Senin, 08 Juli 2013

KITAB ASH SHIYAM SHOHIH MUSLIM : FIQH PUASA DAN RAHASIANYA (1)



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

CATATAN DARS

BAB :

DEFINISI DAN HUKUM PUASA



A. PENDAHULUAN

>>> Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam yang dilengkapi dengan amalan dan ibadah yang dapat menambah keindahan ibadah dan melipatgandakan pahala di bulan Ramadhan. Persiapan dan perbaikan diri merupakan inti penyebab dilipat gandakannya pahala seseorang.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, "Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Alloh 'Azza wa Jalla  berfirman, ‘Kecuali puasa, sungguh dia bagianku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, karena (orang yang berpuasa) dia telah meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku’. Bagi orang yang berpuasa mendapat dua kegembiraan;, yaitu gembira ketika berbuka puasa dan gembria ketika berjumpa dengan Robb-Nya dengan puasanya. Sesungguhnya bau tidak sedap mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Alloh dari pada bau minyak kasturi.” 
(HR. Bukhari dan Muslim, lafadz dari Muslim)


>>> Jadi, amal kebaikan kita akan dilipatgandakan 10X hingga 700X. Jika kita bergembira amalan kita dilipatgandakan 10X, maka tentunya kita akan lebih bergembira jika amalan kita dilipatgandkan menjadi 100X.


>>> Hal-hal apa saja yang perlu dimiliki seorang hamba sehingga kebaikannya dapat dilipatgandakan?

1.) Keimanan
Keimanan yang baik dan benar dari seorang mukmin dan mukminah sebagai pembeda tingkatan amalan dan balasannya. Ketika kita berbicara mengenai cara memperbaiki keimanan, maka ada ilmu penting yang harus dipelajari mula-mula oleh seorang hamba, yaitu ilmu tauhid sehingga seorang hamba dapat memiliki aqidah yang benar. Tauhid ini akan melipatgandakan kebaikan dan mengangkat derajat seseorang.

Satu pembahasan tauhid terkadang sudah cukup banyak mencakup banyak hal, yaitu keikhlasan dimana amalan kecil bisa menjadi besar sehingga keimanan inilah yang menjadi pembeda tingkatan amalan dan balasan. Abu Bakar Ash Siddiq radhiyallahu ‘anhu tidaklah mendahului para sahabat lainnya melalui banyaknya sholat, puasa, dan jihad. Lalu, mengapa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjadi manusia yang paling afdhol setelah para Nabi dan Rosul?? Jawabannya, karena keimanan beliau radhiyallahu ‘anhu. Inilah yang membedakan beliau dengan para sahabat yang lain. Ini juga yang membedakan para Rosul dan Sahabat dengan manusia setelahnya. Meskipun kita beramal dengan amalan para Sahabat. Dari hal tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa perbaikan amal itu melalui perbaikan iman dan hal ini sering diulang oleh para ulama’ sebab iman lah yang menjaga dan melipatgandakan suatu amalan.


2.) Ilmu. Berbeda ibadah orang yang berilmu dengan orang yang jahil. Orang berilmu, dia memiliki fiqh ilmu dan itu menjadi pembeda derajat dan letak pelipatgandaan amalan seorang hamba.

Semua itu kita pelajari agar kita mempunyai ilmu dalam meraih pahala dan mendulang pahala sebanyak-banyaknya.



B.PEMBAHASAN

>>> Imam Muslim rahimahullah è Kitab Ash Shiyam è Kitab yang mempelajari hokum-hukum seputar puasa.

>>> Dalam Kitab Ash Shiyam, pembahasan puasa menempati urutan ke-4 setelah pembahasan thoharoh, sholat, dan zakat.

>>> Islam dibangun diatas 5 pondasi, yaitu syahadat, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, ibadah haji, dan puasa Ramadhan.

>>> Dalam hadits Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa rukun puasa Ramadhan masuk urutan ke-5, sedangkan dalam hadits ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika Jibril datang mengajarkan mengenai islam, iman, dan ihsan. Puasa Ramadhan masuk dalam urutan ke-4.

>>> Berkaitan masalah puasa Ramadhan, apakah masuk dalam rukun iman yang ke-4 atau ke-5, maka terjadi ikhtilaf (silang pendapat).
Imam Muslim rahimahullah è Puasa rukun ke-4, Haji rukun ke-5
Imam Bukhari rahimahullah è Haji rukun ke-4, puasa rukun ke-5

>>> Dari sisi riwayat, hadits dari Ibnu ‘Umar dalam masalah rukun puasa, lebih shohih karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘alaih). Hadits Umar bin Khottob hanya diriwayatkan oleh Bukhori saja.

>>> Imam Bukhori rahimahullah memasukkan pembahasan haji terlebih dahulu karena ibadah haji jika seseorang mampu untuk menunaikan, tapi tidak menunaikan, maka ancaman hukumannya jauh lebih besar dari puasa.


Faidah : 

Ini menunjukkan detailnya para ulama’ kita. Ada makna dibalik penyusunannya. Masalah tersebut (urutan dalam rukun puasa dan haji), bukanlah masalah yang perlu dipermasalahkan, ditarjih (dikuatkan), dan dipilih mana yang kuat.Tapi, hanya sekedar ilmu bagi kita untuk mengetahuinya saja.



__DEFINISI PUASA__

>>> Puasa (shaum) secara bahasa. Ada beberapa contohnya, yaitu :

 - Dalam Al Qur;an. “Maka, makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (QS: Maryam Ayat: 26). Pada ayat di atas dijelaskan bahwa makna shaum karena menahan diri untuk tidak berbicara.

-Dalam sebuah syi’r (sya’ir) : “Khailun shiyamun wa khailun ghairu sha-imatin.” Ada kuda-kuda yang diam, ada kuda-kuda yang tidak diam. Kuda yang diam artinya kuda tersebut tidak dibawa ke peperangan, sedangkan kuda yang tidak diam artinya kuda tersebut dilepaskan ke medan peperangan (di kalangan orang-orang Arab).


>>> Puasa (shaum) secara ishthilah . Ulama memberikan beberapa definisi.

-Definisi yang mudah è Ibadah kepada Alloh dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan dari fajar shubuh yang ke-2 sampai terbenamnya matahari.

-Definisi lain è Penahanan yang khusus, pada waktu tertentu, dari orang tertentu.
Penahanan khusus : Puasa di zaman para Nabi dan Rosul dulu misalnya dikhususkan kepada Nabi Zakariya ‘alaihissalam  dan Maryam binti Imron untuk tidak berbicara. Pada zaman ini, hukum puasa dikenakan kepada seluruh umat muslim.

Pada waktu tertentu : Hanya di bulan Ramadhan, puasa dimulai dari terbit fajar (waktu shubuh) sampai matahari terbenam.

Orang tertentu : Orang yang diwajibkan oleh syari’at untuk berpuasa.



Orang-orang yang diwajibkan berpuasa, yaitu :

1.) Muslim è Karena seorang yang tidak beragama Islam tidak akan diterima amalannya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala befirman, “Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan.” (QS. Al Furqon : 23)

2.) Mukallaf è Mukallaf adalah orang yang telah baligh (dewasa) dan akil (berakal). Anak kecil belum memiliki kewajiban untuk berpuasa. Jika dia tetap puasa, maka tetap mendapat pahala dan bagi orang tua hendaknya mengarahkan anak-anaknya sejak kecil agar terlatij jiwanya dengan ibadah-ibadahn yang agung sehingga ketika mereka telah dewasa nanti akan terbiasa. Boleh seorang anak yang telah berusia 10 tahun diberi hukuman jika dia mulai berbuka secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana perintah sholat. 


Dari Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” 
(HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)


Ibadah sholat merupakan rukun islam yang ke-2 dan tidak ada silang pendapat di kalangan ulama’ atasnya. Jika seseorang berpuasa, tetapi tidak mendirikan sholat, maka puasanya tersebut tidaklah berbuat ketaqwaan dan tidak mendalai makna puasa. Sebab puasa yang berbuah ketaqwaan pasti akan melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Puasa ini harus dengan niat juga, sedangkan orang yang tidak waras, mereka tidak mengerti apa yang merek lakukan.

3.) Ada Qudroh (kemampuan). Orang yang tidak mampu melaksanakan perintah syari’at, maka Alloh beri ketetapan kepadanya untuk melakukan puasa sebatas kemampuannya. Jika memang dia tidak mampu, maka dikenakan qodho’ atau fidyah kepadanya.

4.) Mukim dan tidak safar. Seseorang yang safar boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban baginya untuk berpuasa. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa diantara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

5.) Bebas dari Penghalang, yaitu haid dan nifas. Wanita yang sedang haid ndan nifas, maka diharamkan baginya berpuasa.

>>> Puasa Ramadhan merupakan inti puasa wajib. Sebelum syari’at Ramadhan turun, ada puasa yang diwajibkan (Puasa Asyuro’ 10 Muharrom). Ketika syari;at puasa Ramadhan datang, maka hukum puasa Asyuro’ menjadi sunnah dan puasa Ramadhan menjadi wajib selama 1 bulan penuh lamanya. 


Asal kata Ramadhan ==> Romadh = Sesuatu yang sangat panas. Jamaknya Ramadaanaat atau armidaa’ (bulan ke-9 dari tahun Hijriah). Dari pengertian bahasanya, arti Ramadhan = panas, yang diberikan oleh orang Arab karena pada bulan 9, padang pasir terasa sangat panas oleh terik matahari.




__DALIL WAJIBNYA PUASA RAMADHAN__

~Dalil dari Al Qur’an~

>>> Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.

Dari ayat di atas, jelaslah bahwa kewajiban Ramadhan juga berlaku kepada umat terdahulu. Jika umat terdahulu tidak diwajibkan, mungkin ini akan terasa berat dan karnea umat terdaulu telah dikenai kewajiban, maka yang seperti ini bisa menghibr jiwa bahwa umat terdahulu pun juga sama dikenai kewajiban Puasa Ramadhan.

>>> Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).



~Dalil dari As Sunnah~

>>> Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, 'Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

>>> Dari  Thalhah  bin 'Ubaidillah, beliau berkata, “Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, "Ya  Rasulullah, saya mohon diterangkan tentang puasa yang diwajibkan oleh Allah kepada saya". Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, "Puasa di bulan Ramadlan". Orang itu  bertanya  pula,  "Adakah  puasa yang lain yang  diwajibkan  atas  diri saya ?" Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, "Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan Tathawwu'  (puasa  sunnah). [Muttafaq 'Alaih]


Tathawwu’ adalah kadar yang merupakan tambahan dan tidak tepat jika diartikan sunnah secara mutlak sebab terkadang menjadi pelengkap kewajiban. Kesimpulan : Puasa Ramadhan ini tidak ada silang pendapat di kalangan ulama’ mengenai kewajibannya.




C. FAIDAH PEMBAHASAN BAB

Imam Muslim rahimahullah, beliau menyebutkan Bab “Keutamaan Puasa Ramadhan”, setelah beliau menyebutkan terlebih dahulu pembahasan hukum puasa di bulan Ramadhan. Ini adalah pelajaran bagi umat Islam bahwa metodologi para ulama’ kita di dalam menanamkam ilmu agama, pokok yang pertama kali ditanamkan adalah mengikat jiwa dengan kewajiban. Kemudian baru diterangkan keutamaannya. Sebab jiwa, jika diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai keuatamaan suatu amalan akan membawa seseorang kepada perbuatan menunda-nunda amalan tersebut. Berbeda jika seseorang diterangkan terlebih dahulu mengenai hukumnya, maka dia akan terbiasa ketika mendengarkan hukum suatu amalan, walaupun dia tidak mengetahui keutamaannya. Hal yang seperti itu akan mendorong jiwanya terbiasa dengan kebaikan.

Dari Humran –bekas budaknya Ustman Bin Affan radhiyallahu ‘anhu- pernah melihat Ustman meminta air untuk wudhu, “ lalu beliau (Ustman) menuangkan air ke kedua telapak tangannya dari wadah tersebut maka dibasuhlah (dicuci) sebanyak tiga kali, beliau lantas mencelupkan tangan kanannya kedalam air tersebut kemudian berkumur-kumur, istinsyaq (memasukkan air kedalam hidung) dan istinsyar (mengeluarkannya). Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya sampai sikunya sebanyak tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh (mencuci) setiap kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berkata Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku ini dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian shalat dua rakaat tidak berkata-kata di jiwanya (khusyu’), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” 
(HR. Bukhari: 159 dan Muslim : 423)


Lihatlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam mendidik para sahabat ketika mengajarkan mereka tata cara berwudhu’. Beliau contohkan terlebih dahulu tata cara berwudhu yang baik, kemudian baru beliau diterangkan keutamaannya “Barangsiapa yang berwudhu’ seperti wudhu’ku ini, dst”.

Perhatikanlah!
Keutamaan, beliau sebutkan belakangan. Tidak seperti sebagian orang di masa sekarang, Ada yang tidak pernah belajar hukum. Hanya diterangkan keutamaan-keutamaan saja. Akhirnya, ketika rasa malas datang, dia tidak sanggup untuk melaksanakannya sebab dalam pikirannya cuma rasa malas, tidak terikat dirinya dengan tuntutan kewajiban. Berbeda halnya dengan orang yang mengetahui hukum suatu amalan . Ketika seseorang tersebut mengetahui HUKUM dari suatu amalan, maka dia akan paksa dirinya untuk mengerjakan amalan tersebut sekalipun dia tidak mengetahui keutamaannya. Sebab dia memahami dibalik amalan tersebut ada kewajiban yang mengikat dirinya.


---bersambung insya Allohu Ta’ala---





~~~~~~~~~~~~~~~~~~~00000~~~~~~~~~~~~~~~~~



Tidak ada komentar: