بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
... Catatan Dars …
KITAB THOHAROH
BAB
AL-'ANIYAH (BEJANA-BEJANA)
A. Peringatan
1.) Pembahasan najis yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah rohimahulloh pada
pembahasan hukum-hukum air kemarin telah dibahas juga beberapa hal. Telah
berlalu pula pembahasannya dalam Ad-Durorul
Bahiyah, Minhajus Salikin yang
lebih lengkap pembahasannya dari Ibnu Qudamah.
Walaupun, secara keseluruhan pembahasan fiqih Ibnu Qudamah lebih lengkap.
2.) Banyak manfaat yang bisa diambil oleh
seorang penuntut ilmu syar’i ketika ia mempelajari beberapa matan ilmu fiqih.
Ilmu fiqh tidak hanya dipelajari dengan
menamatkan satu buku saja, tapi melalui banyak buku. Pada sebagian buku
ada beberapa pembahasan yang tidak diterangkan pada buku yang lain. Ada pun pengulangan
pembahasan, maka akan menjadi hal yang indah bagi seorang penuntut ilmu dan lebih
menguatkan seorang penuntut ilmu akan ilmu yang telah ia pelajari.
----------------------------------------
- Bab Al –‘Aaniyah, yaitu Bab Bejana-bejana.
- Urain Ibnu Qudamah pada bab ini difokuskan
dalam 13 pembahasan [Lihat Modul]
1.Definisi
- Al-‘Aniyah
merupakan bentuk jamak dari kata ‘ina.
‘Ina artinya wi’a yaitu sesuatu yang
menampung, Definisi dikalangan ahli bahasa, yaitu setiap tempat yang bisa
menampung benda lain. Bejana boleh terbuat dari bahan apa saja, seperti kulit,
batu, emas, besi, perak, perunggu, dan lainnya. Dalam bentuk jamak karena Ibnu
Qudamah hendak membawakan banyak hukum seputar bejana. Ada bejana yang boleh digunakan
dan ada yang tidak boleh digunakan, baik untuk thoharoh maupun selainnya.
2.
Hukum Penggunaan Bejana Emas dan Perak
dalam
Thoharoh dan selainnya
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Tidak diperbolehkan menggunakan bejana emas dan
perak dalam berthoharoh maupun dalam hal
selainnya. “ Jadi, beliau telah mematok suatu hukum tetap bahwa diharomkan sama
sekali memakai bejana emas dan perak, baik dalam thoharoh, makan, minum, maupun
selainnya.
Dalil beliau :
“Jangan kalian minum pada bejana yang terbuat dari emas dan perak dan jangan pula kalian makan di piringnya karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).”
[HR. Bukhari, No. 5426 dan Muslim, No. 2067]
- Apa yang dijelaskan oleh beliau adalah
pendapat yang dipegang sejumlah ‘ulama mazhab Hanbali yang memang merupakan
pokok mazhab mereka dan pengharoman terhadap bejana emas dan perak ini menurut
mereka sifatnya muthlaq. Namun, ada sebagaian ‘ulama yang membedakan dalam penggunaan
emas dan perak, yaitu untuk makan minum dan penggunaan selain makan dan minum. Jadi,
Ibnu Qudamah, beliau membagi
berkaitan dengan bejana menjadi 2, yaitu dalam hal menggunakan (isti'mal) dan menyimpannya (ittikhot)
- Sebagian ‘ulama menyebutkan untuk 3 (tiga) hal berkaitan
dengan masalah bejana ini, yaitu :
1.) Untuk makan dan minum,
2.) Untuk penggunaan (isti’mal) è Sebenarnya masalah makan dan minum dengan
bejana termasuk dalam penggunaan, hanya saja ada nash khusus yang melarang
bejana emas dan perak untuk makan dan minum. Ada pun makna penggunaan disini banyak
karena banyak hal berkiatan dgn ini misal :makan, thoharoh, menyimpan obat,
atau sesuatu ygdiperlukan
3.) Untuk disimpan (ittikhot) è Hanya sekedar menyimpan saja dan tidak dia gunakan.
Misal : mempunyai emas dan perak disimpan sebagai perhiasan atau modal usaha, dan
lainnya.
- Ibnu
Qudamah hanya menyebutkan 2 hal saja berkaitan dengan bejana emas dan
perak, yaitu isti’mal dimana menurut pendapat beliau bahwa semua isti’mal tidak
diperbolehkan dan untuk sekedar disimpan dimana akan datang pada pembahasan
selanjutnya pembolehannya.
- Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa isti’mal (selain
makan, minum) diperbolehkan. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul
Author , dalam kitab Ad Durorul Bahiyah, Imam Ash Shon’ani dalam Subulussalam,
Syaikh Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti, walaupun pendapat Ibnu Qudamah diatas merupakan pendapat
kebanyakan ‘ulama dan lebih masyhur.
- Pendapat Ibnu Qudamah dan juga merupakan pendapat kebanyakan ‘ulama bahwa
larangan bejana emas dan perak dalam semua isti’mal merupakan pendapat yang
lebih berhati-hati karena ‘illah (sebab adanya hukum) dalam hadits bermakna
umum, yaitu
“ … karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).”
Menunjukkan seakan
penggunaannya tidak terbatas pada perkara makan dan minum saja dan karena dasar
‘illah-nya adalah kecenderungan hati untuk bermegah-megahan dengan emas dan perak.
Apalagi sebagian sahabat mencela penggunaan emas dan perak dalam bentuk
isti’mal sebagaimana dalam sebagian riwayat ‘Aisyah dan Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma.
- Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy Syaukani, dan selainnya
mengatakan ‘illah dalam hadits itu tidak begitu jelas karena ada hadits dari
Ummu Salamah dalam riwayat Bukhory.
Dari ‘Utsman ibnu ‘Abdillah ibnu Mauhib, ia berkata, “Keluargaku mengutus saya kepada Ummu Salamah dengan membawa gelas berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak yang berisi rambut Nabi. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal, maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian. “Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut berwarna merah,” kata ‘Utsman.
[HR. Bukhory dalam Kitaabul Libaas]
Syaroh Hadits :
Genta (jaljal) berbentuk seperti lonceng dan
terbuat dari perak. ‘Ummu Salamah
menyimpan beberapa helai rambut Rosulloh
shollallohu ‘alaihi wasallam dalam jaljal tersebut dan digunakan oleh
orang-orang ketika sakit untuk memohon tabarruk dengan zat Nabi, Hal itu ada
dalam atsar bahwa Alloh subhanahu wa
Ta’ala telah menetapkan keberakahan pada diri Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, akan tetapi keberkahan itu
hanya khusus pada Nabi saja dan tidak kepada selain beliau. Ummu Salamah
meletakkan rambut Rosululloh dalam jal-jal yang terbuat dari perak menunjukkan
bolehnya penggunaan bejana emas dan perak, selain perkara makan dan minum.
Sebenarnya pendapat yang mengatakan larangan menggunakan bejana emas dan perak
hanya untuk makan dan minum mempunyai sisi kekuatan. Tetapi, pendapat jumhur ‘ulama lebih berhati-hati.
Apalagi jika disertai sifat bermegah-megahan dan ini tentunya akan lebih
mengarah kepada hal yang diharamkan.
Peringatan :
Dalam masalah ilmu fiqih, tidak setiap
pendapat yang ada harus kita rojihkan. Kadang-kadang pada sebagian pembahasan terdapat
dua pendapat yang salah satunya dianggap lebih kuat, tapi pada sebagian yang
lain termasuk pendapat yang mengarah kepada pendapat yang lebih hati-hati bagi
seorang untuk mengerjakannya. Hal itu merupakan sesuatu yang dimaklumi dari
sisi ihtiyath (kehati-hatian). Ada
yang namanya tarjih (menguatkan
salah satu dalil dari dalil lainnya) dari sisi ihtiyath dan ihtiyath itu
sendiri merupakan sebuah bidang yang
ditekuni para ‘ulama dan ada dalam fatwa mreka.
- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Tidak boleh menggunakan bejana emas dan perak untuk thoharoh dan selainnya.” Pendapat beliau ini dibangun diatas pendapat bahwa larangan menggunakan bejana emas dan perak berlaku untuk semua jenis isti’mal. Ada pun ‘ulama yang membatasi hanya pada larangan makan dan minum saja, mereka anggap hal itu diperbolehkan.
- Kesimpulan :
Pendapat Ibnu Qudamah sekaligus merupakan pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih berhati-hati.
- Lalu, bagaimana hukum orang yang berwudhu’
dari bejana emas dan perak? Apakah wudhu’nya
sah atau tidak sah dalam kondisi dia mengetahui keharoman bejana emas
dan perak? Jawabannya ada 2 pendapat dan terjadi silang pendapat dikalangan ‘ulama.
Dalam hal ini berkaitan dengan pembahasan ilmu ‘Ushul Fiqih, yaitu
“Apakah
sebuah larangan itu memberi makna rusaknya amalan atau tidak?”
Kata Syaikh As-Sa’dy rohimahulloh
menjelaskan jika pengharoman itu pada zatnya atau syaratnya amalan itu sendiri,
maka itu yang bermakna fasad (rusak). Ada pun jika larangan ini bermakna diluar
sesuatu tersebut (dalam hal ini sholat) atau dengan kata lain sesuatu yang
dilarang tidak kembali kepada zat sesuatu tersebut atau tidak kembali kepada syarat, maka berwudhu dengan
bejana emas dan perak hukumnya dia telah berdosa, akan tetapi SAH wudhu’nya.
3. Hukum
Tambalan dengan Emas dan Perak
- Apa hukum menambal bejana yang pecah dengan
emas dan perak?
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Hukum menambal dengan emas dan perak sama dengan
hukum emas dan perak itu sendiri.” Pendapat beliau ini merupakan hukum umum,
kecuali apabila tambalan itu adalah tambalan yang sedikit dan itu pun hanya diperbolehkan
pada perak saja. Ada pun emas sama sekali tidak diperbolehkan.
Dalil Beliau :
Dari Anas bin Malik rodiyalloohu ‘anhu bahwa gelas Nabi shollalloohu ‘alaihi wasallam retak (sedikit pecah) maka beliau (menambal) tempat yang retak itu dengan jalinan dari perak.”
(HR. Al-Bukhory)
Tambalan dengan perak itu diperbolehkan
dengan 4 syarat :
1) Tambakan berbentuk tambalan (سِلْسِلَةً)
2.) Sifatnya sedikit tambalan itu ;
3.) Hanya dibolehkan dari perak saja, emas
tidak boleh ;
4.) Hal itu dilakukan karena hajat
Perbedaan
Antara Perkara Darurat dengan Kebutuhan
Adh-Dhoruuroh (darurat) dan Al-Haajah (kebutuhan) dibedakan karena ada sebagian para 'ulama yang
membahasakan dhoruroh dengan hajah. Contoh : ada 'ulama yang menyebut
pembahasan melihat wanita ajnabiyyah ketika seorang laki-laki hendak melamar
seorang wanita sebagai perkara dhoruroh.
Perbedaan Dhoruroh dengan Hajah secara umum,
yaitu :
Dhoruroh
(darurat):
1.) Tidak ada jalan lain selain melakukan hal
yang dhoruroh ;
2.) Pembolehannya hanya kepada harom yang
sifatnya li idzatihi (harom karena zatnya) yang dibolehkan;
3.) Sifatnya terpaksa, dan
4.) Pembolehannya bersifat sementara
Hajah (kebutuhan)
:
1.) Sesuatu yang memberatkan kalau tidak
dilakukan ;
2.) Hanya dibolehkan pada harom yang sifatnya
li ghoirihi (perkara harom yang bukan karena zatnya, tetapi bisa mengantar
kepada harom li dzatihi)
3.) Sifatnya memudahkan (taisiir) ;
4.) Pembolehannya bersifat terus-menerus.
4.
Hukum Penggunaan Bejana selain Bejana Emas dan Perak
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Dan diperbolehkan menggunakan semua bejana yang suci
dan menyimpannya. ”
- Maksud beliau adalah menggunakan dan
menyimpan selain bejana emas dan perak. Telah berlalu pembahasan dari beliau
mengenai larangan menggunakan dan menyimpan bejana emas dan perak. Hanya saja
yang mengatakan ‘illat (sebab) pelarangannya adalah Asy-Syarob (minuman), maka bejana yang terbuat dari berlian yang
pasti jauh lebih mahal dari emas dan perak akan masuk kedalam larangan tersebut
dan pendapat tersebut bagi ‘ulama yang menta’dil dengan ‘illat diatas. Tetapi, secara
umum, jika bejana selain emas dan perak itu suci, maka tidak mengapa digunakan.
- Ittikhot
pada bejana emas dan perak telah berlalu penjelasan hukum pembolehannya. Hadits
berkaitan dengan masalah larangan bejana emas dan perak dan para ‘ulama yang memandang
kepada ‘illat Asy Syarob –barangkali- dalam masalah ittikhot mereka juga akan memasukkan pelarangannya. Tetapi,
akan datang penjelasannya dalam pembahasan zakat tentang hukum perhiasan
perempuan yang boleh digunakan oleh wanita. Perhiasan tersebut merupakan ittikhot (untuk disimpan) dan bukan
sebagai wadah makan dan minum maupun isti’mal. Dalam hal ini, secara ringkas
hukumnya boleh dipakai untuk berhias
dan akan datang penjelasannya.
- Khusus berkaitan dengan ittikhot emas dan
perak ada 2 pendapat dalam mazhab, yaitu :
1.) Pendapat yang tidak memperbolehkan dan
pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul
Islam Taimiyah, Syaikh Bin Baaz ;
2) Pendapat yang membolehkan dan pendapat ini
dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani, Imam
Ash-Shon’ani, Syaikh Al-‘Utsaimin ;
5.
Hukum Bejana dan Pakaian Ahli Kitab
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Boleh menggunakan bejana dan pakaian Ahlu Kitab
selama tidak diketahui kenajisannya.”, walaupun dalam mazhab Hanbali ada beberapa
riwayat pendapat berkaitan dengan hal ini.
Dalilnya dalam sebuah hadits yang panjang
dimana Nabi dan para sahabat pernah berwudhu di bejana milik wanita musyrikin
dan bahkan Nabi pun memerintahkan sahabat untuk mandi meggunakan bejana
tersebut.
Dari Imron bin Husain radhiyallohu 'anhu,”Bahwasanya Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam pernah berwudhu’ bersama dengan para sahabatnya dari tempat air kepunyaan seorang wanita musyrik.”
[HR. Bukhari, No. 334 dan Muslim, 2/140-141]
- Jika bejana milik orang musyrik
diperbolehkan, maka bejana milik Ahlul Kitab seharusnya lebih dibolehkan karena
dalam Al Qur’an dibedakan antara
Ahlul Kitab dan selain Ahlul Kitab. Wanita Ahlu Kitab boleh dinikahi oleh
laki-laki muslim, sedangkan wanita dari kaum musyrikin tidak boleh dinikahi. Hal
semacam dalam Al-Qur’an boleh diqiyaskan. Ada pun dalam pakaian, maka asalnya
suci, kecuali ada dalil yang mengharomkannya. Berdasarkan kaidah fiqihnya :
“ Hukum Asal
Air Tanah, Langit Dan Batu Adalah Suci ”
“ Hukum Asal
Air Adalah Suci “
- Kesimpulannya bahwa selama tidak diketahui
kenajisannya, maka tidak mengapa menggunakan bejana milik Ahlul Kitab. Contoh :
diketahui Ahlul Kitab tersebut memasak daging babi, maka kaum muslimin sebelum
memakainya harus mensusucikannya terlebih dahulu sebelum digunakan sebab diketahui kenajisannya. Kalau
tidak diketahui kenajisannya, maka asalnya adalah suci dan boleh berdasarkan
hadits Imron diatas tentang kisahnya Nabi dan para sahabat yang berwudhu’ dari
bejana milik wanita musyrikin.
Dalil bejana tersebut harus disucikan jika
diketahui kenajisannya :
Berkata Abu Tsa’labah Al Khusyani radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku pernah bertanya,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami berada di suatu negeri Ahli Kitab, apakah kami boleh makan dengan piring-piring mereka?” Beliau menjawab,”Janganlah kamu makan dengannya, kecuali bila kamu tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah, lalu makanlah dengannya.”
[HR. Bukhory dan Muslim]
6. Hukum Bulu dan Rambut Bangkai
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Bulu bangkai dan rambutnya adalah suci (thohir).”
- Pendapat beliau ini dipegang oleh mazhab Hanafiyyah
dan Malikiyyah. Pendapat Ibnu Qudamah diambil dari hukum asalnya karena asal
bulu bangkai dan rambut adalah suci, kecuali ada dalil yang menajiskannya dan
tidak ada dalil shohih yang menunjukkan kenajisannya.
- Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam mengharomkan memakan daging keledai yang
dipelihara. Telah kita ketahui bersama bahwa keledai itu ditunggangi oleh sahabat
dan sudah pasti tubuh mereka mengenai rambut-rambut keledai, akan tetapi tidak
pernah dinukil perintah dari Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat untuk membersihkan diri
mereka dari rambut keledai. Bangkai jelas harom dan najis, tapi tidak ada dalil
yang menunjukkan rambut dan bulunya juga najis. Demikianlah hikmah bulu dan
rambut bangkai tidak najis karena manusia sulit berlepas diri darinya.
7.
Hukum Kulit Bangkai
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Kulit bangkai tetap najis, baik sudah disamak atau belum disamak.”
- Dubi’ (دُبِغَ) atau
disamak, yaitu Ad-Diba’ artinya dihilangkan baunya, dilembutkan kulitnya dengan
garam atau kapur. Kalau di Saudi Arabia kadang menggunakan daun salam agar hilang
baunya. Jadi, disini sini Ibnu Qudamah
berpendapat bahwa semua kulit bangkai adalah najis.
Dalil Beliau :
Telah menceritakan kepada kami Waki’ dan Ibnu Ja’far keduanya berkata, Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam dari Abdurrahman bin Abu Laila -dalam riwayat lain- Ibnu Ja’far bekata, saya mendengar Ibnu Laila dari Abdulloh bin Ukaim Al Juhani ia berkata; Telah datang kepada kami surat dari baginda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam saat kami berada di Juhainah, sementara waktu itu saya masih kecil. (Yang isinya tertulis), “Janganlah kalian mengambil manfaat dari bangkai yang belum disamak dan juga tulang.”
[HR. Ahmad No.18.029].
Keterangan
berkaitan dengan Hadits :
1.) Bahwasanya hadits tersebut ditulis 1
(satu) bulan sebelum Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam wafat dan ini merupakan hadits terakhir sehingga dijelaskan
oleh Al-Hazimi, Imam Ath-Thohawi, dan
selainnya dalam pembahasan hadits Nasikh
dan Mansukh bahwa itu adalah hadits
yang terakhir.
2.) Hadits diatas, dijawab oleh para ‘ulama
yang membolehkan dengan 2 (dua) jawaban, yaitu :
- Hadits diatas lemah karena terdapat kerancuan dalam matan dan sanadnya dan terputus. Jika haditsnya kuat, maka lafadz hadits “ihab” dalam bahasa Arab adalah kulit yang belum disamak.
- Mazhab Hanbali, Malikiyah yang diluatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Al-‘Utsaimin, dan selainnya bahwa kulit bangkai yang telah disamak hukumnya suci. Jadi, syarat kulit bangkai yang hukumnya suci adalah apabila sudah disamak. Kalau belum disamak, maka belum suci.
Dalilnya :
a.) Dari Ibnu
‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”
[HR. An Nasa’i, No. 4241, At Tirmidzi No. 1728, Ibnu Majah No. 3609, Ad-Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir Wa Ziyadatuhu No. 4476 mengatakan hadits ini shohih]
Hadits Ibnu
Abbas tegas sekali menunjukkan apabila
kulit bangkai sudah disamak, maka terhukumi suci.
b.)
Dan telah menceritakan kepadaku Abu ath-Thahir dan Harmalah keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendapati kambing mati yang telah diberikan sebagai sedekah kepada maula Maimunah, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Mengapa kalian tidak memanfaatkannya dengan menyamaknya?" Mereka berkata, "Ia sudah menjadi bangkai." Maka beliau bersabda, "Yang diharamkan hanyalah memakannya."
[HR. Muslim, No.543]
Hadits diatas menunjukkan bahwa yang diharomkan
hanya memakannya. Ada pun jika kulitnya sudah disamak, maka suci. Pendapat yang
inilah yang lebih mendekati bahwa kulit bangkai yang sudah disamak, maka
hukumnya suci. Jika belum disamak, maka masih najis.
8.
Hukum Tulang Bangkai
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Demikian pula tulang belulangnya sama seperti
kulitnya (maksudnya najis).” Pendapat beliau ini merupakan salah 1 (satu)
pendapat dikalangan mazhab Hanbali dan merupakan pendapat yang paling masyhur
dikalangan mereka, sekaligus pendapatnya mazhab Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Dalil Beliau :
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?”
[QS. Yasin : 78)
- Para ‘ulama yang berdalilkan dengan ayat
diatas sehingga menghukumi tulang itu najis memaknai “menghidupkan” dengan
hewan yang telah mati, maka menjadi bangkai dan bangkai itu sendiri najis.
Tetapi, alasan tersebut tidak kuat.
- Pendapat
yang rojih (kuat,terpilih) dalam mazhab Hanafi dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa
tulamg belulang dari bangkai adalah suci. Dalilnya hadits riwayat Muslim dari jalan Ibnu ‘Abbas yang telah berlalu bahwa yang diharomkan dari bangkai hanya
memakannya. Ada pun kulitnya, bulunya, atau rambutnya apabila sudah disamak,
maka tidak diharomkan.
- Oleh karena itu, benda-benda dimasa
sekarang yang banyak berasal dari kaum
Kufar, baik berupa sisir, medali, dan
sebagainya yang terbuat dari tulang dan semisalnya adalah hal yang dibolehkan
menurut pendapat yang rojih.
9.
Apakah Seluruh Bangkai adalah Najis?
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh dan beliau disini memberikan hukum secara umum,
“Setiap bangkai adalah najis.”
- Pendapat yang benar bahwa hukum asal
bangkai adalah najis, kecuali ada beberapa bangkai yang terdapat nash yang
menunjukkan ketidaknajisannya.
- Dalil dari para ‘ulama yang mengatakan
setiap bangkai adalah najis, yaitu :
firman Allah Ta'ala,
“Katakanlah:"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Alloh."
[QS. Al-An’am : 145]
- Pendalilan dengan ayat di atas sebenarnya
kurang kuat karena ada juga bangkai yang tidak najis berdasarkan nash-nash yang
ada. Akan tetapi, pendalilan diatas sangat bagus untuk menunjukkan bahwa
bangkai itu asalnya adalah najis. Dalam hal ini, kemudian didukung oleh hadits Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma yang
telah berlalu, yaitu “Apabila kulit ihab (bangkai) sudah disamak, maka itu
suci.” yang menunjukkan bangkai yang kulitnya sudah disamak, maka hukumnya
adalah suci.
10.
Hukum Bangkai Manusia
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Setiap bangkai adalah najis, kecuali bangkai
manusia.”
Dalilnya :
Alloh Ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
[QS. Al-Isro’ : 70)
Hadits dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu secara mu’allaq,
“Maha suci Alloh Sesungguhnya seorang muslim itu tidaklah najis.”
[HR Al-Bukhory]
_Hukum Bangkai Manusia Non-Muslim_
- Kalau kita melihat konteks hadits Bukhory
diatas bahwasanya seorang mukmin tidaklah najis. Tapi, apakah maknanya
membatasi? Jawabannya ada pada ayat lain, yaitu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”
[QS. At-Taubah : 28]
Ada lafazh “Kaum musyrikin adalah najis “ dan
para ‘ulama menafisrkan najis disitu adalah najis secara maknawi, yaitu
perbuatan syiriknya itu yang sebagai sesuatu yang kotor, bukan najis secara
badan karena telah sah kaum Kufar memasuki masjid, yaitu kisahnya Tsumamah bin Utsal Al-Hanafi yang ditawan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan diikat di masjid ketika
beliau masih kafir. Dalam Al-Qur’an dibolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab dan
tidak pernah dinukil dalam riwayat Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang menikahi Ahlul Kitab
untuk mandi atau beliau menyinggung tentang kenajisan mereka jika Ahlul Kitab
tersebut meninggal dunia. Oleh karena itu, Asy-Syaikh
Muhammad Bin Sholih AL-‘Utsaimin menguatkan bangkai orang kafir tidaklah
najis.
11.
Hukum Bangkai Hewan Air
- Pembahasan ke -11 merupakan pengecualian
bangkai yang tidak najis, yaitu (1).Bangkai manusia, dan (2).Bangkai hewan air.
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh dalam penyebutan perkecualian, “Demikian pula hewan
air yang tidak hidup, kecuali di air.”
- Ada pun hewan yang hidup di air, tetapi
kebanyakannya hidup di darat atau hewan yang hidup di air dan darat akan datang
pembahasannya nanti.
- Beliau menyinggung hewan yang hidup diair,
maka halal bangkainya.
Dalilnya :
“Seseorang bertanya kepada Rasulullah searaya berkata : “Wahai Rasululloh! Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Apabila kami berwudhu dengannya (air itu), maka kami kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi was allam menjawab : “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”
[HR Sunan Al Arba'ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan dishohihkan Al Albani dalam Al Irwa' no.9 dan Silsilah Al Ahadits Al Shohihah no. 480]
- Bangkai hewan air disini tidak terbatas
pada hewan yang hidup di air laut saja. Secara ‘urf memang benar yang
dimaksud adalah air yang asin, akan tetapi secara bahasa air laut berasal
dari Ma’a Al-Mustabahah, yaitu air yang
sangat banyak, baik tawar ataupun asin sehingga hewan laut atau sungai hukumnya
halal dan suci. Oleh karena itu, dalam ketentuan air disebut Shoidul Bahr (Buruan Laut) yang
merupakan kebalikan dari Buruan Darat (Shoid).
- Telah sah hadits Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu, walaupun mauquf dimana ikan didalam
hadits tersebut maknanya secara umum.
“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”.
[HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
- Jadi hewan yang hidup air bangkainya halal,
baik anjing laut, kuda laut, dam babi laut.
12.
Hukum Bangkai Hewan yang Tidak Memiliki Darah Mengalir
- Kata Ibnu
Qudamah rohimahulloh, “Dan hewan yang tidak memiliki darah mengalir,
seperti lalat, nyamuk, kutu, kelelawar.”
- Istilah
hewan yang tidak memiliki darah mengalir merupakan istinbath fiqih dikalangan fuqoha. Istilah ini pernah Ustadz baca dalam biogarafi
Ibrahim An-Nakha'i rohimahulloh
dimana Syaikh Abdul Mushin Al-‘Abbad
hafidhohulloh membawakan perkataan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rohimahulloh bahwa yang pertama kali menggunakan istilah “hewan yang tidak memiliki darah mengalir” adalah Ibrohim bin Yazid An-Nakha'i. Istilah beliau
ini lalu diambil oleh para fuqoha dan mereka menyebutnya “hewan yang tidak memiliki
darah mengalir.”
Dalilnya
:
Dari Abu Hurairoh rodiyallaahu ‘anhu, bahwa Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila lalat masuk/ terjatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah (lalat itu) kemudian buanglah, karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya ada penyakit (racun) dan pada sayap yang lainnya ada penawarnya.”
[HR.Bukhory]
Faidah Hadits :
Apabila lalat dicelupkan kedalam air, maka otomatis
akan mati dan menjadi bangkai. Sekali pun lalat tersebut tidak mati, tapi
menunjukkan bangkainya tidak najis. Oleh karena itu, masalah lalat tersebut
diqiyaskan untuk seluruh hewan, seperti lalat dan ‘illat-nya seperti yang
disebutkan oleh Ibrohim An-Nakha’i,
yaitu hewan yang tidak mmemiliki darah mengalir. Qiyas tersebut merupakan qiyas
yang kuat dan didukung dengan dalil umum tentang halalnya bangkai belakang dan ikan.
Ikan dan belalang memilki darah, tapi tidak mengalir dan juga hewan selainnya yang
halal, tapi tidak memiliki darah mengalir.
- Ibnu
Qudamah rohimahulloh memberikan isyarat, yaitu “Apabila hewan yang
tidak memiliki darah mengalir ini tidak lahir dari najis.” Misalnya :
Lalat yang lahir dari kotoan manusia, maka hukumnya najis.
- Isyarat dari beliau ini akan kita bahas
pada bab di bawah ini
13.
Adakah Hewan yang Terlahir dari Najis?
- Timbul pertanyaan. Adakah hewan yang lahir
dari najis? Jika ada, maka dihukumi najis. Akan tetapi, berdasarkan penelitian
tidak mungkin hewan lahir selain dari zatnya, seperti dari telur yang mungkin
telur tersebut berada dalam suatu benda yang najis. Oleh karena itu, pendapat
yang lebih mendekati kebenaran bahwa
syarat Ibnu Qudamah adalah sesuatu
yang tidak pasti, KECUALI apabila
hewan tersebut baru singgah dari tempat yang najis, seperti kotoran manusia
lalu hewan tersebut singgah di tempat lain. Dalam hal ini masih ada najis yang
melekat pada hewan tersebut. Oleh karena itu, dalam pembahasan tikus dimana tikus
tersebut jatuh mengenai mentega, Nabi memerintahkan membuang tikus tersebutdan
mentega disekitarnya.
Dalilnya
:
Telah mengabarkan kepada kami Khusyaisy bin Ashram, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, ia berkata; telah memberitakan kepadaku Abdurrahman bin Budzuwaih bahwa Ma'mar menyebutkannya dari Az Zuhri dari 'Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas dari Maimunah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau ditanya mengenai tikus yang jatuh di dalam mentega, maka beliau bersabda: 'Apabila mentega itu beku maka buanglah tikus tersebut dan yang ada disekitarnya dan apabila mentega itu cair maka janganlah kalian mendekatinya."
[HR. An-Nasa'i, No.4187]
- Demikian pula dengan kucing yang sering
memakan tikus, sedangkan tilus merupakan hewan yang memilki darah mengalir
sehingga najis. kucing : juga makan tikus, jd bangkai kan. Bangkai tikus najis
karena darahnya mengalir. Nabi memberikan kekhususan bahwa kucing bukanlah
najis.
Dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kucing, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan yang najis, hanyalah ia hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian”
[HR. Tirmidzi]
- Kesimpulannya bahwa hewan yang terlahir
dari najis itu tidak ada. Hewan terlahir
dari zat itu sendiri, semisal telur dan itu bukan termasuk najis.
_Selesai_
[Faidah dari
Al-Ustadz Dzulqornain bin Muhammad Sunusi hafizhohulloh dalam Pembahasan Kitab ‘Umdatul
Fiqh, 2012]
____________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar