatgandakan 10X hingga 700X. Jika kita bergembira amalan kita dilipatgandakan 10X, maka tentunya kita akan lebih bergembira jika amalan kita dilipatgandkan menjadi 100X.
>>> Hal-hal apa saja yang perlu dimiliki seorang hamba sehingga kebaikannya dapat dilipatgandakan?
1.) Keimanan.
Keimanan yang baik dan benar dari seorang mukmin dan mukminah sebagai pembeda
tingkatan amalan dan balasannya. Ketika kita berbicara mengenai cara
memperbaiki keimanan, maka ada ilmu penting yang harus dipelajari mula-mula
oleh seorang hamba, yaitu ilmu tauhid sehingga seorang hamba dapat memiliki
aqidah yang benar. Tauhid ini akan melipatgandakan kebaikan dan mengangkat
derajat seseorang.
Satu
pembahasan tauhid terkadang sudah cukup banyak mencakup banyak hal, yaitu
keikhlasan dimana amalan kecil bisa menjadi besar sehingga keimanan inilah yang
menjadi pembeda tingkatan amalan dan balasan. Abu Bakar Ash Siddiq radhiyallahu
‘anhu tidaklah mendahului para sahabat lainnya melalui banyaknya sholat,
puasa, dan jihad. Lalu, mengapa Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu menjadi
manusia yang paling afdhol setelah
para Nabi dan Rosul?? Jawabannya, karena keimanan beliau radhiyallahu ‘anhu. Inilah yang membedakan beliau dengan para
sahabat yang lain. Ini juga yang membedakan para Rosul dan Sahabat dengan
manusia setelahnya. Meskipun kita beramal dengan amalan para Sahabat. Dari hal
tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa perbaikan amal itu melalui perbaikan
iman dan hal ini sering diulang oleh para ulama’ sebab iman lah yang menjaga
dan melipatgandakan suatu amalan.
2.) Ilmu. Berbeda ibadah orang
yang berilmu dengan orang yang jahil. Orang berilmu, dia memiliki fiqh ilmu dan
itu menjadi pembeda derajat dan letak pelipatgandaan amalan seorang hamba.
Semua itu kita pelajari agar kita mempunyai ilmu dalam meraih pahala dan
mendulang pahala sebanyak-banyaknya.
B.PEMBAHASAN
>>>
Imam Muslim rahimahullah è Kitab
Ash Shiyam è Kitab yang mempelajari
hokum-hukum seputar puasa.
>>>
Dalam Kitab Ash Shiyam, pembahasan
puasa menempati urutan ke-4 setelah pembahasan thoharoh, sholat, dan zakat.
>>>
Islam dibangun diatas 5 pondasi, yaitu syahadat, menegakkan sholat,
mengeluarkan zakat, ibadah haji, dan puasa Ramadhan.
>>>
Dalam hadits Ibnu ‘Umar disebutkan
bahwa rukun puasa Ramadhan masuk urutan ke-5, sedangkan dalam hadits ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika Jibril datang
mengajarkan mengenai islam, iman, dan ihsan. Puasa Ramadhan masuk dalam urutan
ke-4.
>>>
Berkaitan masalah puasa Ramadhan, apakah masuk dalam rukun iman yang ke-4 atau
ke-5, maka terjadi ikhtilaf (silang pendapat).
Imam Muslim rahimahullah è Puasa
rukun ke-4, Haji rukun ke-5
Imam Bukhari rahimahullah è Haji rukun ke-4, puasa rukun ke-5
>>>
Dari sisi riwayat, hadits dari Ibnu
‘Umar dalam masalah rukun puasa, lebih shohih karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘alaih).
Hadits Umar bin Khottob hanya
diriwayatkan oleh Bukhori saja.
>>>
Imam Bukhori rahimahullah memasukkan pembahasan haji terlebih dahulu karena
ibadah haji jika seseorang mampu untuk menunaikan, tapi tidak menunaikan, maka
ancaman hukumannya jauh lebih besar dari puasa.
Faidah :
Ini menunjukkan detailnya para ulama’ kita. Ada makna dibalik penyusunannya. Masalah tersebut (urutan dalam rukun puasa dan haji), bukanlah masalah yang perlu dipermasalahkan, ditarjih (dikuatkan), dan dipilih mana yang kuat.Tapi, hanya sekedar ilmu bagi kita untuk mengetahuinya saja.
__DEFINISI PUASA__
>>>
Puasa (shaum) secara bahasa. Ada beberapa contohnya, yaitu :
- Dalam Al Qur;an. “Maka, makan, minum dan
bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah:
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari
ini". (QS: Maryam Ayat: 26). Pada ayat
di atas dijelaskan bahwa makna shaum karena
menahan diri untuk tidak berbicara.
-Dalam
sebuah syi’r (sya’ir) : “Khailun shiyamun wa khailun ghairu
sha-imatin.” Ada kuda-kuda yang diam, ada kuda-kuda yang tidak diam. Kuda
yang diam artinya kuda tersebut tidak dibawa ke peperangan, sedangkan kuda yang
tidak diam artinya kuda tersebut dilepaskan ke medan peperangan (di kalangan
orang-orang Arab).
>>>
Puasa (shaum) secara ishthilah
. Ulama memberikan beberapa definisi.
-Definisi
yang mudah è Ibadah kepada Alloh
dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan
dari fajar shubuh yang ke-2 sampai terbenamnya matahari.
-Definisi
lain è Penahanan yang khusus,
pada waktu tertentu, dari orang tertentu.
Penahanan khusus : Puasa
di zaman para Nabi dan Rosul dulu misalnya dikhususkan kepada Nabi Zakariya ‘alaihissalam dan Maryam binti Imron untuk tidak berbicara. Pada zaman ini, hukum puasa
dikenakan kepada seluruh umat muslim.
Pada waktu tertentu : Hanya
di bulan Ramadhan, puasa dimulai dari terbit fajar (waktu shubuh) sampai
matahari terbenam.
Orang tertentu : Orang
yang diwajibkan oleh syari’at untuk berpuasa.
Orang-orang
yang diwajibkan berpuasa, yaitu :
1.) Muslim è Karena seorang yang tidak beragama Islam tidak
akan diterima amalannya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala befirman, “Dan kami
hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan
debu yang berterbangan.” (QS. Al Furqon
: 23)
2.) Mukallaf
è Mukallaf adalah orang yang telah
baligh (dewasa) dan akil (berakal). Anak kecil belum memiliki kewajiban untuk
berpuasa. Jika dia tetap puasa, maka tetap mendapat pahala dan bagi orang tua
hendaknya mengarahkan anak-anaknya sejak kecil agar terlatij jiwanya dengan
ibadah-ibadahn yang agung sehingga ketika mereka telah dewasa nanti akan
terbiasa. Boleh seorang anak yang telah berusia 10 tahun diberi hukuman jika
dia mulai berbuka secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana perintah sholat.
Dari Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.”
(HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Ibadah sholat merupakan rukun islam yang ke-2 dan tidak ada silang pendapat di kalangan ulama’ atasnya. Jika seseorang berpuasa, tetapi tidak mendirikan sholat, maka puasanya tersebut tidaklah berbuat ketaqwaan dan tidak mendalai makna puasa. Sebab puasa yang berbuah ketaqwaan pasti akan melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Puasa ini harus dengan niat juga, sedangkan orang yang tidak waras, mereka tidak mengerti apa yang merek lakukan.
3.) Ada Qudroh (kemampuan).
Orang yang tidak mampu melaksanakan perintah syari’at, maka Alloh beri
ketetapan kepadanya untuk melakukan puasa sebatas kemampuannya. Jika memang dia
tidak mampu, maka dikenakan qodho’ atau fidyah kepadanya.
4.) Mukim dan tidak safar. Seseorang yang safar boleh baginya untuk
tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban baginya untuk berpuasa. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa diantara kalian sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
5.) Bebas dari Penghalang, yaitu
haid dan nifas. Wanita yang sedang haid ndan nifas, maka diharamkan baginya
berpuasa.
>>>
Puasa Ramadhan merupakan inti puasa wajib. Sebelum syari’at Ramadhan turun, ada
puasa yang diwajibkan (Puasa Asyuro’ 10 Muharrom). Ketika syari;at puasa
Ramadhan datang, maka hukum puasa Asyuro’ menjadi sunnah dan puasa Ramadhan
menjadi wajib selama 1 bulan penuh lamanya.
__DALIL WAJIBNYA PUASA RAMADHAN__
Asal kata Ramadhan ==> Romadh = Sesuatu yang sangat panas. Jamaknya Ramadaanaat atau armidaa’ (bulan ke-9 dari tahun Hijriah). Dari pengertian bahasanya, arti Ramadhan = panas, yang diberikan oleh orang Arab karena pada bulan 9, padang pasir terasa sangat panas oleh terik matahari.
__DALIL WAJIBNYA PUASA RAMADHAN__
~Dalil dari Al Qur’an~
>>> Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al
Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’
dalam ayat ini berarti diwajibkan.
Dari ayat
di atas, jelaslah bahwa kewajiban Ramadhan juga berlaku kepada umat terdahulu.
Jika umat terdahulu tidak diwajibkan, mungkin ini akan terasa berat dan karnea
umat terdaulu telah dikenai kewajiban, maka yang seperti ini bisa menghibr jiwa
bahwa umat terdahulu pun juga sama dikenai kewajiban Puasa Ramadhan.
>>>
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al
Baqarah: 185).
~Dalil dari As Sunnah~
>>>
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar
bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, 'Islam dibangun di atas
lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
>>> Dari Thalhah
bin 'Ubaidillah, beliau berkata, “Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, "Ya Rasulullah, saya mohon diterangkan tentang
puasa yang diwajibkan oleh Allah kepada saya". Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam menjawab, "Puasa di bulan Ramadlan". Orang itu bertanya
pula, "Adakah puasa yang lain yang diwajibkan
atas diri saya ?" Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, "Tidak, kecuali bila engkau
hendak mengerjakan Tathawwu' (puasa
sunnah). [Muttafaq 'Alaih]
Tathawwu’
adalah kadar yang merupakan tambahan dan tidak tepat jika diartikan sunnah
secara mutlak sebab terkadang menjadi pelengkap kewajiban. Kesimpulan : Puasa
Ramadhan ini tidak ada silang pendapat di kalangan ulama’ mengenai
kewajibannya.
C. FAIDAH PEMBAHASAN BAB
Imam Muslim rahimahullah, beliau menyebutkan Bab “Keutamaan Puasa Ramadhan”, setelah
beliau menyebutkan terlebih dahulu pembahasan hukum puasa di bulan Ramadhan.
Ini adalah pelajaran bagi umat Islam bahwa metodologi para ulama’ kita di dalam
menanamkam ilmu agama, pokok yang pertama kali ditanamkan adalah mengikat jiwa
dengan kewajiban. Kemudian baru diterangkan keutamaannya. Sebab jiwa, jika
diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai keuatamaan suatu amalan akan
membawa seseorang kepada perbuatan menunda-nunda amalan tersebut. Berbeda jika
seseorang diterangkan terlebih dahulu mengenai hukumnya, maka dia akan terbiasa
ketika mendengarkan hukum suatu amalan, walaupun dia tidak mengetahui
keutamaannya. Hal yang seperti itu akan mendorong jiwanya terbiasa dengan
kebaikan.
Dari Humran –bekas budaknya Ustman Bin Affan radhiyallahu ‘anhu- pernah melihat Ustman meminta air untuk wudhu, “ lalu beliau (Ustman) menuangkan air ke kedua telapak tangannya dari wadah tersebut maka dibasuhlah (dicuci) sebanyak tiga kali, beliau lantas mencelupkan tangan kanannya kedalam air tersebut kemudian berkumur-kumur, istinsyaq (memasukkan air kedalam hidung) dan istinsyar (mengeluarkannya). Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya sampai sikunya sebanyak tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh (mencuci) setiap kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berkata Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku ini dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian shalat dua rakaat tidak berkata-kata di jiwanya (khusyu’), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
(HR. Bukhari: 159 dan Muslim : 423)
Lihatlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam mendidik para sahabat ketika mengajarkan mereka tata cara berwudhu’. Beliau contohkan terlebih dahulu tata cara berwudhu yang baik, kemudian baru beliau diterangkan keutamaannya “Barangsiapa yang berwudhu’ seperti wudhu’ku ini, dst”.
Perhatikanlah!
Keutamaan, beliau sebutkan belakangan. Tidak seperti sebagian orang di masa sekarang, Ada yang tidak pernah belajar hukum. Hanya diterangkan keutamaan-keutamaan saja. Akhirnya, ketika rasa malas datang, dia tidak sanggup untuk melaksanakannya sebab dalam pikirannya cuma rasa malas, tidak terikat dirinya dengan tuntutan kewajiban. Berbeda halnya dengan orang yang mengetahui hukum suatu amalan . Ketika seseorang tersebut mengetahui HUKUM dari suatu amalan, maka dia akan paksa dirinya untuk mengerjakan amalan tersebut sekalipun dia tidak mengetahui keutamaannya. Sebab dia memahami dibalik amalan tersebut ada kewajiban yang mengikat dirinya.
---bersambung insya Allohu Ta’ala---
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~00000~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar