Sabtu, 18 Januari 2014

'Umdatul Fiqh : 5. Bab Hukum Seputar Bejana

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


... Catatan Dars …


KITAB THOHAROH
BAB 
AL-'ANIYAH (BEJANA-BEJANA)



A. Peringatan

1.) Pembahasan najis yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah rohimahulloh pada pembahasan hukum-hukum air kemarin telah dibahas juga beberapa hal. Telah berlalu pula pembahasannya dalam Ad-Durorul Bahiyah, Minhajus Salikin yang lebih lengkap pembahasannya dari Ibnu Qudamah. Walaupun, secara keseluruhan pembahasan fiqih Ibnu Qudamah lebih lengkap.

2.) Banyak manfaat yang bisa diambil oleh seorang penuntut ilmu syar’i ketika ia mempelajari beberapa matan ilmu fiqih. Ilmu fiqh tidak hanya dipelajari dengan  menamatkan satu buku saja, tapi melalui banyak buku. Pada sebagian buku ada beberapa pembahasan yang tidak diterangkan pada buku yang lain. Ada pun pengulangan pembahasan, maka akan menjadi hal yang indah bagi seorang penuntut ilmu dan lebih menguatkan seorang penuntut ilmu akan ilmu yang telah ia pelajari.

----------------------------------------

- Bab Al –‘Aaniyah, yaitu Bab Bejana-bejana.
- Urain Ibnu Qudamah pada bab ini difokuskan dalam 13 pembahasan [Lihat Modul]





1.Definisi

- Al-‘Aniyah merupakan bentuk jamak dari kata ‘ina. ‘Ina artinya wi’a yaitu sesuatu yang menampung, Definisi dikalangan ahli bahasa, yaitu setiap tempat yang bisa menampung benda lain. Bejana boleh terbuat dari bahan apa saja, seperti kulit, batu, emas, besi, perak, perunggu, dan lainnya. Dalam bentuk jamak karena Ibnu Qudamah hendak membawakan banyak hukum seputar bejana. Ada bejana yang boleh digunakan dan ada yang tidak boleh digunakan, baik untuk thoharoh maupun selainnya.




2. Hukum Penggunaan Bejana Emas dan Perak
dalam Thoharoh dan selainnya

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Tidak diperbolehkan menggunakan bejana emas dan perak dalam berthoharoh  maupun dalam hal selainnya. “ Jadi, beliau telah mematok suatu hukum tetap bahwa diharomkan sama sekali memakai bejana emas dan perak, baik dalam thoharoh, makan, minum, maupun selainnya.

Dalil beliau :


“Jangan kalian minum pada bejana yang terbuat dari emas dan perak dan jangan pula kalian makan di piringnya karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).” 

[HR. Bukhari, No. 5426 dan Muslim, No. 2067]


- Apa yang dijelaskan oleh beliau adalah pendapat yang dipegang sejumlah ‘ulama mazhab Hanbali yang memang merupakan pokok mazhab mereka dan pengharoman terhadap bejana emas dan perak ini menurut mereka sifatnya muthlaq. Namun, ada sebagaian ‘ulama yang membedakan dalam penggunaan emas dan perak, yaitu untuk makan minum dan penggunaan selain makan dan minum. Jadi, Ibnu Qudamah, beliau membagi berkaitan dengan bejana menjadi 2, yaitu dalam hal menggunakan (isti'mal) dan menyimpannya (ittikhot)


- Sebagian ‘ulama menyebutkan untuk 3 (tiga) hal berkaitan dengan masalah bejana ini, yaitu :
1.) Untuk makan dan minum,

2.) Untuk penggunaan (isti’mal) è Sebenarnya masalah makan dan minum dengan bejana termasuk dalam penggunaan, hanya saja ada nash khusus yang melarang bejana emas dan perak untuk makan dan minum. Ada pun makna penggunaan disini banyak karena banyak hal berkiatan dgn ini misal :makan, thoharoh, menyimpan obat, atau sesuatu ygdiperlukan

3.) Untuk disimpan (ittikhot) è Hanya sekedar menyimpan saja dan tidak dia gunakan. Misal : mempunyai emas dan perak disimpan sebagai perhiasan atau modal usaha, dan lainnya.

- Ibnu Qudamah hanya menyebutkan 2 hal saja berkaitan dengan bejana emas dan perak, yaitu isti’mal dimana menurut pendapat beliau bahwa semua isti’mal tidak diperbolehkan dan untuk sekedar disimpan dimana akan datang pada pembahasan selanjutnya pembolehannya.

- Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa isti’mal (selain makan, minum) diperbolehkan. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Author , dalam kitab Ad Durorul Bahiyah, Imam Ash Shon’ani dalam Subulussalam, Syaikh Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti, walaupun pendapat Ibnu Qudamah diatas merupakan pendapat kebanyakan ‘ulama dan lebih masyhur.  

- Pendapat Ibnu Qudamah dan juga merupakan pendapat kebanyakan ‘ulama bahwa larangan bejana emas dan perak dalam semua isti’mal merupakan pendapat yang lebih berhati-hati karena ‘illah (sebab adanya hukum) dalam hadits bermakna umum, yaitu 


“ … karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).” 


Menunjukkan seakan penggunaannya tidak terbatas pada perkara makan dan minum saja dan karena dasar ‘illah-nya adalah kecenderungan hati untuk bermegah-megahan dengan emas dan perak. Apalagi sebagian sahabat mencela penggunaan emas dan perak dalam bentuk isti’mal sebagaimana dalam sebagian riwayat ‘Aisyah dan Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma.

- Asy-Syaikh  Al-‘Utsaimin, Asy Syaukani, dan selainnya mengatakan ‘illah dalam hadits itu tidak begitu jelas karena ada hadits dari Ummu Salamah dalam riwayat Bukhory.


Dari ‘Utsman ibnu ‘Abdillah ibnu Mauhib, ia berkata, “Keluargaku mengutus saya kepada Ummu Salamah dengan membawa gelas berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak yang berisi rambut Nabi. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal, maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian. “Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut berwarna merah,” kata ‘Utsman. 

[HR. Bukhory dalam Kitaabul Libaas]


Syaroh Hadits :

Genta (jaljal) berbentuk seperti lonceng dan terbuat dari perak. ‘Ummu Salamah menyimpan beberapa helai rambut Rosulloh shollallohu ‘alaihi wasallam dalam jaljal tersebut dan digunakan oleh orang-orang ketika sakit untuk memohon tabarruk dengan zat Nabi, Hal itu ada dalam atsar bahwa Alloh subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan keberakahan pada diri Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, akan tetapi keberkahan itu hanya khusus pada Nabi saja dan tidak kepada selain beliau. Ummu Salamah meletakkan rambut Rosululloh dalam jal-jal yang terbuat dari perak menunjukkan bolehnya penggunaan bejana emas dan perak, selain perkara makan dan minum. Sebenarnya pendapat yang mengatakan larangan menggunakan bejana emas dan perak hanya untuk makan dan minum mempunyai sisi kekuatan. Tetapi, pendapat jumhur ‘ulama lebih berhati-hati. Apalagi jika disertai sifat bermegah-megahan dan ini tentunya akan lebih mengarah kepada hal yang diharamkan.





Peringatan :

Dalam masalah ilmu fiqih, tidak setiap pendapat yang ada harus kita rojihkan. Kadang-kadang pada sebagian pembahasan terdapat dua pendapat yang salah satunya dianggap lebih kuat, tapi pada sebagian yang lain termasuk pendapat yang mengarah kepada pendapat yang lebih hati-hati bagi seorang untuk mengerjakannya. Hal itu merupakan sesuatu yang dimaklumi dari sisi ihtiyath (kehati-hatian). Ada yang namanya tarjih (menguatkan salah satu dalil dari dalil lainnya) dari sisi ihtiyath dan ihtiyath itu sendiri merupakan sebuah bidang yang ditekuni para ‘ulama dan ada dalam fatwa mreka. 



- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Tidak boleh menggunakan bejana emas dan perak untuk thoharoh dan selainnya.” Pendapat beliau ini dibangun diatas pendapat bahwa larangan menggunakan bejana emas dan perak berlaku untuk semua jenis isti’mal. Ada pun ‘ulama yang membatasi hanya pada larangan makan dan minum saja, mereka anggap hal itu diperbolehkan. 

- Kesimpulan : 
Pendapat Ibnu Qudamah sekaligus merupakan pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih berhati-hati.

- Lalu, bagaimana hukum orang yang berwudhu’ dari bejana emas dan perak? Apakah wudhu’nya  sah atau tidak sah dalam kondisi dia mengetahui keharoman bejana emas dan perak? Jawabannya ada 2 pendapat dan terjadi silang pendapat dikalangan ‘ulama. Dalam hal ini berkaitan dengan pembahasan ilmu ‘Ushul Fiqih, yaitu


 “Apakah sebuah larangan itu memberi makna rusaknya amalan atau tidak?” 


Kata Syaikh As-Sa’dy rohimahulloh menjelaskan jika pengharoman itu pada zatnya atau syaratnya amalan itu sendiri, maka itu yang bermakna fasad (rusak). Ada pun jika larangan ini bermakna diluar sesuatu tersebut (dalam hal ini sholat) atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang tidak kembali kepada zat sesuatu tersebut atau tidak  kembali kepada syarat, maka berwudhu dengan bejana emas dan perak hukumnya dia telah berdosa, akan tetapi SAH wudhu’nya.




3. Hukum Tambalan dengan Emas dan Perak

- Apa hukum menambal bejana yang pecah dengan emas dan perak?

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Hukum menambal dengan emas dan perak sama dengan hukum emas dan perak itu sendiri.” Pendapat beliau ini merupakan hukum umum, kecuali apabila tambalan itu adalah tambalan yang sedikit dan itu pun hanya diperbolehkan pada perak saja. Ada pun emas sama sekali tidak diperbolehkan. 

Dalil Beliau :

Dari Anas bin Malik rodiyalloohu ‘anhu bahwa gelas Nabi shollalloohu ‘alaihi wasallam retak (sedikit pecah) maka beliau (menambal) tempat yang retak itu dengan jalinan dari perak.” 
(HR. Al-Bukhory)


 Tambalan dengan perak itu diperbolehkan dengan 4 syarat :
1) Tambakan berbentuk tambalan (سِلْسِلَةً)
2.) Sifatnya sedikit tambalan itu ;
3.) Hanya dibolehkan dari perak saja, emas tidak boleh ;
4.) Hal itu dilakukan karena hajat


  Perbedaan Antara Perkara Darurat dengan Kebutuhan  

Adh-Dhoruuroh (darurat) dan Al-Haajah (kebutuhan) dibedakan karena ada sebagian para 'ulama yang membahasakan dhoruroh dengan hajah. Contoh : ada 'ulama yang menyebut pembahasan melihat wanita ajnabiyyah ketika seorang laki-laki hendak melamar seorang wanita sebagai perkara dhoruroh.

Perbedaan Dhoruroh dengan Hajah secara umum, yaitu :
Dhoruroh (darurat):
1.) Tidak ada jalan lain selain melakukan hal yang dhoruroh ;
2.) Pembolehannya hanya kepada harom yang sifatnya li idzatihi (harom karena zatnya) yang dibolehkan;
3.) Sifatnya terpaksa, dan
4.) Pembolehannya bersifat sementara

Hajah (kebutuhan) :
1.) Sesuatu yang memberatkan kalau tidak dilakukan ;
2.) Hanya dibolehkan pada harom yang sifatnya li ghoirihi (perkara harom yang bukan karena zatnya, tetapi bisa mengantar kepada harom li dzatihi)
3.) Sifatnya memudahkan (taisiir) ;
4.) Pembolehannya bersifat terus-menerus.




4. Hukum Penggunaan Bejana selain Bejana Emas dan Perak

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Dan diperbolehkan menggunakan semua bejana yang suci dan menyimpannya. ”

- Maksud beliau adalah menggunakan dan menyimpan selain bejana emas dan perak. Telah berlalu pembahasan dari beliau mengenai larangan menggunakan dan menyimpan bejana emas dan perak. Hanya saja yang mengatakan ‘illat (sebab) pelarangannya adalah Asy-Syarob (minuman), maka bejana yang terbuat dari berlian yang pasti jauh lebih mahal dari emas dan perak akan masuk kedalam larangan tersebut dan pendapat tersebut bagi ‘ulama yang menta’dil dengan ‘illat diatas. Tetapi, secara umum, jika bejana selain emas dan perak itu suci, maka tidak mengapa digunakan.

- Ittikhot pada bejana emas dan perak telah berlalu penjelasan hukum pembolehannya. Hadits berkaitan dengan masalah larangan bejana emas dan perak dan para ‘ulama yang memandang kepada ‘illat Asy Syarob –barangkali- dalam masalah ittikhot  mereka juga akan memasukkan pelarangannya. Tetapi, akan datang penjelasannya dalam pembahasan zakat tentang hukum perhiasan perempuan yang boleh digunakan oleh wanita. Perhiasan tersebut  merupakan ittikhot (untuk disimpan) dan bukan sebagai wadah makan dan minum maupun isti’mal. Dalam hal ini, secara ringkas hukumnya boleh dipakai untuk berhias dan akan datang penjelasannya.

- Khusus berkaitan dengan ittikhot emas dan perak ada 2 pendapat dalam mazhab, yaitu :

1.) Pendapat yang tidak memperbolehkan dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Taimiyah, Syaikh Bin Baaz ;

2) Pendapat yang membolehkan dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani, Imam Ash-Shon’ani, Syaikh Al-‘Utsaimin ;




5. Hukum Bejana dan Pakaian Ahli Kitab

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Boleh menggunakan bejana dan pakaian Ahlu Kitab selama tidak diketahui kenajisannya.”, walaupun dalam mazhab Hanbali ada beberapa riwayat pendapat berkaitan dengan hal ini.

Dalilnya dalam sebuah hadits yang panjang dimana Nabi dan para sahabat pernah berwudhu di bejana milik wanita musyrikin dan bahkan Nabi pun memerintahkan sahabat untuk mandi meggunakan bejana tersebut.


Dari Imron bin Husain radhiyallohu 'anhu,”Bahwasanya Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam pernah berwudhu’ bersama dengan para sahabatnya dari tempat air kepunyaan seorang wanita musyrik.” 

[HR. Bukhari, No. 334 dan Muslim, 2/140-141]


- Jika bejana milik orang musyrik diperbolehkan, maka bejana milik Ahlul Kitab seharusnya lebih dibolehkan karena dalam Al Qur’an dibedakan antara Ahlul Kitab dan selain Ahlul Kitab. Wanita Ahlu Kitab boleh dinikahi oleh laki-laki muslim, sedangkan wanita dari kaum musyrikin tidak boleh dinikahi. Hal semacam dalam Al-Qur’an boleh diqiyaskan. Ada pun dalam pakaian, maka asalnya suci, kecuali ada dalil yang mengharomkannya. Berdasarkan kaidah fiqihnya :


“ Hukum Asal Air Tanah, Langit Dan Batu Adalah Suci ”

“ Hukum Asal Air Adalah Suci “


- Kesimpulannya bahwa selama tidak diketahui kenajisannya, maka tidak mengapa menggunakan bejana milik Ahlul Kitab. Contoh : diketahui Ahlul Kitab tersebut memasak daging babi, maka kaum muslimin sebelum memakainya harus mensusucikannya terlebih dahulu sebelum digunakan sebab diketahui kenajisannya. Kalau tidak diketahui kenajisannya, maka asalnya adalah suci dan boleh berdasarkan hadits Imron diatas tentang kisahnya Nabi dan para sahabat yang berwudhu’ dari bejana milik wanita musyrikin.

Dalil bejana tersebut harus disucikan jika diketahui kenajisannya :

Berkata Abu Tsa’labah Al Khusyani radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku pernah bertanya,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami berada di suatu negeri Ahli Kitab, apakah kami boleh makan dengan piring-piring mereka?” Beliau menjawab,”Janganlah kamu makan dengannya, kecuali bila kamu tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah, lalu makanlah dengannya.”

[HR. Bukhory dan Muslim]




6. Hukum Bulu dan Rambut Bangkai

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Bulu bangkai dan rambutnya adalah suci (thohir).”

- Pendapat beliau ini dipegang oleh mazhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Pendapat Ibnu Qudamah diambil dari hukum asalnya karena asal bulu bangkai dan rambut adalah suci, kecuali ada dalil yang menajiskannya dan tidak ada dalil shohih yang menunjukkan kenajisannya.

- Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengharomkan memakan daging keledai yang dipelihara. Telah kita ketahui bersama bahwa keledai itu ditunggangi oleh sahabat dan sudah pasti tubuh mereka mengenai rambut-rambut keledai, akan tetapi tidak pernah dinukil perintah dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat untuk membersihkan diri mereka dari rambut keledai. Bangkai jelas harom dan najis, tapi tidak ada dalil yang menunjukkan rambut dan bulunya juga najis. Demikianlah hikmah bulu dan rambut bangkai tidak najis karena manusia sulit berlepas diri darinya.



7. Hukum Kulit Bangkai

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Kulit bangkai tetap najis, baik  sudah disamak atau belum disamak.”
- Dubi’ (دُبِغَ) atau disamak, yaitu Ad-Diba’ artinya dihilangkan baunya, dilembutkan kulitnya dengan garam atau kapur. Kalau di Saudi Arabia kadang menggunakan daun salam agar hilang baunya. Jadi, disini sini Ibnu Qudamah berpendapat bahwa semua kulit bangkai adalah najis.

Dalil Beliau :

Telah menceritakan kepada kami Waki’ dan Ibnu Ja’far keduanya berkata, Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam dari Abdurrahman bin Abu Laila -dalam riwayat lain- Ibnu Ja’far bekata, saya mendengar Ibnu Laila dari Abdulloh bin Ukaim Al Juhani ia berkata; Telah datang kepada kami surat dari baginda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam saat kami berada di Juhainah, sementara waktu itu saya masih kecil. (Yang isinya tertulis), “Janganlah kalian mengambil manfaat dari bangkai yang belum disamak dan juga tulang.” 

[HR. Ahmad No.18.029].


Keterangan berkaitan dengan Hadits :

1.) Bahwasanya hadits tersebut ditulis 1 (satu) bulan sebelum Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam wafat dan ini merupakan hadits terakhir sehingga dijelaskan oleh Al-Hazimi, Imam Ath-Thohawi, dan selainnya dalam pembahasan hadits Nasikh dan Mansukh bahwa itu adalah hadits yang terakhir.

2.) Hadits diatas, dijawab oleh para ‘ulama yang membolehkan dengan 2 (dua) jawaban, yaitu :

  1. Hadits diatas lemah karena terdapat kerancuan dalam matan dan sanadnya dan terputus. Jika haditsnya kuat, maka lafadz hadits “ihab” dalam bahasa Arab adalah kulit yang belum disamak.
  2. Mazhab Hanbali, Malikiyah yang diluatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Al-‘Utsaimin, dan selainnya bahwa kulit bangkai yang telah disamak hukumnya suci. Jadi, syarat kulit bangkai yang hukumnya suci adalah apabila sudah disamak. Kalau belum disamak, maka belum suci.


Dalilnya :

a.) Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.” 

[HR. An Nasa’i, No. 4241, At Tirmidzi No. 1728, Ibnu Majah No. 3609, Ad-Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir Wa Ziyadatuhu No. 4476 mengatakan hadits ini shohih]


Hadits Ibnu Abbas tegas sekali menunjukkan apabila  kulit bangkai sudah disamak, maka terhukumi suci.


b.)
Dan telah menceritakan kepadaku Abu ath-Thahir dan Harmalah keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendapati kambing mati yang telah diberikan sebagai sedekah kepada maula Maimunah, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Mengapa kalian tidak memanfaatkannya dengan menyamaknya?" Mereka berkata, "Ia sudah menjadi bangkai." Maka beliau bersabda, "Yang diharamkan hanyalah memakannya." 

[HR. Muslim, No.543]


Hadits diatas menunjukkan bahwa yang diharomkan hanya memakannya. Ada pun jika kulitnya sudah disamak, maka suci. Pendapat yang inilah yang lebih mendekati bahwa kulit bangkai yang sudah disamak, maka hukumnya suci. Jika belum disamak, maka masih najis.




8. Hukum Tulang Bangkai

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Demikian pula tulang belulangnya sama seperti kulitnya (maksudnya najis).” Pendapat beliau ini merupakan salah 1 (satu) pendapat dikalangan mazhab Hanbali dan merupakan pendapat yang paling masyhur dikalangan mereka, sekaligus pendapatnya mazhab Imam Malik dan Imam Syafi’i.

Dalil Beliau  :

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” 
[QS. Yasin : 78)


- Para ‘ulama yang berdalilkan dengan ayat diatas sehingga menghukumi tulang itu najis memaknai “menghidupkan” dengan hewan yang telah mati, maka menjadi bangkai dan bangkai itu sendiri najis. Tetapi, alasan tersebut tidak kuat.

- Pendapat yang rojih (kuat,terpilih) dalam mazhab Hanafi dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa tulamg belulang dari bangkai adalah suci. Dalilnya hadits riwayat  Muslim dari jalan Ibnu ‘Abbas yang telah berlalu bahwa yang diharomkan dari bangkai hanya memakannya. Ada pun kulitnya, bulunya, atau rambutnya apabila sudah disamak, maka tidak diharomkan.

- Oleh karena itu, benda-benda dimasa sekarang yang  banyak berasal dari kaum Kufar, baik berupa  sisir, medali, dan sebagainya yang terbuat dari tulang dan semisalnya adalah hal yang dibolehkan menurut pendapat yang rojih.



9. Apakah Seluruh Bangkai adalah Najis?

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh dan beliau disini memberikan hukum secara umum, “Setiap bangkai adalah najis.”

- Pendapat yang benar bahwa hukum asal bangkai adalah najis, kecuali ada beberapa bangkai yang terdapat nash yang menunjukkan ketidaknajisannya.

- Dalil dari para ‘ulama yang mengatakan setiap bangkai adalah najis, yaitu :
firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah:"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama

selain Alloh." 

[QS. Al-An’am : 145]


- Pendalilan dengan ayat di atas sebenarnya kurang kuat karena ada juga bangkai yang tidak najis berdasarkan nash-nash yang ada. Akan tetapi, pendalilan diatas sangat bagus untuk menunjukkan bahwa bangkai itu asalnya adalah najis. Dalam hal ini, kemudian didukung oleh hadits Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma yang telah berlalu, yaitu “Apabila  kulit ihab (bangkai) sudah disamak, maka itu suci.” yang menunjukkan bangkai yang kulitnya sudah disamak, maka hukumnya adalah suci.




10. Hukum Bangkai Manusia

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Setiap bangkai adalah najis, kecuali bangkai manusia.”

Dalilnya :

Alloh Ta’ala berfirman,

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”  
[QS. Al-Isro’ : 70)


Hadits dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu secara mu’allaq,

“Maha suci Alloh Sesungguhnya seorang muslim itu tidaklah najis.”  
[HR Al-Bukhory]



_Hukum Bangkai Manusia Non-Muslim_

- Kalau kita melihat konteks hadits Bukhory diatas bahwasanya seorang mukmin tidaklah najis. Tapi, apakah maknanya membatasi? Jawabannya ada pada ayat lain, yaitu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”  
[QS. At-Taubah : 28]


Ada lafazh “Kaum musyrikin adalah najis “ dan para ‘ulama menafisrkan najis disitu adalah najis secara maknawi, yaitu perbuatan syiriknya itu yang sebagai sesuatu yang kotor, bukan najis secara badan karena telah sah kaum Kufar memasuki masjid, yaitu kisahnya Tsumamah bin Utsal Al-Hanafi yang ditawan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan diikat di masjid ketika beliau masih kafir. Dalam Al-Qur’an dibolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab dan tidak pernah dinukil dalam riwayat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang menikahi Ahlul Kitab untuk mandi atau beliau menyinggung tentang kenajisan mereka jika Ahlul Kitab tersebut meninggal dunia. Oleh karena itu, Asy-Syaikh Muhammad Bin Sholih AL-‘Utsaimin menguatkan bangkai orang kafir tidaklah najis.




11. Hukum Bangkai Hewan Air

- Pembahasan ke -11 merupakan pengecualian bangkai yang tidak najis, yaitu (1).Bangkai manusia, dan (2).Bangkai hewan air.

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh dalam penyebutan perkecualian, “Demikian pula hewan air yang tidak hidup, kecuali di air.”

- Ada pun hewan yang hidup di air, tetapi kebanyakannya hidup di darat atau hewan yang hidup di air dan darat akan datang pembahasannya nanti.

- Beliau menyinggung hewan yang hidup diair, maka halal bangkainya.

Dalilnya :

“Seseorang bertanya kepada Rasulullah searaya berkata : “Wahai Rasululloh! Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Apabila kami berwudhu dengannya (air itu), maka kami kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi was allam menjawab : “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” 

[HR Sunan Al Arba'ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan dishohihkan Al Albani dalam Al Irwa' no.9 dan Silsilah Al Ahadits Al Shohihah no. 480]


- Bangkai hewan air disini tidak terbatas pada hewan yang hidup di air laut saja. Secara ‘urf memang benar yang dimaksud adalah air yang asin, akan tetapi secara bahasa air laut berasal dari Ma’a Al-Mustabahah, yaitu air yang sangat banyak, baik tawar ataupun asin sehingga hewan laut atau sungai hukumnya halal dan suci. Oleh karena itu, dalam ketentuan air disebut Shoidul Bahr (Buruan Laut) yang merupakan kebalikan dari Buruan Darat (Shoid).

- Telah sah hadits Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu, walaupun mauquf dimana ikan didalam hadits tersebut maknanya secara umum.

“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”.  
[HR. Ahmad dan Ibnu Majah]

- Jadi hewan yang hidup air bangkainya halal, baik anjing laut, kuda laut, dam babi laut.




12. Hukum Bangkai Hewan yang Tidak Memiliki Darah Mengalir

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Dan hewan yang tidak memiliki darah mengalir, seperti lalat, nyamuk, kutu, kelelawar.”

- Istilah hewan yang tidak memiliki darah mengalir merupakan istinbath fiqih dikalangan fuqoha.  Istilah ini pernah Ustadz baca dalam biogarafi Ibrahim An-Nakha'i rohimahulloh dimana Syaikh Abdul Mushin Al-‘Abbad hafidhohulloh membawakan perkataan  Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rohimahulloh bahwa yang pertama kali menggunakan istilah “hewan yang tidak memiliki darah mengalir” adalah Ibrohim bin Yazid An-Nakha'i. Istilah beliau ini lalu diambil oleh para fuqoha dan mereka menyebutnya “hewan yang tidak memiliki darah mengalir.”

Dalilnya :

Dari Abu Hurairoh rodiyallaahu ‘anhu, bahwa Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila lalat masuk/ terjatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah (lalat itu) kemudian buanglah, karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya ada penyakit (racun) dan pada sayap yang lainnya ada penawarnya.” 

[HR.Bukhory]


Faidah Hadits :

Apabila lalat dicelupkan kedalam air, maka otomatis akan mati dan menjadi bangkai. Sekali pun lalat tersebut tidak mati, tapi menunjukkan bangkainya tidak najis. Oleh karena itu, masalah lalat tersebut diqiyaskan untuk seluruh hewan, seperti lalat dan ‘illat-nya seperti yang disebutkan oleh Ibrohim An-Nakha’i, yaitu hewan yang tidak mmemiliki darah mengalir. Qiyas tersebut merupakan qiyas yang kuat dan didukung dengan dalil umum tentang halalnya bangkai belakang dan ikan. Ikan dan belalang memilki darah, tapi tidak mengalir dan juga hewan selainnya yang halal, tapi tidak memiliki darah mengalir.

- Ibnu Qudamah rohimahulloh memberikan isyarat, yaitu “Apabila hewan yang tidak memiliki darah mengalir ini tidak lahir dari najis.” Misalnya : Lalat yang lahir dari kotoan manusia, maka hukumnya najis.

- Isyarat dari beliau ini akan kita bahas pada bab di bawah ini




13. Adakah Hewan yang Terlahir dari Najis?

- Timbul pertanyaan. Adakah hewan yang lahir dari najis? Jika ada, maka dihukumi najis. Akan tetapi, berdasarkan penelitian tidak mungkin hewan lahir selain dari zatnya, seperti dari telur yang mungkin telur tersebut berada dalam suatu benda yang najis. Oleh karena itu, pendapat yang lebih mendekati  kebenaran bahwa syarat Ibnu Qudamah adalah sesuatu yang tidak pasti, KECUALI apabila hewan tersebut baru singgah dari tempat yang najis, seperti kotoran manusia lalu hewan tersebut singgah di tempat lain. Dalam hal ini masih ada najis yang melekat pada hewan tersebut. Oleh karena itu, dalam pembahasan tikus dimana tikus tersebut jatuh mengenai mentega, Nabi memerintahkan membuang tikus tersebutdan mentega disekitarnya.

Dalilnya :

Telah mengabarkan kepada kami Khusyaisy bin Ashram, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, ia berkata; telah memberitakan kepadaku Abdurrahman bin Budzuwaih bahwa Ma'mar menyebutkannya dari Az Zuhri dari 'Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas dari Maimunah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau ditanya mengenai tikus yang jatuh di dalam mentega, maka beliau bersabda: 'Apabila mentega itu beku maka buanglah tikus tersebut dan yang ada disekitarnya dan apabila mentega itu cair maka janganlah kalian mendekatinya." 

[HR. An-Nasa'i, No.4187]


- Demikian pula dengan kucing yang sering memakan tikus, sedangkan tilus merupakan hewan yang memilki darah mengalir sehingga najis. kucing : juga makan tikus, jd bangkai kan. Bangkai tikus najis karena darahnya mengalir. Nabi memberikan kekhususan bahwa kucing bukanlah najis.

Dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kucing, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan yang najis, hanyalah ia hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian”

[HR. Tirmidzi]

- Kesimpulannya bahwa hewan yang terlahir dari najis itu tidak ada. Hewan  terlahir dari zat itu sendiri, semisal telur dan itu bukan termasuk najis.


_Selesai_




[Faidah dari Al-Ustadz Dzulqornain bin Muhammad Sunusi hafizhohulloh dalam Pembahasan Kitab ‘Umdatul Fiqh, 2012]
 ____________________________________________________________

Tidak ada komentar: