Senin, 24 Maret 2014

Koreksi Total tentang Kesalahan Orang yang Sholat (Pasal ke-3)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


… Catatan Dars …

Al-Qoulul Mubin fi Akhthoo’il Mushollin
Oleh :
Asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman
(Murid senior Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

..................................................................................................




Pasal ke-3
Kumpulan Kesalahan Orang yang Sholat Berkaitan Tata Cara Sholatnya


- Ini merupakan pasal yang sangat penting karena menyangkut uraian kesalahan dalam hal tata cara sholat.

- Point secara global dari penulis dalam pasal ini, yaitu :
  1. Kesalahan dalam hal melafadzkan niat dan pendapat yang mewajibkan niat harus bersamaan dengan takbirotul ihrom ;
  2. Kesalahan dalam hal tidak menggerakkan lisan ketika membaca takbir, membaca Al-Qur’an, dan seluruh bacaan dzikir dalam sholat ;
  3. Kesalahan berkaitan dengan posisi berdiri, antara lain tidak mengangkat kedua tangan ketika takbirotul ihrom, ruku’, dan i’tidal ;
  4. Kesalahan tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, tidak meletakkan tangan di atas dada atau di bawah atau di atas pusar ;
  5. Kesalahan tidak membaca do’a istiftah dan isti’adzah (do’a memohon perlindungan kepada Alloh dari godaan syaithon) sebelum membaca Al-Fatihah ;
  6. Kesalahan mengulangi bacaan Al-Fatihah ;
  7. Kesalahan mengangkat pandangan ke langit ketika sholat atau melihat selain ke arah tempat sujud
  8. Kesalahan memejamkan mata ketika sholat ;
  9. Kesalahan banyak melakukan gerakan yang sia-sia ;
  10. Kesalahan dalam ruku’ dan i’tidal, yaitu tidak melakukan At- Ta’mir Al-Arkan, tidak tuma’ninah ketika ruku’ dan I’tidal, dan membaca qunut rotib ketika shubuh dan meninggalkan qunut nawazil ;
  11. Kesalahan dalam hal sujud, yaitu tidak memantapkan anggota sujud ke bumi, tidak tuma’ninah, mewajibkan membuka sebagian anggota sujud, meletakkan benda sebagai tempat sujud untuk orang yang sakit, dan kesalahan dalam sujud sahwi ;
  12. Kesalahan dalam duduk tasyahhud dan salam, yaitu “assalamu’alayka ayyuhannabiyyu” dimana penulis mengatakan bahwa hal itu salah,  lafadz “sayyidina” dalam sholawat, dan kesalahan orang yang mengingkari orang yang menggerakkan jarinya ketika sholat (akan dijelaskan bantahan terhadap penulis tentang hal ini karena penulis merojihkan menggerakkan jari ketika tasyahhud dan mengingkari yang tidak menggerakkan jarinya) ;
  13. Kesalahan dalam hal mengucapkan salam.



~~~~~~~~~~~~~~ 0000~~~~~~~~~~~~~~


1.) Menjahrkan Niat

- Jahr artinya mengeraskan.


 Ada 2 point dalam masalah ini, yaitu :

(1.) Masalah mengeraskan niat

è Penulis mengatakan mengeraskan niat tidak diwajibkan, tidak disunnahkan, pelakunya dihukumi sebagai mubtadi’, sesat, dan jahil jika dia meyakini mengeraskan niat adalah bagian dari syari’at Alloh dan orang tersebut butuh diberikan nasihat. Ini adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa.

è Para ‘ulama Syafi’iyah, seperti Imam Robi’ bin Sulaiman bin Umar telah membid’ahkan masalah mengeraskan niat dan menyatakan hal itu bukan termasuk sunnah bahkan hukumnya makruh. Makruh disini merupakan istilah para ‘ulama terdahulu dan maknanya adalah harom. Dalilnya Alloh Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, “Hal itu di sisi Robb-mu adalah makruh. Dan telah di-makruhkan kekafiran dan kefasikan.” Makruh disini maknanya adalah harom. Tidak mungkin hukum kekafiran dan kefasikan adalah makruh seperti halnya dalam hukum fiqh.

è Para ‘ulama membagi istilah makruh dalam 2 makna (pembagian ini ada dalam ilmu Ushul Fiqh), yaitu :

  1. Makruh Karohatu Tahrim, yaitu makruh yang bermakna harom ;
  2. Makruh Karohatu Tanzih, yaitu makruh yang dikenal belakangan yang artinya ditinggalkan lebih baik, dikerjakan tidak mengapa.

è Imam Robi’ bin Sulaiman berkata, “Apabila terdapat tasywisy (gangguan, mengganggu) orang yang sholat, maka hal itu harom. Barang siapa yang berkata menjahrkan niat adalah sunnah, maka dia telah salah.”

è Abu ‘Abdillah Muhammad Ibnul Qosim Al Tunisy (ulama malikiyyah) berkata, “Niat adalah pekerjaan hati. Menjahrkan niat adalah bid’ah. Dapat menganggu orang yang sholat.”

è Atho’ berkata, “Mengangkat suara ketika niat apalagi disertai dengan suara gaduh, maka hukumnya harom menurut kesepakatan. Bahkan itu adalah bid’ah yang sangat menjijikkan. Apabila mengeraskan niat dimaksudkan untuk riya’, maka dilihat dari dua sisi, yaitu :
  • sebagai dosa besar, dan
  • sebagai riya’

Orang yang berkata bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, lalu ada orang yang mengingkari perkataan orang tersebut, maka orang yang mengingkari benar, Orang yang mengatakan mengeraskan niat adalah bagian dari agama Alloh, maka dia telah melakukan kekufuran. Apabila dia tidak meyakini sebagai bagian dari syari’t, maka dia telah bermaksiat.”

è Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menukil kesepakatan para ‘ulama akan haromnya menjahrkan niat


Catatan Penting : 
Masalah menjahrkan niat telah ada kesepakatan ‘ulama akan keharomannya. Ada pun yang terjadi ikhtilaf (perselisihan) di dalamnya adalah apakah boleh melafazhkan niat, tapi tidak menjahrkan (mengeraskan)? Ikhtilaf ini terjadi pada sebagian kalangan Syafi’iyah belakangan. Ada pun imam 4 (Syafi’i, Ahmad, Hanafi, dan Malik) sepakat akan keharomannya karena niat dari sisi bahasa artinya adalah tujuan dan sudah terhitung menginginkan, walaupun tidak diucapkan,



Kerusakan-kerusakan yang muncul akibat  mengeraskan niat antara lain :
  1. Menyelisihi kesepakatan para ‘ulama karena termasuk bid’ah ;
  2. Menyelisihi kesepakatan ‘ulama ahli bahasa, yaitu niat tempatnya di hati ;
  3. Menyelisihi akal è keanehan kalau setiap kali hendak makan, misalnya harus melafazhkan niat ;
  4. Membuat orang lain merasa berat dalam menjalankan agama sehingga hal itu dapat membawa orang lain kedalam penyimpangan. Contoh : Ada orang yang karena meyakini wajibnya melafadzkan niat. Kemudian dia lupa tidak melafadzkan niat shaum Romadhon. Akhirnya dia tidak berpuasa dan terjatuh dalam perkara meninggalkan kewajiban agama. Kata Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang ektrem dalam beragama, melainkan dia akan terkalahkan.”
  5. Termasuk bid’ah dan bid’ah itu sendiri berbahaya.


Catatan Penting : 


Masalah melafadzkan niat ada 2 bentuk, yaitu (1) melafadzkan, tapi tidak terdengar suaranya dan pendapat ini muncul dikalangan Syafi’iyah belakangan, Pendapat ini muncl karena salah dalam memahami perkataan Imam Asy-Syafi’i. (2) menjahrkan niat dan hukumnya harom berdasarkan kesepakatan ‘ulama.



Kisahnya :   
Ikhtilaf dikalangan para ‘ulama Syafi’iyah dan dalam hal ini ‘ulama lain tidak ada perselisihan. Imam An-Nawawi berkata bahwa yang salah memahami dan yang pertama kali memunculkan bid’ah melafazhkan niat adalah Abu ‘Abdillah Az-Zubairy yang keliru da;am memahami perkataan Imam Syafi’i. Imam Syafi’I berkata, “Apabila seseorang telah meniatkan menjalankan ibadah haji dan umroh, maka, sudah terhitung baginya pahala mengerjakannya, walaupun belum dia lakukan. Ada pun sholat, maka tidak sah, kecuali apabila ia ucapkan.” Imam An-Nawawi menjelaskan bantahan para ‘ulama Syafi’iyah terhadap penafsiran Az-Zubairy. Hal yang benar bahwa yang dimaksud Imam Syafi’I adalah takbirotul ihrom. Ada pun jika memang benar Imam Syafi’I memaksudkannya adalah dengan menjahrkan niat, tetap beliau dihukumi telah menyelesihi dalil dan kesepakatan para ‘ulama. Pelajaran yang bisa diambil disini adalah seseorang harus pandai dalam memahami dalil.



Kesimpulan : 
Menjahrkan niat adalah bid’ah. Semua imam yang 4 telah sepakat akan kebid’ahannya. Tempat niat di hati. Perselisihan hanya terjadi dikalangan ‘ulama syafi’iyah mutaakhirin. Itu pun terjadi karena kesalahan dalam memahami perkataan Imam Syafi’i. Penjelasan ini telah dinukil Imam Nawawi dan telah didahului oleh ijma’ para ‘ulama.



è Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad berkata bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam tidak mengucapkan niat ketika hendak sholat, baik sholat 4 roka’at, sebagai imam, atau sebagai makmum. Mengucapkan niat di dalamnya terdapat 10 macam bid’ah, yaitu :
  1. Sebelum takbirotul ihrom mengucapkan sesuatu ;
  2. Melafazhkan niat ;
  3. Membaca “usholli …. “
  4. Menambah dengan lafazh “mustaqbilal qiblati …”
  5. Menambah dengan lafazh “arba’a roka’aatin …”
  6. Menambah lafazh “imama…”
  7. Menambah lafazh “ma’muma …”
  8. Menambah lafazh “adaa’an …”
  9. Menambah lafazh “qodhoa’an …”
  10. Menambah waktu yang telah ditentukan

è Melafadzhkan niat tidak pernah dinukil, baik dalam nukilan yang lemah, shohih, maupun mursal (hadits yang terputus sanadnya).

è Masalah haji memang benar untuk dilafadzhkan niatnya karena ada nash dari Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam. Selain dari perkara itu, maka tidak ada.



(2.) Mewajibkan menghadirkan niat ketika takbirotul ihrom

- Ada orang yang berulang kali mengulangi takbir karena saat melakukan takbirotul ihrom niatnya belum muncul. Tidak ada dalil tentang hal ini. Penulis membawakan dalil dari Imam Syafi’i.




2. Tidak Menggerakkan Lisan Ketika Takbir, Membaca Al-Qur’an, dan Dzikir

- Kesalahan yang cukup fatal. Termasuk didalamnya tidak membuka mulut ketika takbir, membaca Al-Qur’an, dan dzikir dalam sholat.

- Ketika takbirotul ihrom tidak menggerakkan lisan è sholatnya batal, dianggap belum takbirotul ihrom karena dalam Al-Qur’an dan Hadits menjelaskan menggerakkan lisan.

Dalil ke-1 :
Hadits dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu bahwa ada seorang sahabat yang memasuki masjid untuk sholat. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperhatikan cara sahabat itu sholat dan beliau pun memerintahkan sahabat itu mengulangi sholatnya sampai tiga kali karena sahabat itu sesungguhnya belum melaksanakan sholat. Lalu, Nabi pun mengajarkan. ““Jika engkau hendak melaksanakan shalat, maka lakukanlah wudhu’ dengan sempurna, kemudian menghadaplah kiblat dan ucapkanlah takbir, kemudian BACALAH suroh (ayat) Al-Qur’an yang mudah bagimu ….” è Makna “bacalah” dari sisi bahasa adalah perbuatan yang disertai dengan ucapan dan menggerakkan lisan.

Dalil ke-2 :
Dalam sebuah ayat, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Janganlah engkau menggerakkan lisan apabila engkau ingin bersegera dalam membaca Al-Qur’an.”

Dalil ke-3 :
Dalam hadits disebutkan tentang bacaan yang dibaca Rosululloh ketika sholat dalam bentuk lafadz “Nabi ketika sujud, ruku’, tasyahhud, beliau membaca do’a ini.” è Lafadz membaca, berkata menunjukkan harus dengan ucapan, menggerakkkan lisan.


Tata cara mengucapkannya :

1.) Dalam kondisi sholat berjama’ah è men-jahr kan bacaan hukumnya harom karena dapat mengganggu orang lain. Dalilnya hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Setiap dari kalian menyeru kepada Robb-nya. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali kalian mengeraskan suaranya kepada sebagian yang lain.” è Jadi, disini kita menggerakkan lisan, tapi tidak sampai memperdengarkan bacaan kita kepada orang lain.

Ada perselisihan dikalangan ‘ulama è Apakah harus ia perdengarkan bacaannya untuk dirinya sendiri atau cukup menggerakkan lisan, tapi dirinya tidak mendengar bacaannya.

  • Imam Syafi’i è Mensyaratkan untuk memperdengarkan dirinya dan orang disekitarnya, tapi tidak boleh melampui batas.
  • Syaikh Al-‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti è Pendapat yang benar dan kuat adalah tidak memperdengarkan kepada dirinya karena memperdengarkan bacaan adalah perkara tambahan dari perkataan dan ucapan. Contoh : A menggerakan lisan dan tidak terdengar suara. Maka, A ini sudah bisa dihukumi telah berucap. Kalau disertai dengan memperdengarkan suara, maka memperdengarkan suara adalah perkara tambahan dan membutuhkan dalil untuk membolehkannya. Tapi, tidak ada dalil yang memerintahkan hal itu. Jadi, tidak disyaratkan memperdengarkan suaranya sebab tidak ada dalilnya.

Kesimpulan : 
Cara mengucapkannya adalah dengan membacanya dan menggerakkkan lisannya ketika sholat atau ia perdengarkan suaranya untuk dirinya sendiri (ini merupakan perkara yang bagus, tapi tidak harus), tapi, jangan sampai terdengar orang lain karena dapat mengganggu orang yang sholat.

2.) Dalam kondisi sebagai makmum atau munfarid è Ia sirr-kan bacaannya.




3. Kesalahan dalam Berdiri ketika Sholat

- Ada beberapa kesalahan yang terjadi menurut penulis, antara lain :

1.) Tidak Menganggkat Tangan ketika Takbirotul Ihrom, Ruku’, dan I’tidal.

Penulis berpendapat seperti itu, tetapi dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika (1) takbirotul ihrom, (2) turun untuk ruku’ dan bangkit dari ruku’, dan (3) bangkit dari tasyahhud pertama menuju roka’at ke-3. 

Jadi, ada 4 tempat dalam mengangkat tangan, yaitu ketika takbirotul ihrom, ruku’, sujud, dan bangkit dari tasyahhud awal. 

Ada ‘ulama lain yang menambah tempat untuk mengangkat tangan, seperti ketika dari I’tidal menuju sujud dan ketika bangkit dari duduk ‘iftirosy dimana ada para ‘ulama yang menshohihkan haditsnya. Tapi, yang benar mengangkat tangan selain pada 4 tempat diatas, semua riwayatnya adalah lemah.

Hadits mengangkat tangan pada 4 tempat diriwayatkan kurang lebih oleh 50 para sahabat dan 10 diantaranya sahabat yang dijamin masuk Surga. Imam Bukhory menukil dari Hasan Al-Bashri bahwa seluruh sahabat mengangkat tangan mereka dalam sholat. Imam Bukhory juga berkata bahwa ‘ulama Ahli Fiqh, baik dari negeri Hijaz, maupun Irak, diantaranya Imam Al-Humaidy, Ibnu Ma’in, Imam Ahmad dimana tidak ada seorang pun dari mereka yang mengetahui adanya dalil bolehnya meninggalkan mengangkat tangan, dalil bolehnya mengangkat tangan, dan dalil dari para sahabat bahwa mereka tidak mengangkat tangan. Jadi, mereka para perowi ini tidak memiliki dan mengetahui dalil bahwa Nabi tidak pernah mengangkat tangannya ketika sholat. Hal itu menunjukkan sunnah yang mutawatir karena diriwayatkan oleh sebagian besar sahabat yang tidak mungkin berdusta.

Beberapa kesalahan di masyarakat Indonesia :
  1. Langsung ruku’ tanpa mengangkat kedua tangan ;
  2. Bangkit dari I’tidal tidak mengangkat kedua tangan ;
  3. Mengangkat kedua tangan ketika hendak sujud è mengangkat tangan tidak pada tempatnya



2.) Mengulurkan Tangan dan Tidak Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri.

Ada dua masalah dalam hal ini, yaitu 
(1).mengulurkan tangannya dan tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, dan (2) tempat meletakkan tangan ketika sholat.

Masalah ke-1 :
Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalilnya datang dari para sahabat. Dalilnya hadits dari Sahl bin Sa’ad dalam riwayat Bukhory bahwa manusia diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya diatas dziro’-nya (seukuran ujung jari tengah-siku) tangan kirinya dalam sholat. Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengakhirkan makan sahur, menyegerakan untuk berbuka, dan meletakkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami dalam sholat. Tetapi, setelah dikoreksi ternyata dalam hadits Ibnu ‘Abbas tersebut terdapat rowi yang lemah, yaitu Tholhah bin ‘Amr dan beliau ini rowi yang Matrukul Hadits (rowi yang ditinggalkan haditsnya). Kata Ibnu Abdil Barr bahwa tidak ada satu pun nash dari Nabi yang mengingkari hal itu dan ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama. Jadi, yang benar adalah tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri. Tidak ada perselisihan dikalangan sahabat tentang hal itu.


Masalah ke-2 :
Masalah diletakkannya tangan kanan di atas tangan kiri, apakah di dada, di pusar, antara dada dan pusar, atau leher??? Dalam hal ini, ada perselisihan pendapat di kalangan ‘ulama.

a.) Penulis menguatkan pendapat bahwa kedua tangan diletakkan di dada.
Dalil beliau adalah hadits Wa’il bin Hujr, tetapi hadits ini lemah karena melalui jalan dari Mu’amal bin Ismail yang meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri dari 'Ashim bin Kulaybi dari ayahnya dari Wa’il bin Hujr. Mu’amal bin Ismail adalah rowi yang lemah haditsnya, shoduuq sayyi’ul hifdhy (rowi yang tsiqoh, namun buruk hafalannya), dan telah menyelisihi 2 orang rowi yang lebih senior dari Sufyan Ats-Tsauri, yaitu Abdulloh bin Walid dan Muhammad bin Yusuf Al-Firriyabi. Beliau juga telah menyelisihi 10 orang rowi yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaybi, yaitu diantaranya Abdulloh bin Idris, Bisyr Al-Mufadhdhol, Kholid bin Abdulloh Ath-Thohhan, Abu ‘Awanah, Qo’is Ar-Robi’, dan seterusnya dimana semuanya tidak menyebutkan adanya tambahan meletakkan tangan di atas dada. Oleh karena itu, tambahan meletakkan tangan di atas dada adalah lemah haditsnya.


b.) Meletakkan kedua tangan di atas pusar è haditsnya lebih lemah.


c.) Meletakkan kedua tangan di leher
Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Author berkata, “Dalam masalah ini tidak ada hadits yang lebih shohih dari hadits Wa’il bin Hujr. Hadits Wa’il ini yang paling sejalan dengan penafsiran ‘Ali bin Abi Tholib dan Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat suroh Al-Kautsar, ‘Fasholli li robbika wanhar (maka, dirikanlah shalat karena Robb-mu dan berkurbanlah).’ Wanhar dari kata An-Nahr (leher).” Jadi, dalam masalah ini yang dimaksudkan adalah meletakkan kedua tangan, baik di leher maupun di dada. Penulis kitab ini tidak mengkoreksinya yang menunjukkan penulis bersepakat dengan pendalilan ini. Tetapi, atsar dari ‘Ali bin Abi Tholib yang menjelaskan penafsiran firman Alloh di atas telah dilemahkan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Turkumany. Ibnu Turkumany dan Imam Ad-Daruquthny mengatakan terdapat kelemahan dan kegoncangan pada sanadnya. Ada pun atsar dari Ibnu ‘Abbas dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Ro’uf ibnu Musayyab dimana Ro’uf ini periwayat hadits maudhu’ (palsu).


Kesimpulannya : 
Oleh karena itu, tidak ada hadits-hadits shohih yang menjelaskan posisi meletakkan kedua tangan ketika sholat, apakah di dada, di leher, atau di pusar. Dalam hal ini mukhoyyar (perkaranya luas, boleh memilih) boleh diletakkan di mana saja. Hanya saja, jangan sampai keluar dari perselisihan para ‘ulama karena hal tersebut merupakan adab dalam berselisih. Imam Ahmad berkata, “Berhati-hatilah engkau berbicara dalam suatu  permasalahan yang engkau tidak memiliki imam (pendahulu) dalam hal itu.” Kalau pendapat para ‘ulama yang berselisih ada 5, maka jangan ditambah dengan pendapat yang ke-6. Jadi, pendapat para ‘ulama dalam masalah ini, yaitu melatakkan di dada, antara leher dengan dada, di leher, antara pusar dengan dada, di ulu hati, di pusar, dan di bawah pusar sedikit. Selain pada tempat itu, maka tidak teranggap, seperti meletakkan di rusuknya, dan sebagainya. Imam Ahmad juga menguatkan hal ini dan membebaskan mau dipilih yang mana. Demikian pula Imam At-Tirmidzi bahwa hal itu (kebebasan memilih mau meletakkan tangan dimana) merupakan pendapat kebanyakan ‘ulama mu’assirin, seperti Asy-Syaikh Muqbil.



3.) Mengulangi Al-Fatihah

- Hukum mengulangi suroh Al-Fatihah, baik sebagian atau keseluruhan adalah makruh karena tidak ada dalil dari Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu dan ini menurut pendapat jumhur ‘ulama dan didalamnya termasuk pendapat imam 4.

- Ada ikhtilaf di kalangan ‘ulama apakah sholatnya batal atau tidak. Tapi, pendapat yang benar adalah tidak batal karena tidak ada dalil yang menjelaskan batalnya.

- Kalau mengulangi Al-Fatihah karena terjadi lahn (kesalahan) dalam lafadznya, misalnya membaca “Alhamdulillaahi robbul ‘alamin”, maka boleh mengulangi untuk memperbaiki kesalahannya.

- Jadi, hukum asalnya dalam membaca Al-Fatihah tidak boleh diulangi, kecuali dalam kondisi darurat, seperti imam yang lupa kelanjutan ayat berikutnya. Boleh bagi imam untuk mengulangi ayat sebelumnya supaya ingat ayat berikutnya.



4.) Mengarahkan Pandangan ke Langit

- Dalam masalah ini dibagi menjadi 2, yaitu 
(1) mengangkat pandangan ke langit, dan 
(2) melihat kepada selain tempat sujud.

Masalah ke -1 : Mengangkat Pandangan ke Langit

Dalil ke-1 :
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abu Al-Ahwash, telah menceritakan kepada kami Asy'ats bin Sulaim dari Bapaknya dari Masruq dari 'Aisyah. Beliau berkata, "Aku bertanya kepada Rosulullah shollallohu 'alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat." Maka, Beliau pun bersabda: "Itu adalah curian yang dilakukan oleh syaithon terhadap shalat seorang hamba." [HR. Bukhory, No.709] è Dalil larangan menoleh ke kanan dan ke kiri. Lebih fatal lagi kalau menoleh ke atas.

Dalil ke-2 :
Hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Hukuman bagi suatu kaum yang mengangkat pandangannya ke langit ketika sholat. Hendaknya mereka berhenti atau jika tidak penglihatan mereka akan dicabut.” [HR. Bukhory]

Dalil ke-3 :
Hadits dari Abu Hurairoh bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya orang-orang itu berhenti mengangkat pandangannya ke langit ketika berdo’a dalam sholat atau penglihatan mereka akan disambar.”

Dalil ke- 4 :
Hadits dari Jabir bin Samuroh bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hendaklah orang-orang itu sungguh-sungguh menghentikan untuk mengangkat pandangan mereka ke langit ketika dalam keadaan shalat, atau (bila mereka tidak menghentikannya) pandangan mereka itu tidak akan kembali kepada mereka.”

- Hadits-hadits di atas ketegasan tidak bolehnya mengangkat pandangan ke langit dan menoleh ke kanan dan ke kiri ketika sholat.


Masalah ke-2 : Memandang selain pada Tempat Sujud

- Penulis berkata telah datang perintah menundukkan pandangan –melihat kea rah tempat sujud-, kecuali dalam duduk tasyahhud karena dalam tasyahhud mata harus memandang ke jari telunjuk. Dalilnya hadits dari Ibnu ‘Umar bahwa penglihatan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika tasyahhud tidak melewati telunjukknya.

- Hadits perintah memandang ke arah tempat sujud è Haditsnya lemah, tapi dikuatkan oleh penulis.

- Jadi, dalam masalah ini diperbolehkan memandang kemana saja ketika sholat dengan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : (1) tidak boleh memandang ke langit, (2) tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri, (3) apa yang dia pandang ketika sholat bukan sesuatu yang menyibukkannya dalam sholat, seperti memandang gambar-gambar di sajadah karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa sesungguhnya sholat itu adalah kesibukan yang sangat sibuk.

- Bagaimana kalau memandang ke kaki??? Ada yang berpendapat untuk melihat kakinya atau ketika ruku’ melihat hidungnya, tapi pendapat ini tidak benar dan tidak ada dalilnya baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalil memandang ke kaki ketika sholat memang ada, tapi dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah.



5.) Memejamkan Mata ketika Sholat

- Kata Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad bahwa memejamkan mata dalam sholat bukan petunjuk Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Dalil ke-1 :
Hadits dari Ibnu ‘Umar bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika tasyahhud, pandangan mata beliau tidak melewati jari telunjuk è menunjukkan bahwa Nabi tidak memejamkan matannya ketika sholat.

Dalil ke-2 :
Ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sedang sholat. Tiba-tiba ada anjing yang melintas di depan sutroh beliau sehingga beliau pun berlomba dengan si anjing untuk mencapai sutroh supaya anjing tersebut lewat di belakang beliau. è Anjing hitam jika lewat di depan sutroh dapat membatalkan sholat. Andaikata beliau memejamkan matanya, pastilah anjing tersebut tidak nampak oleh beliau.

Dalil ke-3 :
Syaithon menampakkan dirinya ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sedang shalat dengan maksud hendak memutus sholat beliau. Lalu, beliau pun menangkapnya dan hendak diikat di tiang masjid agar menjadi mainan bagi anak-anak penduduk Madina keesokan paginya. Tetapi, beliau teringat dengan do’a Nabi Sulaiman. è Kalau Nabi memejamkan matanya ketika sholat, tentu syaithon tidak akan nampak oleh beliau.

Dalil ke-4 :
Ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat di atas khomishoh (kain bergambar yang berbentuk segiempat). Beliau merasa terganggu dengan kain tersebut sehingga meminta diganti dengan  ‘anbijaniyyah (kain polos). è Ini menunjukkan bahwa Nabi tidak memejamkan matanya ketika sholat. Kain khomishoh mengganggu beliau dalam sholat dan karena mengganggu, beliau bisa saja memejamkan matanya ketika sholat. Akan tetapi, karena memejamkan mata ketika sholat adalah kesalahan, maka beliau tetap membuka matanya sehingga selesai sholat beliau pun meminta kepada ‘Aisyah untuk menggantinya dengan ‘anbijaniyyah. Ini dalil yang tegas bahwa beliau tidak memejamkan mata ketika sholat.

- Pendapat yang benar memejamkan mata ketika sholat adalah makruh.



6.) Banyak Melakukan Gerakan yang Sia-sia

- Hendaknya seseorang khusyuk dalam sholatnya.

Dalil ke-1 :
Dalam riwayat Bukhory, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa sesungguhnya dalam sholat adalah kesibukan yang sangat sibuk.

Dalil ke-2 :
Hadits dari Jabir bin Samuroh dalam riwayat Muslim bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok orang bermain-main dan menggerakkan tangannya ketika sholat tanpa ada keperluan. Maka, beliau pun berkata, “Mengapa kalian mengangkat tangan-tangan kalian, seakan-akan hal itu adalah ekor kuda-kuda (ka’annahaa ‘adznaabun khoilin syums), maka tenanglah kalian dalam sholat. ” è Penulis menjelaskan syums adalah kendaraan kuda yang tidak pernah berhenti menggerakkan ekor dan kakinya.

- Ada hadits yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk menegur orang yang banyak bergerak dalam sholatnya, yaitu hadits yang berbunyi “Andaikata orang tersebut khusyuk dalam sholatnya, niscaya akan khusyuk pula anggota tubuhnya.” è Hadits Maudhu’ (palsu). Kata Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di dalam Neraka.”




4. Kesalahan ketika Ruku’ dan I’tidal

1.) Tidak melakukan At-Ta’mir bi Arkan.

Ta’mir dari kata Al-‘Ammaro, artinya menyuburkan, menumbuhkan. Ta’mir yang dimaksud disini adalah bersamaan antara gerakan dengan ucapan. Contoh : ketika akan ruku’, maka dia bertakbir “Allohu Akbar” bersamaan dengan turunnya dia untuk ruku’. Termasuk kesalahan kalau takbir dahulu, lalu ruku’ atau ruku’ dulu baru takbir. Hukumnya makruh menurut jumhur ‘ulama kalau tidak bersamaan antara takbir dan gerakan anggota tubuh. Oleh karena itu, hendaknya seseorang dalam sholat memberikan ta’mir pada anggota sujudnya. Maksudnya dia menghidupkan anggota sujudnyanya dengan dzikir, takbir, dan lain-lain. Inilah maksud dari At-Ta’mir bi Arkan.



2.) Tidak Melakukan Thuma’ninah ketika Ruku’ dan I’tidal

Dalil ke-1 :
Suatu hari Hudzaifah bin Yaman melihat seseorang yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. Ketika orang ini selesai shalat, Hudzaifah berkata kepadanya, “Sholat macam itu?” kemudian Hudzaifah pun berkata, “Seandainya engkau mati, engkau mati bukan diatas sunnah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dalam riwayat lain,  “Seandainya engkau mati, engkau mati tidak diatas fitrah yang Allah fitrahkan untuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [HR. Bukhory] è Menunjukkan teguran yang keras untuk orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya. Maksudnya, belum sempurna ruku’nya sudah berdiri kembali, dan seterusnya. Orang yang tidak thuma’ninah dapat membatalkan sholat karena dikalangan ‘ulama thuma’ninah termasuk rukun-rukun sholat.

Dalil ke-2 :
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang salah dalam sholatnya, “Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma’ninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tuhma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan thuma’ninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu.” [HR Bukhory, No. 757 dan Muslim 397]

Caranya thuma’ninah :

  • Misalnya, ketika ruku’ seluruh tulang sudah kembali ke posisinya, maka ini sudah melakukan thuma’ninah dan menyempurnakan ruku’nya. Ketika I’tidal posisi tulang sudah seperti ketika ia berdiri, dan seterusnya. Jadi, selama dia sudah tepat dan sempurna posisi ruku’, I’tidal,  sujud, dan tasyahhudnya, maka sudah dikatakan thuma’ninah. Asy-Syaikh Al-Albani menjelaskan thuma’ninah yang wajib (dalam hal ini ketika ruku’), yaitu sampai ia meletakkan kedua tangannya di atas lututnya, merenggangkan jari-jarinya, mendatarkan punggungnya, dan telah mengembalikan semua anggota tubuh ke posisinya masing-masing.


Beberapa kerusakan yang timbul akibat tidak melakukan thuma’ninah yang disebutkan oleh salah seorang ‘ulama Hanafiyyah, yaitu :

  1. menyebabkan kefakiran ;
  2. menyebabkan kebencian kepada para ‘ulama, terutama jika yang melakukannya adalah seorang yang dianggap ‘alim ;
  3. menghinakan dirinya ;
  4. menjatuhkan manusia dalam maksiat ;
  5. menampakkan maksiat kepada manusia ;
  6. wajib baginya mengulangi sholatnya ;
  7. menjadikan dia tergesa-gesa dalam sholatnya dan itu termasuk perbuatan Syaithon ;
  8. memunculkan kesalahan dan ketidaklengkapan dalam membaca karena tergesa-gesa dalam sholat.

Ada kesalahan lain yang disebutkan penulis yang biasa dilakukan oleh orang-orang, yaitu membaca “Robbana wa lakal hamdu wa syukr” è tidak ada dalam hadits yang shohih, tapi cuma ada dalam hadits yang lemah.



3. Qunut terus-menerus

- Qunut terus menerus yang dimaksud disini adalah qunut shubuh. Dalil mereka adalah hadits dari Anas bin Malik, “Terus-menerus Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut shubuh sampai beliau wafat.”

- Hadits di atas lemah karena ada rowi yang bernama Abu Ja’far Ar-Rozi yang lemah hafalannya (sayyi’ul hifzh). Kalau pun hadits ini shohih, qunut shubuh yang dimaksud tidak terbatas pada qunut membaca do’a saja karena qunut itu sendiri memiliki banyak arti. Ahli bahasa menyebutkan ada 10 makna qunut. Oleh karena itu, tidak bisa ditentukan makna yang dimaksud dalam qunut di atas. Makna qunut bisa berdiri yang lama, tunduk kepada Alloh, dan lain-lain. Termasuk hal yang mustahil apabila yang dimaksudkan dalam qunut adalah dengan membaca dengan do’a qunut “Allahumma dina fii man hadait …” lalu diaminkan orang dibelakangnya.  

- Hal yang benar bahwasanya Nabi melakukan qunut nazilah selama 1 bulan penuh ketika beliau mengutus para penghafal Al-Qur’an ke suatu tempat, lalu mereka dibunuh sehingga Nabi mendo’akan keburukan. Nabi melakukan qunut tidak terbatas pada sholat shubuh saja, tetapi, pada semua sholat atau beberapa sholat terkadang. Ada pun hadits yang menjelaskan qunut shubuh adalah lemah. 

- Jadi, qunut nazilah dilakukan ketika kaum muslimin mendapatkan musibah dan menurut para ‘ulama dilakukan dengan seizin pemerintah. Hal ini sebagaimana yang difatwakan oleh para ‘ulama mu’assirin, seperti Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh Abdul ‘Aziz alu Syaikh, Syaikh Abdul Muhsin, Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Al-Jibrin, dan lain-lain yang bahwasanya qunut tidak boleh dilakukan tanpa seizin pemerintah. Fatwa itu keluar ketika terjadi penyerangan ke Afghanistan dimana para imam masjid ketika itu meminta untuk membacakan qunut. Mengapa qunut harus dilakukan dengan seizin pemerintah karena di dalamnya terdapat pertimbangan maslahat dan madhorot banyak manusia dan yang dapat menimbang hal itu adalah pemerintah.

- Kesalahan lain dalam qunut adalah mengaminkannya ketika imam membaca. Ini ada dalam hadits Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang hasan. Tapi, sebagian orang menambahnya dengan lafadz “bi haq, asyhadu aamiin” dan lain-lain.

- Kesalahan selanjutnya ketika membaca “Wa laa ya'izu man ‘adait” diganti dengan “Wa laa ya’azu” atau “Wa laa ya’uzu”.

- Termasuk kesalahan juga mengusap wajah selesai do’a qunut. Kata Al-Laits bin Abdissalam, “Tidak ada yang mengusap wajahnya setelah do’a, kecuali orang-orang yang jahil.” è jahil karena tidak mengetahui hal-hal yang disunnahkan ketika berdo’a.

- Kemudian kesalahan berikutnya membaca qunut ketika pertengahan Romadhon. è Kesalahan karena qunut dimulai dari awal bulan pun tidak masalah. Dalil-dalil yang mnejelaskan ini umum sehingga tidak mengapa membaca qunut dari awal bulan. Ada pun hadits Anas bin Malik tentang Nabi qunut dipertengahan Romadhon saja, maka  haditnys lemah karena ada rowi yang bernama Abul Atikah dimana beliau ini haditsnya lemah seperti yang dijelaskan dalam kitab Aunul Ma’bud. Kalau kata Imam Al-Baihaqi bahwa isnad-nya tidak shohih.

- Kesalahan juga membaca do’a qunut witir “Allohumma dina fii man hadait (Ya Alloh, berikanlah kepadaku hidayah) ” ketika qunut nazilah (qunut yang dibaca ketika kaum muslimin mendapatkan musibah) è salah penempatan




5. Kesalahan dalam Sujud

1.) Tidak memantapkan posisi anggota sujud ke muka bumi

Dalilnya :
Dari Abdulloh bin ‘Abbas radhiallahu anhuma, beliau berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh tulang (anggota sujud), yaitu kening -dan beliau menunjuk hidungnya- kedua telapak tangan, kedua lutut, dan jari jemari dari kedua kaki. Dan saya diperintahkan untuk tidak menahan rambut atau pakaian.” [HR. Al-Bukhari, No. 812 dan Muslim, No. 490] è Dalam suatu riwayat beliau mengatakan dahi, tetapi yang beliau tunjuk hidung. Menunjukkan hidung dan dahi terhitung satu. Jadi, total semua adalah 7 anggota. Wajib hukumnya sebab di awali dengan lafadz “Umirtu”.



2.) Tidak Thuma’ninah dalam Sujud

- Thuma’ninah dalam sujud dengan cara memantapkan tujuh anggota sujud ke tanah dan melapangkan kedua tangan dengan jari-jemari dirapatkan, menghadap kiblat, sejajar dengan bahu atau telinga, ujung kaki menghadap kiblat, dan ketentuan-ketentuan lainnya.



3.) Tidak Menjauhkan Perut dan Kedua Lengan ketika Sujud

- Termasuk Sunnah : Menjauhkan perut dari pahanya, menjauhkan kedua lengannya dari samping kanan dan kirinya dengan kadar yang memungkinkan selama tidak menyempitkan orang di samping kanan dan kirinya, mengangkat sikunya dari bumi, meletakkan kedua telapak tangan sejajar dengan bahu atau telinga.

- Tidak berlebihan atasnya. Misal : Berlebihan dalam memanjangkan punggung sehingga nampak seperti orang yang sedang berbaring di atas perutnya, kepalanya diletakkan secara takalluf (berlebihan) sehingga mengenai kaki orang di depannya.

- Termasuk sunnah yang ditinggalkan dalam hal menancapkan kedua kaki ketika sujud. Harusnya : menghadap kiblat, jari-jemari dirapatkan.

- Ada perselisihan dikalangan ‘ulama apakah kaki dirapatkan atau tidak ketika sujud?

  • Penulis è Merapatkan kaki termasuk sunnah yang ditinggalkan. Dalilnya hadits Ibnu ‘Umar riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tetapi, yang benar hadits ini lemah dan syadz. Hadits ini asalnya adalah hadits dalam masalah Qiyamul Lail, tapi rowi salah meriwayatkan. Oleh karena itu, hadits ini dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dan dibukukan mengenai kelemahan hadits ini oleh Asy-Syaikh Abu Bakr Abu Zaid dalam buku beliau “Laa Jadida fi Sholah (Tidak Ada Perkara Baru dalam Sholat)”.


Catatan Penting : 
Syaikh Al-Albani dalam Sifat Sholat Nabi menshohihkan hadits di atas. Tetapi, hal itu adalah kesalahan sehingga perlu kita perhatikan karena yang benar haditsnya adalah lemah. Jadi, hadits merapatkan kaki adalah lemah.



4.) Pendapat Membuka Sebagian Anggota Sujud ketika Menempel ke Bumi

- Ada yang berpendapat ketika sujud kainnya diangkat sedikit agar lututnya menyentuh bumi, imamah/peci harus diangkat supaya dahinya menyentuh bumi è Termasuk kesalahan kalau seseorang mengharuskan hal yang demikian karena ada banyak dalil dimana Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak mengharuskan hal tersebut.

Dalil ke-1 :
Hadits dari Anas bin Malik dalam riwayat Bukhory dimana beliau berkata, “Kami sholat bersama Nabi pada saat cuaca sangat panas. Kemudian salah seorang dari kami tidak sanggup untuk memantapkan dahinya sujud ke bumi sehingga ia pun mengambil pakaiannya dan sujud di atasnya.”

Dalil ke-2 :
Hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa beliau pernah masuk menjumpai Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sedang sholat di atas tikar dan beliau sholat di atasnya. [HR. Muslim]

Dalil ke-3
Khobab bin Al-Arot berkata, “Kami mengadu kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang sangat panasnya dahi dan tangan-tangan kami (saat sujud), tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi) è terdapat kelemahan dalam kalimat “pada dahi dan tangan-tangan kami”. Secara ringkas, haditsnya syadz.

- Hadits di atas menunjukkan tidak wajibnya anggota sujud langsung menyentuh bumi dan boleh beralaskan sesuatu. Tetapi, akan lebih utama kalau bisa menyentuh bumi secara langsung.



5.) Mengangkat Sesuatu untuk Orang yang Sakit agar Dapat Sujud di atasnya

- Perkara yang berlebihan karena Alloh subhanah wa Ta’ala berfirman, “Bertaqwalah kamu kepada Alloh semampunya” dan “Sesungguhnya Alloh tidak membebani seseorang diluar kemampuannya.”

- Jumhur ‘ulama berpendapat hukumnya makruh bagi orang sakit mengangkat sesuatu agar dia dapat sujud di atasnya dengan sengaja.



6.) Kesalahan dalam Sujud Sahwi

- Membaca do’a “Subhaana maa laa yashu wa laa yanamu” è banyak dibaca oleh orang-orang ‘awam ketika sujud sahwi. Tapi, bacaan ini tidak ada asalnya dalam hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Jadi, asalnya tidak ada do’a dalam sujud sahwi. Yang benar dia hanya diperintah oleh Nabi untuk sujud dua kali saja.

- Termasuk kesalahan dimana sebagian orang mengira apabila imam lupa dalam sholatnya, maka pertanda ada diantara makmumnya yang tidak beres.

Dalil mereka :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id (budak Bani Hasyim) telah menceritakan kepada kami Za’idah telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin ‘Umair, beliau berkata, “Saya mendengar Syabib, Abu Rauh, dari Dzil Kala’i dari seseorang, ia sholat subuh bersama Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau membaca surat Ar Rum, beliau mengalami keragu-raguan pada beberapa ayat. Tatkala selesai, beliau bersabda, ‘Syaithon itu mengganggu pada bacaan Al Quran, sungguh ada satu kaum dari kalian yang sholat bersama kami namun tidak melakukan wudlu dengan baik. Barangsiapa yang mengikuti sholat bersama kami, hendaklah ia memperbagus wudhu’-nya.’ “ [HR. Ahmad] è mereka menafsirkan bahwa sebab ketidakkhusyu’an Rosululloh ketika membaca karena ada makmumnya yang melakukan kesalahan.

Penjelasan Hadits :
Hadits di atas secara dhohir bertentangan dengan ayat Al-Qur’an, “Barangsiapa yang berbuat kejelekan, maka hukumannya untuk dirinya.” Selain itu, apabila dilihat dari sisi sanad, haditsnya dho’if karena ada rowi yang majhul (tidak dikenal).


- Termasuk pendapat yang lemah dimana sebagian fuqoha beranggapan bahwa hukum sujud sahwi adalah sunnah. Pendapat yang rojih bahwa hukumnya wajib karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam terus melakukannya apabila beliau lupa dalam suatu perkara. Dalilnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (ada 5 dalil yang beliau sebutkan).

Salah satu dalilnya :
“Apabila adzan telah dikumandangkan, maka syaithon berpaling sambil kentut shingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan telah selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, syaithon pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, syaithon pun kembali dan akan melintas di antara seseorang dengan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” [HR. Bukhory, No. 1231 dan Muslim, No. 389]

Penjelasan Hadits :
Hendaklah menunjukkan perintah, maka sujud sahwi hukumnya wajib. Ini juga merupakan pendapat jumhu ‘ulama, seperti Imam Ahmad, Imam Malik, Abu Hanifah, dan sebagainya.


- Kesalahan lain berkaitan dengan tempat dilakukannya sujud sahwi. Hal yang diperselisihkan apakah sujud sahwi dilakukan sebelum salam atau sesudah salam???
  • Muthlaq sebelum salam è salah
  • Muthlaq sesudah salah è salah

Pendapat yang benar : Perlu dibedakan apakah sujud sahwinya itu karena kekurangan atau karena kelebihan.
  • Karena kelebihan è dalam sholat shubuh, selesai tasyahhud dia langsung berdiri, begitu ingat dia langsung kembali duduk è salam dahulu 2x, baru sujud sahwi
  • Karena kekurangan è sujud sahwi dahulu, baru salam 2x


Contoh :
Ada orang lupa dalam sholatnya dan lupa juga untuk sujud sahwi. Baru ingat ketika sudah salam dan sudah berlalu waktu, sudah keluar masjid è ada ikhtilaf di kalangan ‘ulama. Tapi, pedapat yang benar selama masih memungkinkan sujud sahwi, maka dia tetap sujud sahwi è pendapat Imam Syafi’I dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

- Kesalahan lainnya adalah membaca tasyahhud lagi setelah sujud sahwi è tasyahhud, sujud sahwi, tasyahhud lagi è salah è ada haditsnya, tapi dho’if dan tidak sah dipakai sebagai hujjah è dijelaskan secara lengkap oleh penulis kedho’ifannya




6. Kesalahan dalam Duduk Tasyahhud

1.) Bacaan “Assalaamu’alayka ayyuhan nabiyyu”

Dalilnya :
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Saif, ia berkata : Aku mendengar Mujaahid berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdulloh bin Sakhbaroh Abu Ma’mar, ia berkata : Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata : Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengajariku tasyahud -dan telapak tanganku berada di dalam genggaman kedua telapak tangan beliau– sebagaimana beliau mengajariku suroh dalam Al-Qur’an : ‘At tahiyyaatu lillaah, wash sholawaatu wath thoyyibaat …. “ [HR. Bukhory, No 625]


Kesalahan Menurut Penulis yang ternyata Pendapat Beliau ini Salah :

Penulis berkata bahwa penggunaan kalimat “Assalaamu’alayka ayyuhan nabiyyu (Semoga keselamatan atasmu, Wahai Nabi)” merupakan kalimat yang diucapkan ketika Nabi masih hidup. Setelah Nabi wafat dibacanya “Assalaamu ’alan nabiy (Semoga keselamatan atas Nabi).”

Dalil penulis adalah atsar dari Ibnu Mas’ud dalam riwayat Bukhory, “Kami mengatakan assaamu’alayka ayyuhan nabiyyu dalam tasyahhud ketika beliau masih hidup. Ada pun ketika Nabi telah wafat, kami meninggalkannya dan hanya mengucapkan assalaamu ’alan nabiy.” Kemudian, dalam riwayat ‘Abdurrozzaq dari Atho’, bin Abi Robbah, “Telah mengabarkan kepadaku bahwa para sahabat dahulu ketika Nabi masih hidup, kami biasa mengatakan assalaamu’alayka ayyuhan nabiyyu ketika tasyahhud dan setelah beliau wafat kami mengatakan assalaamu ’alan nabiy.” Jadi, disini penulis membenarkan atsar Ibnu Mas’ud dan menyalahkan orang yang berpendapat tetap membaca assalaamu’alayka ayyuhan nabiyyu. Akan tetapi, pendapat yang benar tetap dibaca assalaamu’alayka ayyuhan nabiyyu.


Faqihuz Zaman, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti membantah pendapat penulis, yaitu :

[1.]. Ibnu Mas’ud ber-ijtihad dengan atsar beliau, tetapi ternyata ijtihadnya menyelisihi orang yang lebih ‘alim dari beliau, yaitu ‘Umar bin Khottob. Selain itu, ijtihad beliau ini telah menyelisihi hadits Ibnu Mas’ud sendiri yang bersifat umum seperti di atas.

Dalilnya :
‘Umar bin Khottob pernah mengajari tasyahhud kepada manusia dalam posisi beliau sebagai khalifah di atas mimbar Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam dengan lafadz, “Assalaamu’alayka ayyuhan nabiyyu wa rohmatulloh.” [HR. Al-Baihaqi, diriwayatkan Imam Malik dalam Al-Muwaththo’ dengan sanad yang sangat shohih] è Umar bin Khottob menjadi kholifah setelah Nabi wafat, tetapi beliau tetap mengajarkan manusia dengan lafadz seperti itu.

[2]. ‘Umar bin Khottob dalam khutbahnya dihadiri oleh para sahabat dan para sahabat tidak ada satu pun yang mengingkari perkataan beliau yang artinya para sahabat menyetujui.

[3]. Rosululloh mengajarkan kebaikan (tasyahhud, pent) yang beliau ketahui kepada umatnya. Beliau pun mengetahui suatu hari nanti akan meninggal. Jika ada perubahan lafadz sepeninggal beliau kelak, pastilah akan Nabi ajarkan perubahan itu kepada manusia.

Penjelasan Syaikh Al-Utsaimin ini juga dikuatkan oleh Syaikh Muqbil, dan lain-lain. Penulis disini mengikuti pendapat Syaikh Al-Albani rohimahumullohu (penulis ini murid dari Syaikh Al-Albani).



2.) Tambahan Lafadz “Sayyidana, Sayyiduna, Sayyidina” dalam Tasyahhud dan Sholawat

- Semua penggunaan di atas salah karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal itu, baik dalam tasyahhud, maupun sholawat di luar sholat. Tasyahhud bersifat tauqifiyyah (penetapan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) sehingga tidak boleh ditambah, kecuali ada dalilnya. Kalau di luar sholat, tidak mengapa, tidak terlarang menambahkan kata sayyid.

- Penggunaan kalimat “Laa tusayyiduuni fish sholah (Jangan kalian men-sayyidk-kan saya dalam sholat)” pada hadits yang dilakukan oleh sebagian orang è Haditsnya maudhu’ (palsu) dan dalam lafadznya juga terdapat lahn (kesalahan). Harusnya “Laa tusawwiduuni fish sholah”



3.) Tambahan Lafadz ‘Wahdahu laa syariikalah”

Catatan Penting 
Tambahan “Wahdahu laa syariikalah” pada kalimat “Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syariikalah” adalah tambahan yang lemah karena dari jalan Aiman bin Nabil, tapi tidak diperingatkan oleh penulis kelemahan hadits tersebut. Kesalahan ini banyak dilakukan oleh orang-orang.



4.) Menggabungkan Sighot (Bacaan, konteks) dalam Membaca Sholawat

[Bisa dilihat di Shifatu Sholati An-Nabiy, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh]

- Termasuk kesalahan sholawat yang dibaca sebagian orang dengan kalimat : “Alloohumma sholli ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shollaita ‘alaa ibroohiim, wa ‘alaa aali ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim, fil ‘aalamiina, innaka hamiidum majiid,” è SALAH dan tidak boleh dilakukan karena menggabungkan 2 jenis sholawat dalam 1 sholawat. Harusnya dipilih salah 1.

- Gabungan sholawat di atas terdiri dari 2 sholawat.

  • [Sholawat Pertama] : Alloohumma sholli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa shollaita ‘alaa ibroohiim, wa ‘alaa aali ibroohiim, innaka hamiidun majiid. Alloohumma baarik ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim, wa ‘alaa aali ibroohiim, innaka hamiidun majiid.” [HR. Bukhory dan Muslim, An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaumi wal Lailah (162/54), Al-Humaydi (138/1), Ibnu Mandah (68/2) ]
  • [Sholawat Kedua] : Alloohumma sholli ‘alaa muhammadin nabiyyil ‘ummiyyi, wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shollaita ‘alaa ibroohiim, wa baarik ‘alaa muhammadin nabiyyil ‘ummiyyi, wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim, fil ‘aalamiina, innaka hamiidun majiid.” [HR. Muslim, Abu Awanah, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/132/1), Abu Daud, An-Nasa’i (159-161), dan dishohihkan oleh Al-Hakim]

- Tasyahhud dan Sholawat adalah amalan tauqifiyyah. Kalau Nabi membaca dengan konteks seperti ini, maka kita pun juga harus membacanya dengan konteks seperti itu.



5.) Hukum Sholawat setelah Tasyahhud

- Ada ikhtilaf dikalangan ‘ulama perihal hukumnya. Apakah wajib atau sunnah.
  • Abu Hanifah, Imam Malik, dan jumhur ‘ulama è berpendapat hukumnya sunnah (ditinggalkan sholatnya tetap sah)
  • Imam Syafi’i dan Imam Ahmad è berpendapat wajib (ditinggalkan sholatnya batal)

- Pendapat yang benar adalah hukumnya wajib karena telah ada perintah dalam beberapa hadits dengan lafadz “ Qul Alloohumma sholli” yang menunjukkan perintah dan asal perintah hukumnya wajib. Hal ini juga dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani tentang wajibnya sholawat pada tasyahhud akhir.

- Penulis berpendapat bahwa sholawat juga dilakukan di tasyahhud awal. Tapi, penulis menguatkan pendapat yang ternyata menyelisihi jumhur ‘ulama. Ulama yang mengucapkan adalah Ibnu Hazm. Kesimpulannya menurut pendapat jumhur ‘ulama bahwa hukum membaca sholawat adalah wajib pada tasyahhud akhir pada sholat yang memiliki 2 tasyahhud, yaitu  zhuhur, ‘ashr, maghrib, dan isya. Wallohu a’lam.



6.) Orang yang Berhadats Sebelum Salam

- Berhadats sebelum salam pertama, maka sholatnya batal karena salam adalah penutup sholat.

- Bagaimana kalau dia berhadat setelah salam pertama??? Jawabannya sholatnya tidak batal karena yang wajib adalah salam yang pertama. Salam yang kedua hukumnya sunnah. Pendapat ini dkuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh berdasarkan dalil bahwa salam yang menjadi syarat sholat adalah salam yang pertama.



7.) Termasuk Kesalahan Orang yang Mengingkari Orang yang Menggerakkan Jari Telunjuknya ketika Tasyahhud



Ada perselisihan dikalangan ‘ulama apakah jari telunjuk digerakkan atau tidak. Penulis menyalahkan dan menganggap salah orang yang mengingkari menggerakkan jari karena beliau men-shohihkan hadits yang menggerak-gerakkan jari ketika tasyahhud, yaitu hadits Wail bin Hujr.


Hadits ke-1 (Hadits Wa’il bin Hujr)
Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Nasr : Telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Mubarok : Telah menceritakan kepada kami Zaa’idah ibnu Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib dari bapaknya bahwasanya Wail bin Hujr telah menceritakan kepadanya, dia berkata, “Aku benar-benar melihat shalat Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bagaimana ia shalat, dan kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan aku melihatnya menggerakkannya, serta berdoa dengannya (jari telunjuknya).” [HR.An-Nasa’i, 3/433]

Penjelasan Hadits :
Hadits diatas dari jalan Zaa’idah ibnu Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr. Disana ada lebih dari 20 orang rowi yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib, tapi semuanya tidak ada yang menyebutkan menggerak-gerakkan jari (yuharrikuha). Hanya Zaa’idah Ibnu Qudamah saja yang menyebutkan. Dua puluh orang rowi yang meriwayatkan dari Wail bin Hujr hanya menyebutkan Nabi ber-isyarat dengan jari telunjuknya. Jadi, disini Zaa’idah Ibnu Qudamah telah menyelisihi dua puluh orang rowi lainnya, ia bersendirian, syadz, dan hukum haditsnya lemah.



Pertanyaan :
Bukankah tidak ada pertentangan antara menggerak-gerakkan jari dengan tidak menggerakkannya (maksudnya menggerakan jari/ tidak kan sudah termasuk ber-isyarat, jadi tidak perlu dipermasalahkan) ???

Jawabannya :
[1]. Dalam kaidah ilmu hadits, tidak diperhitungkan apakah ada pertentangan atau tidak. Selama ada rowi yang menambah 1 lafadz hadits, maka harus diperiksa kebenaran tambahan tersebut.

[2] Menggerakkan jari tidak bertentangan dengan ber-isyarat. Tidak menggerakkan jari juga tidak bertentangan dengan ber-isyarat. Tapi, dalam hal ini Zaa’idah Ibnu Qudamah telah menambah dengan 1 lafadz dan tambahannya itu menyelisihi 20 orang rowi lainnya yang sama-sama meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib. Kalau Zaa’idah menyelisihi 1 orang rowi saja, maka sudah cukup menjadikan riwayatnya Zaa’idah itu syadz (bersendiri).



Pertanyaan :
Bukankah Zaa’idah Ibnu Qudamah ini seorang rowi yang tsiqoh, mutqin (kuat) hafalannya dan tidaklah dia sampaikan hadits, melainkan setelah dia dengar 3x dari gurunya???

Jawabannya :
[1]. Kata Ibnu Ma’in, “Apabila ada rowi yang mengatakan bahwa rowi itu tsiqoh dan tidak pernah salah, maka sungguh dia telah berdusta.” Demikian juga penjelasan dari ulama hadits karena tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.

[2]. Syaikh Al-Albani yang men-shohihkan hadits menggerak-gerakkan jari, dalam suatu riwayat beliau di Adh-Dho’ifah atau Ash-Shohihah, beliau menyalahkan riwayatnya Zaa’idah yang disana telah menyelisihi 2 orang rowi. Lalu, bagaimana jika telah menyelisihi 20 orang rowi?


Kesimpulan : 
Pendapat yang benar menurut ‘ulama ahli hadits adalah bahwa hadits menggerak-gerakkan jari adalah syadz. Ibnu Khuzaimah juga meng-isyaratkan ada kelemahan dalam sanadnya dimana si fulan bersendirian.


Hadits ke-2 :
Dari Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair, “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya.” [HR. Abu Dawud, An-Nasa’I, Ath-Thobarani]

Penjelasan Hadits :
Hadits dengan lafadz terang-terangan seperti di atas juga dho’if.


Hadits ke-3 :
Dari ‘Abdurrozzaq dari Sufyan Ats-Tsauri dari ‘Ashim bin kulaib dari bapaknya dari Wail bin hujr berkata, “Aku melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menganggkat kedua tangannya ketika sholat, kemudian beliau berisyarat ketika duduk diantara dua sujud.” [Musnad ‘Abdurrozzaq, 2/68]

Penjelasan Hadits :
Hadits di atas lemah karena ‘Abdurrozzaq telah menyelisihi 2 orang rowi yang periwayatannya lebih kuat dari Sufyan Ats-Tsauri dan sekaligus menyelisihi seluruh rowi yang ada dalam hadits Wail.


Kesimpulan Akhir : 
Dalam periwayatan hadits hanya disebutkan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam ber-isyarat dengan telunjuknya. Kemudian muncul 3 hadits. 
è hadits bahwa Nabi tidak menggerakan tangannya è tambahan ini lemah.
è hadits bahwa Nabi menggerakkan tangannya è tambahan ini lemah
è hadits bahwa Nabi ber-isyarat ketika duduk di antara dua sujud è
tambahan ini lemah


Satu-satunya hadits yang shohih adalah hadits yang menjelaskan Nabi ber-isyarat dengan telunjuknya. Isyarat itu sendiri bisa dengan digerakkan, bisa pula dengan tidak digerakkan. Akan tetapi, dalam hal ini kita harus mengambil posisi tidak menggerakkan jari telunjuk karena ibadah itu sifatnya tauqifiyyah sehingga tidak boleh kita menggerakkan jari hingga ada dalil shohih yang menjelaskan hal itu. Oleh karena itu, pendapat yang benar bahwa jari telunjuk hanya sebagai isyarat dan tidak digerakkan. Ada pun masalah ber-isyarat ketika duduk diantara dua sujud telah dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah dan Syaikh Muqbil.



8. Mengangkat Tangan ketika Membaca Syahadat dalam Tasyahhud

- Tidak ada tuntunannya dalam syari’at. Ada pun hadits riwayat Al-Baihaqi yang menjelaskan mengangkat tangannya ketika membaca ‘Laa ilaaha illalloh” haditsnya lemah.

- Hadits Ibnu ‘Umar dalam riwayat Abu Daud, Ibnu Hibban, dan lain-lain menjelaskan Nabi ber-isyarat menghadap lurus ke depan ke arah kiblat. Ada sebagian ikhwah yang ketika ber-isyarat menunjuk ke arah bumi, ke bawah è salah



9.) Menggerakan Jari ketika Tasyahhud dengan Menulis Nama Alloh

- Tidak ada tuntunannya dalam syari’at.



10.) Membengkokkan Jarinya ketika Ber-isyarat

- Ada sebagian orang yang ketika ber-isyarat membengkokkan jarinya, tidak lurus. Harusnya lurus. Ada pun hadits yang menjelaskan dibengkokkannya jari adalah lemah.



11.) Ber-isyarat dengan Tangan Kanan dan juga Tangan Kirinya

- Termasuk kesalahan dan tidak ada tuntunannya.



7. Kesalahan Seputar Salam

1.) Orang yang membuka tangan kanannya ketika salam ke kanan dan membuka tangan kirinya ketika salam ke kiri.

- Kesalahan ini banyak dilakukan oleh orang-orang.

Dalil :
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Muslim dari Jabir bin Samuroh, beliau berkata “Ketika kami sholat bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, kami mengisyaratkan (membuka) tangan kami pada dua arah ketika salam. Lalu, Nabi pun menegur perbuatan kami. Kata beliau, ‘Mengapa kalian mengangkat tangan-tangan kalian seakan-akan ekor kuda (syums) yang banyak bergerak?’ Maka, kami pun meninggalkannya dan mencukupkan diri hanya dengan salam.“



2.) Memperpanjang harokat bacaan salam

- Penulis berkata bahwa yang disunnahkan adalah mempercepat lafadz salam dan tidak dipanjangkan. Tidak ada perselisihan dikalangan ‘ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sayyidinnas.



3.) Menambahkan lafadz “As ‘alukal fauza wannajata minannaar”

- Pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah permasalahan ini. Hukumnya makruh (makruh yang artinya harom, pen) dan bid’ah karena tidak ada tuntunannya dari serta tidak ada seorang ‘ulama yang mengatakan hal itu sunnah. Termasuk bid’ah ketika berdo’a dalam sholat, selain pada tempat yang disyariatkan karena perkara sholat adalah perkara tauqifiyyah.



4.) Kesalahan Makmum Masbuk dalam Berdiri untuk Menyempurnakan Sholat

- Pendapat yang benar adalah makmum menunggu imam selesai salam baru kemudian ia berdiri menyempurnakan sholatnya karena pada asalnya kita memberi kesempatan kepada imam menyelesaikan sholatnya. Kalau imam sudha selesai, berarti sudah lepas kedudukan kita sebagai makmum. Kata Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Datangilah sholat dengan tenang, tidak tergesa-gesa. Apabila kalian mendapatkan imam sujud, maka ikutlah sujud bersamanya. Apa yang luput kamu dapatkan, maka sempurnakanlah.”



Tambahan Masa’il :


8. I’tidal : Tangan Bersedakap atau Irsal (dijulurkan)

- Ada ikhtilaf dikalangan ‘ulama.

  • Pendapat Pertama : Bersedakap è Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz, Syaikh Al-‘Utsaimin, dan mayoritas ‘ulama Saudi berpendapat kembali bersedekap. Syaikh bin Baaz mengatakan hal itu merupakan pendapat jumhur ‘ulama.
  • Pendapat Kedua : Irsal è Perkataan Syaikh bin Baaz ini dibantah oleh ‘ulama yang menyelisihi. Menurut mereka bahwa yang benarnya irsal (dijulurkan). Jadi, setelah bangun dari ruku’, tangan dilepaskan, tidak bersedakap. Tidak benar juga bahwa itu pendapat jumhur ‘ulama karena tidak ada penjelasan tentang hal itu.
  • Pendapat Ketiga : Boleh Memilih (Mukhoyyar) è Boleh bersedekap, boleh dijulurkan.


- Pendapat yang pertengahan –menurut Ustadz setelah membaca semua pendapat para ‘ulama tentang masalah ini-  adalah pendapat dari Asy-Syaikh Muqbil bahwa dalam masalah ini terdapat keluasan sebab dalil-dalil yang ada bersifat umum. Menurut ‘ulama yang mengatakan bersedakap bahwa Nabi meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya ketika sholat sehingga hal itu berlaku untuk semua tempat sholat, termasuk ketika I’tidal. Ada pun ‘ulama yang mengatakan irsal, mereka mengingkari karena apabila maknanya bersedap dalam semua tempat sholat, berarti ketika bangun dari sujud ia harus bersedekap juga. Oleh karena itu, makna yang diinginkan dalam bersedekap adalah ketika berdiri yang pertama, dan lain-lainnya dari dalil yang mereka bawakan. Kalau Syaikh Al-Albani berpendapat bersedekap itu termasuk bid’ah, tapi pendapat beliau ini dinilai berlebihan oleh Syaikh Muqbil dan Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Al-Bassam. Pendapat yang benar bahwa semua itu (bersedap, irsal) adalah ijtihad para ‘ulama. Oleh karena itu, Syaikh Muqbil menyimpulkan diperbolehkan keduanya karena dalil-dalil yang ada menunjukkan pembolehan keduanya. Tapi, Syaikh Muqbil sendiri lebih condong kepada tidak bersedekap karena tidak nampak nukilan para salaf tentang hal itu (bersedakap). Beliau tidak menganggap bid’ah orang yang bersedekap dan tidak juga menganggap sunnah orang yang irsal. Imam Ahmad pernah ditanya ketika i’tidal posisi tangan bersedekap atau irsal. Beliau pun menjawab kalau dalam perkara ini luas dan tidak perlu dipersempit. Oleh karena itu, dalam masalah ini hendaknya para penuntut ilmu lebih detail dalam memandangnya dan tidak perlu menjadikannya sebagai sebab perpecahan karena terdapat ijtihad dalam masalah ini. Syaikh Al-Albani sendiri telah ruju’ dari pendapat beliau yang membid’ahkan orang yang bersedekap ketika i’tidal, walaupun beliau tetap pada pendapat irsal. Wallohu a’lam.


_SELESAI_


[Faidah dari Al-Ustadz Dzulqornain hafizhohulloh dalam Pembahasan “Al Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin, 2013, Pasal ke-3]




_______________________________________________________________

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Anda menyelisihi pendapat anda sendiri, dimana jangan mengambil pendapat keenam semisal ada perbedaan diantara kelima ulama masyhur. Dan tentunya kita tau bahwa ada 4 imam madzhab yang masyhur saat ini.

Masalah sedekap tangan kanan diatas tgn kiri saat berdiri, padahal Imam Malik memiliki ijtihad dan banyak dalilnya menurut beliau bahwa untuk mengulurkan kdua tangannya ke bawah ketika berdiri itu lebih baik, utamanya saat solat fardhu. Adapun menurut Imam Malik jika ingin bersedekap tidak mengapa bila di solat sunnah, hanya saja untuk solat Fardhu lebih disenangi untuk diulurkan ke bawah.

Fatwa tersebut adalah datangnya dari Imam Anas bin Malik sendiri yg dibukukan di kitab Fiqh beliau Al-Muwaththa dan Al Mudawwana. Tetapi penjelasan anda diatas seolah melupakan pendapat salah satu dari Imam 4 ini.