Minggu, 02 Februari 2014

Koreksi Total tentang Kesalahan Orang yang Sholat (Pasal ke-1)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ



... Catatan Dars ...

Al-Qoulul Mubin fi Akhthoo’il Mushollin
Oleh : Asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman
(Murid senior Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

...................................................................................



I.  KERANGKA PEMBAHASAN ORANG YANG SHOLAT

Dalil tentang pentingnya sholat :

1. Ibadah yang diterima langsung oleh Nabi-NYA tanpa melalui perantara makhluk-NYA.

Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Musa, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzholah bin Abu Sufyan dari 'Ikrimah bin Kholid dari Ibnu Umar, beliau berkata bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda,  "ISLAM dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa di bulan Romadhon." [HR. Bukhory]

“ Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” [QS. At-Taubah: 11]

“Jagalah oleh kalian sholat-sholat lima waktu dan shalat wustho, serta berdirilah karena Alloh dengan khusyuk.” [Al-Baqarah: 238] è Mengenai apa yang dimaksudkan dengan sholat wustho ini diperselisihkan oleh ‘ulama, tapi yang benar adalah sholat ‘ashr.



2. Telah ditetapkan waktu tersendiri dari sholat dan merupakan ketetapan bagi kaum muslimin.

“ …Sesungguhnya sholat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [Qs. An-Nisa’: 103]

“ Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” [QS. Maryam : 59]






Risalah Al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin “Koreksi Total tentang Kesalahan Orang yang Sholat” merupakan karya dari Asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman. 

- Ada 7 (tujuh) pasal pembahasan didalamnya, yaitu :
  1. Kumpulan Kesalahan Orang yang Sholat dalam hal Tata Cara Berpakaian dan Menutup Aurot ;
  2. Kumpulan Kesalahan Orang yang Sholat Seputar Tempat Sholat ;
  3. Kumpulan Kesalahan Orang yang Sholat  dalam Sifat (Tata Cara) Sholatnya ;
  4. Kumpulan Kesalahan Orang yang Sholat Seputar Masjid dan Sholat Berjama’ah ;
  5. Kumpulan Kesalahan Orang yang Sholat setelah Melaksanakan Sholat (baik munfarid/berjama’ah) ;
  6. Kumpulan Kesalahan Orang yang Sholat dalam Sholat Jum’at ;
  7. Alternatif untuk Sholat Seseorang yang Memiliki Udzur dan Sakit serta Hadits Palsu Seputar Sholat


- Metode penulis dalam menguraikan masalah dalam risalah ini, yaitu :
  1. Menguraikan berbagai macam kesalahan dalam sholat yang terjadi di masyarakat dan menjelaskan hal yang benarnya ;
  2. Gaya penulisan penulis yang dapat diterima semua kalangan, dan
  3. Pembahasan kesalahan-kesalahan dalam sholat, baik kesalahan tersebut dapat menyebakan batalnya sholat seseorang, maupun tidak menyebakan batal, hanya saja seseorang berdosa karena melakukan kesalahan tersebut.


- Ada pun metode yang disampaikan oleh Al Ustadz Dzulqornain dalam menjelaskan kitab ini ditengah keterbatasan waktu untuk menguraikan seluruh pembahasan dalam risalah ini, yaitu :
  1. Meringkas isi dari setiap point pembahasan dengan bahasa beliau sendiri ;
  2. Menambah beberapa penjelasan dari setiap point pembahasan dengan nukilan ilmiah dari para ‘ulama  guna mempertajam pembahasan ;
  3. Ada beberapa hadits yang dishohihkan oleh penulis, akan tetapi setelah dikaji ulang oleh para ‘ulama ternyata haditsnya dho’if (lemah). Oleh karena itu, akan diterangkan hadits-hadits yang bermasalah ;
  4. Apabila dalam suatu masalah penulis berpendapat A, akan tetapi ketika pendapat tersebut ditimbang dengan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits ternyata pendapat tersebut lemah, maka akan diterangkan pendapat yang kuatnya atau pendapat yang benarnya ;
  5. Pada beberapa point pembahasan, Ustadz akan menambah dengan beberapa masalah yang dianggap penting untuk disampaikan sebagai penyempurna risalah ini.



~~~~0000~~~~

Pasal 1
Kumpulan Kesalahan Orang yang Sholat dalam Hal Pakaian dan Menutup Aurot dalam Sholat


Pembahasan dalam Pasal ini, yaitu :
1. Pendahuluan ;
2. Hukum Sholat dengan Pakaian Ketat, Tipis, dan Transparan ;
3. Sholat dalam Keadaan Aurotnya Terbuka ;
4. Sholat Orang yang Musbil 'Izarnya (sarungnya) ;
5. Menutup Mulut Ketika Sholat ;
6. Menggulung atau Melipat Pakaian ketika Sholat ;
7. Tidak Menutupi Bahunya ;
8. Memakai Pakaian yang Bergambar ;
9. Menggunakan Pakaian yang dicelup ;
10. Orang yang Sholat dalam Keadaan Kepalanya Terbuka ;



1. Pendahuluan

A.) Tidak boleh menyerupai kaum kuffar (baik Nashrani maupun Yahudi) dalam berpakaian, baik didalam sholat maupun di luar sholat. 

Kesalahan ini banyak ditiru oleh kaum muslimin yang memiliki budaya yang agung sehingga mereka mengambil budaya yang hina, yaitu budaya dari kaum kuffar dan kaum musyrikin sehingga mereka pun dihinakan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Dalilnya :
>>> Dalam hadits riwayat Iman Bukhory secara ringkas dan Imam Muslim disebutkan dari jalan Abu Utsman An Nahdi, beliau berkata, “ Umar bin Khottob  menulis surat kepada kami di Azerbaijan dan Umar berkata, ‘Berhati-hatilah kalian dari bergelimang dengan kenikmatan dan berhati-hatilah kalian dari pakaiannnya orang-orang musyrikin dan pakaian sutera.’ ”

>>> Dari Abdulloh bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Waki’ bin Jarroh dari Hanad dalam Kitab Az-Zuhud, “Tidak boleh model pakaian menyerupai dengan model orang lain karena hatinya akan turut meyerupai.” Tetapi, riwayat ini lemah, dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Laits bin Abi Sulaim yang lemah riwayatnya dan bercampur hafalannya. Riwayat Ibnu Mas’ud ini hanya dijadikan pendukung saja sebab ada hadits dari Ibnu Umar rodhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut. ” [HR. Abu Dawud dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban].



B.) Tambahan Pendahuluan dari Ustadz : “Masalah Menutup Aurot“

- Syarat sahnya sholat. Syarat artinya perkara yang wajib dilakukan sebelum sholat. Jika aurotnya tidak tertutup ketika sholat, maka sholatnya tidak sah, batal. Diantara dalilnya Alloh subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, ambillah perhiasannmu yang indah setiap kali engkau memasuki masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [QS. Al-A’rof : 31]

- Kata Ibnu Hajar Al-‘Atsqollani rohimahulloh dalam Fathul Baari membawakan perkataan Thowus bahwa dalam ayat diatas yang dimaksud dengan perhiasan adalah pakaian. Hal ini diriwayatkan juga oleh Imam Al-Baihaqi dan Mujahid. Thowus dan Mujahid keduanya merupakan mufassir (orang yang menafsirkan ayat) dan murid senior Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu.

- Ibnu Hazm menukil ijma’ (kesepakatan) bahwa yang dimaksud dengan (اَلزِّيْنَةُ) diatas adalah menutup aurat dan yang menjadi sebab turunnya ayat diatas adalah tentang teguran kepada orang yang thowaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. 

Dalilnya :
>>> Hadits dari Abu Hurairoh dalam riwayat Bukhory dan Muslim. "Telah menceritakan kepada kami Ishaq, beliau berkata, telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim, beliau berkata, telah menceritakan kepada kami anak saudara Ibnu Syihab dari Pamannya berkata, telah mengabarkan kepadaku Humaid bin 'Abdurrahman bin 'Auf bahwa Abu Hurairoh berkata, "Pada hari Nahr (Idul Adlha) Abu Bakar mengutusku kepada para pemberi pengumuman saat pelaksanaan haji, di Mina kami umumkan bahwa orang Musyrik tidak boleh berhaji setelah tahun ini dan tidak boleh thawaf dengan keadaan telanjang." [HR. Bukhory, No.356]

>>> Kemudian, dari Jabir rodhiyallohu ’anhu dalam riwayat Bukhory dan Muslim dalam kisah yang panjang, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila pakaian atau kain itu lebar (lapang),  maka berselimutlah engkau dengannya (menutupi pundak), namun apabila kain itu sempit, bersarunglah dengannya (menutupi tubuh bagian bawah).” [HR. Bukhory dan Muslim]

- Ijma’ para ‘ulama dalam Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Baar, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahumulloh bahwa kapan seseorang tidak menutup aurotnya ketika sholat, maka sholatnya batal. Menurut ustadz, penukilan ijma’ tersebut kurang detail karena Ibnu Hajar dalam Fathul Baari berkata bahwa jumhur ‘ulama berpendapat tentang syarat-syaratnya.

- ‘Ulama Malikiyyah membedakan antara orang yang lupa dengan yang tidak.

- Kesimpulan :
Menutup aurot merupakan syarat. Kapan seseorang tidak menutup aurotnya ketika sholat, maka sholatnya batal, tidak sah berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat jumhur ‘ulama.



C.) Ta’shil Ayat “Ambillah perhiasanmu setiap kali engkau memasuki masjid ”

- Kata Ibnu Qudamah dalam Al-Ihtiyaroth rohimahulloh bahwa dalam ayat tersebut Alloh subhanahu wa Ta’ala memerintahkan tidak hanya sekedar menutup aurot saja, akan tetapi ada perintah tambahan yang melebihi menutup aurot dalam kata “ambillah perhiasan” yang merujuk kepada pakaian yang paling bagus apabila hendak memasuki masjid." Jadi, ayat diatas menjelaskan perintah untuk mengenakan pakaian yang paling baiknya ketika memasuki masjid, bukan perintah untuk menutup aurot. Akan tetapi, dalil diatas secara umum dan merupakan perkara yang paling penting karena orang yang sholat di masjid hakikatnya dia sedang bersimpuh dihadapan Robb-nya.



D.) Syarat Menutup Aurot

- Syaikh Al-‘Utsaimin rohimahulloh dalam Syarhul Mumti menyebutkan syarat-syarat suatu pakaian dapat dikatakan menutup aurot, yaitu :
  1. Tidak mensifatkan kulit atau menggambarkan sesuatu yang berada dibelakangnya ;
  2. Harus suci dari hadats dan najis ;
  3. Hukum pakaian tersebut mubah untuk dipakai. Ada pun pakaian dihukumi harom digunakan apabila (1) harom karena zatnya, (2) harom karena sifatnya, (3) harom karena usaha mendapatkannya yang dilarang oleh syari’at. Pada syarat yang ke-3 ini terjadi ikhtilaf dikalangan ‘ulama. Syaikh Al-‘Utsaimin sendiri menguatkan bahwa hukumnya tidak membatalkan sholat jika dia menggunakan pakaian yang harom, hanya saja dia berdosa. Contoh : sholat dengan pakaian dari sutera, pakaian musbil, didapat dengan mencuri, dan lain-lain.
  4. Pakaian tersebut tidak membahayakan ;



2. Hukum Sholat dengan Pakaian Ketat, Tipis, dan Transparan

1.) Pakaian yang ketat dan mensifatkan / membentuk / menggambarkan aurotnya

- Secara syari’at hukumnya makruh. Secara kedoketeran dapat menghambat aliran darah. Contohnya : bantholun. Menggunakan bantholun ketika sholat merupakan musibah dilihat dari 2 sisi, yaitu :
  1. Menyerupai orang-orang kafir ;
  2. Membentuk atau menggambarkan aurotnya

- Hukum celana yang ketat paling minimal makruh. Oleh karena itu, perlu dilihat jenis bantholunnya karena ada bantholun yang agak lebar, tapi yang agak lebar ini lebih utama untuk dilapisi pakaian lagi. Jika bantholunnya ketat, maka ada perincian, yaitu :
  • Membentuk aurot è batal karena dianggap tidak menutup aurot
  • Tidak membentuk aurot è makruh, sholatnya sah, kecuali jika tidak ada pakaian lain.

- Ada fatwa dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah tentang hukum sholat menggunakan bantholun. Kata Syaikh,
  • Apabila bantholun tersebut agak lebar, tidak transparan è maka boleh digunakan.
  • Apabila bantholun tersebut mensifatkan dan menampakkan aurotnya è maka sholatnya batal.
  • Apabila  hanya mensifatkan aurotnya saja, tapi tidak menampakkan aurotnya è  maka hukumnya makruh, kecuali apabila tidak ada pakaian lagi.

- Kesimpulan :
Dalam masalah bantholun ini perlu dirinci. Ketika celananya agak luas, maka yang lebih utama untuk dilapisi kain lagi. Jika ketat, membentuk, dan menampakkan aurotnya, maka batal sholatnya. Jika ketat, tapi tidak menampakkan aurotnya, hanya mensifatkan, maka makruh.



2.) Pakaian Tipis dan Transparan

- Pakaian yang menggambarkan bentuk tubuh dan menampakkan apa yang ada dibelakangnya. Dapat membatalkan sholatnya.

Dalilnya :
>>> Abdullah bin ‘Umar pernah melihat Nafi’ sedang sholat sendirian dengan memakai pakaian satu lembar, maka Ibnu Umar pun bertanya, ”Bukankah saya telah memberikan kepadamu dua lembar pakaian?” Nafi’ menjawab, “Ya, betul”. Ibnu Umar berkata, ”Apakah engkau mau keluar ke pasar dengan memakai pakaian satu lembar?” Nafi’ berkata, ”Tidak”. Ibnu Umar pun berkata, Maka Alloh lebih berhak agar seseorang berhias dihadapan-Nya” [HR. Ath-Thohawiy dalam Syarhul Ma’any Atsar, 1/377-378]

- Hukum pakaian tipis ini juga berlaku untuk wanita. 

Dalilnya :
>>> Dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum aku lihat, satu kaum yang selalu bersama cambuk bagaikan ekor-ekor sapi, dengannya mereka memukul manusia dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang. Mereka berjalan dengan melenggak-lenggok, kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga & tidak mencium baunya, padahal bau surga bisa tercium dari jarak demikian & demikian”. [HR. Muslim]



3. Sholat dalam Keadaan Aurotnya Terbuka

- Ada beberapa bentuk :

1. Jika seseorang memakai bantholun, levis, dan semisalnya. Lalu ketika sujud nampak punggungnya è Bisa mengantar kepada batalnya sholat. Ustadz memberikan tanbih bahwa hal yang merepotkan ketika kaum muslimin menggunakan pakaian yang bukan dari kaum muslimin.

2. Wanita yang sholat, tetapi kurang bersemangat untuk menutup seluruh tubuhnya. Penyebabnya antara lain (1) malas, (2) jahil, (3) tidak memiliki perhatian. Para ‘ulama sepakat bahwa pakaian wanita yang diterima ketika dia sholat adalah pakaian panjang yang menutupi sampai kedua kakinya, serta yang menutupi kepalanya. Telapak tangan tidak harus ditutup, kecuali jika ada yang laki-laki yang bukan mahromnya.


Dalil ke-1 :
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Abu Daud, dan selain keduanya dari Muhammad bin Zaid bin Qonfadz dari ibunya bahwa dia bertanya kepada Ummu Salamah, istri Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Pakaian apakah yang dipakai oleh seorang wanita dalam sholat?”, maka beliau menjawab,Dia sholat dengan memakai khimar dan pakaian yang luas sampai kedua kakinya tertutupi.”


Kasus :
Ada wanita sholat dengan pakaian/jilbab/mukena yang pendek sehingga ketika sholat nampak kedua kakinya karena kainnya terbuka. Dalam hal ini seharusnya wanita tersebut sholat dengan pakaian yang menutup aurotnya karena Alloh subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an bahwa janganlah para wanita itu memukulkan kaki-kaki mereka sehingga nampak perhiasan yang mereka gunakan. Kata Ibnu Hazm ketika memberikan kesimpulan bahwa ayat tersebut merupakan nash bahwa telapak kaki dan betis tidak halal untuk ditampakkan.


Dalil ke-2 :
“ Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, maka Alloh tidak akan melihatnya nanti pada hari kiamat.” Mendengar sabda beliau ini, bertanyalah Ummu Salamah radhiyallohu ‘anha (salah seorang ummahatul mukminin): “Lalu apa yang diperbuat wanita terhadap ujung-ujung (bagian bawah) pakaiannya?” Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah mereka menurunkan bagian bawah pakaiannya sejengkal (dari betis mereka).” Ummu Salamah berkata: “Bila demikian akan tersingkap telapak-telapak kaki mereka.” Nabi bersabda: “Turunkan sehasta tidak boleh lebih dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, No. 1731, Kitab Al-Libas, Bab Ma Ja’a fi Jarri Dzuyulin Nisa’, diriwayatkan pula oleh selain Tirmidzi, dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih At-Tirmidzi]

Faidah Hadits diatas :
è Isbal bagi wanita adalah keringanan sebab kaki-kaki mereka adalah aurot. Isbal adalah menurunkan kain sampai melewati mata kaki. Hukumnya harom muthlaq, baik dengan kesombongan atau tidak karena dalam hadits di atas ketika Ummu Salamah mendengar hadits yang disampaikan oleh Rosululloh, beliau memahami pelarangan itu secara umum sehingga beliau pun bertanya bagaimana dengan wanita yang menurunkan kainnya untuk menutupi kakinya.
è Isbal bagi Laki-laki : bisa sampai pertengahan betis / sampai kedua mata kaki
è Isbal bagi wanita : menurunkan kainnya sebatas 1 jengkal / menurunkan sebatas 1 dziro’ (ukuran dari ujung jari tengah sampai siku, kurang lebih 42cm).


- Fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh. Jika telah masuk waktu sholat dan wanita tidak dapat berhijab dengan sempurna atau ada aurotnya yang tidak tertutup karena tidak memiliki pakaian menutup selain yang ada sekarang, maka termasuk kondisi yang darurat sehingga wanita itu sholat sesuai dengan yang pakaian yang dia miliki dan sholatnya sah insya Alloh karena dalam Al-Qur’an Alloh subhanahu wa Ta’ala tidaklah membebani seseorang diluar kemampuannya dan juga firman Alloh agar manusia bertaqa sebatas kemampuannya. Ada pun jika wanita itu tidak berhijab atau tidak menutup aurotnya dengan sempurna karena pilihannya sendiri, seperti mengikuti adat istiadat suatu daerah atau mencontoh model pakaian orang lain, maka ada perinciannya.
  • Jika terbuka mukanya è sholatnya tetap sah, tetapi berdosa jika ada laki-laki yang bukan mahromnya. Jika tidak ada laki-laki yang bukan mahromnya, maka dia disunnahkan untuk menutup mukanya, sedangkan telapak tangan yang afdhol, walau boleh untuk dibuka.
  • Jika terbuka pada betisnya / lengannya, dan lain-lain è tidak boleh seseorang sholat dalam keadaan demikian dan dia berdosa apabila membuka aurotnya didepan orang yang bukan mahromnya.

- Kesimpulan :
Aurot laki-laki harus dijaga. Jangan sampai terbuka. Aurot wanita asalnya adalah seluruh tubuhnya.



4. Orang yang Sholat dalam Kondisi Musbil 'Izarnya (Sarungnya)

- Isbal hukumnya harom, baik di dalam sholat maupun di luar sholat. Penulis membawakan hadits yang lemah, yaitu

1.) Hadits dari dari Musa bin Ismail, dari Aban, dari Yahya, dari Abu Ja’far, dari ‘Atho’, dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata, “Suatu saat ada orang shalat dalam keadaan musbil (menjulurkan sirwalnya di bawah mata kaki). Ketika itu Rosullulloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Pergilah engkau, ulangi wudhumu!’ Ia pergi lalu datang kembali. Rosululloh mengulangi lagi sabdanya, ‘Pergilah engkau, ulangi wudhumu!’ Bertanyalah seseorang, ‘Wahai Rosululloh mengapa engkau perintahkan dia berwudhu kemudian engkau diam?’ Rosululloh pun bersabda, ‘Sungguh, ia tadi shalat dalam keadaan musbil, dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima shalat seseorang yang menjulurkan kainnya di bawah mata kaki.’ [HR. Abu Dawud, No. 638 (1/172) dan No. 4086]

Penjelasan :
Hadits diatas lemah karena ada rowi yang bernama Abu Ja’far yang berasal dari Madinah dimana dia seorang rowi yang lemah, tidak diketahui(majhul), sanadnya diperselisihkan karena ada kegoncangan pada riwayat Yahya bin Abi Katsir. Jika harus ditarjih, maka riwayat yang paling kuat adalah riwayat Harb bin Syaddad, akan tetapi riwayatnya juga terputus.


2.) Hadits dari Abdulloh bin ‘Umar dalam riwayat Khuzaimah.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alloh tidak melihat shalat orang yang menarik pakaiannya dengan sombong.” [HR.Khuzaimah]

Penjelasan :
Terdapat keanehan pada kalimat “tidak melihat sholat” sebab dalam riwayat Bukhory yang juga meriwayatkan hadits yang serupa tidak terdapat kalimat seperti itu Oleh karena itu, dalam istilah periwayatan, hadits diatas perlu ditarjih dan ternyata dalam hadits tersebut ada rowayat dari jalan Yahya bin Abi Katsir yang merupakan seorang mudallis (rowi yang melakukan tadlis hadits). Ibnu Khuzaimah sendiri menerangkan bahwa ada perselisihan dalam sanadnya.


3.) Hadits dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Barang siapa yang melakukan musbil dalam sholatnya dalam keadaan sombong, maka dia tidak berada dalam kondisi yang halal dan juga kondisi yang harom.” 

Penjelasan :
Hadits diatas dalam riwayat Abu Dawud dan telah dilemahkan oleh beliau. Hanya saja penulis tidak menjelaskannya. Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi. Riwayat Ibnu Mas’ud diatas diriwayatkan secara marfu’, tapi syadz sehingga hadits diatas adalah perkataan dari Ibnu Mas’ud sendiri, bukan perkataan Nabi.


- Fatwa dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh mengenai orang yang musbil izzarnya ketika sholat
Isbal merupakan bagian dari maksiat, wajib ditinggalkan, dan hendaknya berhati-hati terhadap hal tersebut karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa-apa yang berada di bawah mata kaki tempatnya di Neraka.” Ada pun selain izzar, hukumnya sama, seperti celana, ghomis, dan seterusnya. Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda bahwa ada 3 orang yang tidak akan diajak berbicara, tidak dipandang, tidak disucikan, dan mendapat siksaan, yaitu salah satunya orang yang musbil sehingga para ‘ulama memasukkan musbil kedalam dosa-dosa besar. Jika dia melakukan musbil dengan sombong, maka dosanya akan lebih besar dan lebih cepat balasannya karena ada dalam sebuah hadits dimana Alloh tidak akan melihat seseorang yang musbil dalam keadaan sombong sehingga orang yang melakukan musbil dalam keadaan sombong atau tidak, ancamannya adalah Neraka. Dari sini, wajib seseorang berhati-hati dari isbal atau yang semisal dengannya. Orang yang isbal sembari menyombongkan dirinya, maka siksaannya akan lebih keras.


- Fatwa dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh mengenai orang yang sholat dibelakang Ahlul Bid’ah atau Musbil (orang yang melakukan isbal).
Hukumnya sah sholat dibelakang Ahlul Bid’ah atau orang yang isbal sarungnya, serta selain dari mereka, yaitu dari kalangan orang-orang yang bermaksiat saja berdasarkan pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang ada, selama bid’ahnya tidak menjatuhkan pelakunya dalam kekafiran, seperti bid’ahnya Jahmi’ah, dan lain-lain. Wajib bagi para pengurus masjid untuk memilih imam yang baik sebab imam itu menjadi panutan dan memegang amanah yang sangat besar.


- Syaikh Al-‘Utsaimin rohimahulloh juga merinci hal yang serupa.


- Kesimpulan :
Orang yang musbil dalam sholat, sholatnya tetap sah. Hanya saja dia telah melakukan dosa besar sebab musbil hukum asalnya adalah harom. Demikian pula sholat dibelakang Ahlul Bid’ah, maka kata ‘ulama, seperti Syaikh bin Baz perlu dirinci, yaitu :
  • Jika bid’ahnya menyebabkan kekafiran è contoh : mengatakan Al-Qur’an makhluk, bukan kalamulloh, thowaf dikuburan dan ini termasuk kemusyrikan è Tidak sah sholat dibelakang mereka
  • Jika bid’ahnya tidak menyebabkan kekafiran è Jika ada imam lain yang lebih baik, maka sholatlah bersama dengan imam yang lebih baik itu. Jika tidak ada, maka tetap sholat bersamanya karena hukum sholat berjama’ah adalah wajib dan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sholatlah kalian! Jika mereka (imam maksudnya) benar sholatnya, maka pahalanya untuk kalian dan untuk mereka. Demikian juga jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian dan salahnya atas mereka.”




5. Menutup Mulut Ketika Sholat

- Para ‘ulama menjelaskan As-Sadl (السَّدْلِ) memiliki 3 makna, yaitu :

1.) Menurunkan kain sampai menyentuh bumi è dalam pengertian ini yang dimaksud isbal è penafsiran Imam Asy-Syafi’i

2.) Menurunkan kain untuk menutupi bahunya dan tidak menyentuhnya (dibiarkan saja menggelantung di bahu) karena khawatir bahunya akan terbuka. è akan datang pembahasannya berkaitan dengan ini dalam masalah menampakkan bahu ketika sholat.

3.) Membungkus diri dengan pakaian dan memasukkan kedua tangannya kedalam pakaian sehingga ikut terbungkus dan ketika sujud dan rukuk terbuka sebagian aurotnya. Dalam makna yang ke-3 ini dinamakan juga Isytimalish Shommaa’


Dalil larangan As-Sadl
Hadits dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu,
“Sesungguhnya Rosulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam melarang sadl dalam shalat dan menutup mulutnya dalam sholat.” [HR. Abu Dawud, No 643, At-Tirmidzi, No.378, Ibnu Khuzaimah, No.772, Ahmad, 2/295 & 341, dan Al-Hakim, 1/253].

Penjelasan :
Penulis menghasankan hadits di atas. Hadits ini dho’if sebab berasal dari jalan Al Hasan bin Dzakwan dan beliau ini lemah haditsnya, serta ada perselisihan dalam riwayatnya yang oleh Ad-Daruqutni menyatakan secara dhohir Al Hasan bin Dzakwan goncang dalam meriwayatkan hadit tersebut dan telah menyelisihi 2 orang rowi yang meriwayatkan secara mauquf. 

Oleh karena itu, pengertian As-Sadl dalam sholat haditsnya lemah. Demikian juga menutup mulut dalam sholat sehingga boleh seseorang menutup mulutnya ketika sholat, kecuali apabila dapat menghambat dirinya mengucapkan kalimat-kalimat dzikr, maka hukumnya harom dan akan datang pembahasannya nanti.

- Kesimpulan :
  • Jika makna As-Sadl adalah isbal è telah ada hadits shohih yang menjelaskan keharomannya
  • Jika makna As-Sadl adalah menampakkan kedua bahu è telah ada hadits yang mengharomkan menampakkan kedua bahu
  • Jika makna As-Sadl adalah isytimalish shommaa’ è telah ada hadit shohih yang mengharomkannya, yaitu hadits dari jalan Abu Said Al-Khudry dalam riwayat Bukhory dan Muslim dari jalan Jabir bin Abdillah. Hukum isytimalish shommaa’ adalah dapat membatalkan sholat.

Jadi, As-Sadl dalam makna menutup mulut dalam sholat, haditnya dho’if. Hanya saja, kita perlu melihat penafsiran para ‘ulama dalam 3 tafsiran makna diatas. Ada pun hadits yang secara khusus melarang As-Sadl adalah dho’if.



6. Melipat atau Menyingsingkan Kain dalam Sholat

- Contoh : menyingsingkan lengan baju, melipat celananya karena kepanjangan dimana seharusnya dia potong kainnya agar tidak isbal.

Dalilnya :
Dari Abdulloh bin Abbas rodhiyallahu anhu, beliau berkata, “Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh tulang (anggota sujud); Kening -dan beliau menunjuk hidungnya- kedua telapak tangan, kedua lutut, dan jari jemari dari kedua kaki. Dan saya diperintahkan untuk tidak menahan rambut atau pakaian.” [HR. Al-Bukhori, No. 812 dan Muslim, No. 490]

- Jadi, laki-laki tidak diperbolehkan mengikat rambutnya apabila kepanjangan. Harus dibiarkan terurai. Makna pakaian disini secara umum, baik itu lengan baju atau yang lainnya. Larangan disini bersifat muthlaq. Wallohu a’lam.



7. Orang yang Sholat dalam Keadaan Tidak Menutupi Bahunya

Dalil ke-1 :
Dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak boleh salah seorang dari kalian shalat dengan mengenakan satu pakaian / kain sementara tidak ada sedikit pun bagian dari kain itu yang menutupi pundaknya.”

Penjelasan :
Penulis berpendapat hukumnya makruh membuka bahu ketika sholat. Akan tetapi, penghukuman beliau tersebut kurang tepat dan harus ada rincian yang lain. Imam Bukhory dalam shohihnya memberikan judul dengan “Bab Apabila Baju yang digunakan Tidak Lapang (sempit)”.


Dalil ke-2 :
Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bila pakaian/kain itu lebar/lapang, maka berselimutlah engkau dengannya (menutupi pundak). Namun, apabila kain itu sempit, maka bersarunglah dengannya (menutupi tubuh bagian bawah).” [Muttafaqun ‘alaihi]


- Ibnu Hajar ketika menyebutkan hadits Abu Hurairoh di atas dalam bab sebelumnya bahwa jangan sekali-sekali seseorang sholat dengan 1 pakaian dan dalam kondisi bahunya terbuka, makna secara dhohir dari hadits Bukhory diatas bahwa apabila pakaiannya luas, maka wajib dia menutupi bahunya. Apabila pakaiannya sempit, maka tidak wajib dia tutupi bahunya. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, Syaikh Bin Baz.


- Kesimpulan :
Orang yang sholat dalam kondisi bahunya terbuka, harus dirinci keadaannya.
  • Apabila kainnya luas, tapi tidak dia tutupi è dia telah melakukan perkara yang harom, tidak sah sholatnya
  • Apabila tidak punya kain lagi selain kain yang sempit itu è dia jadikan kain yang sempit itu sebagai sarung saja sebab Alloh tidak membebani seseorang diluar kemampuannya.


- Syaikh bin Baz rohimahulloh pernah ditanya tentang orang yang tidak mampu menutupi bahunya ketika sholat. Kata beliau, tidak apa-apa sebab Alloh subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Bertaqwalah kamu kepada-Ku semampunya.” Dan juga berdasarkan hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam jika bajunya sempit, maka jadikanlah sarung. Jika luas, maka tutupilah seluruhnya. Kalau dia mampu menutupi keduanya atau salah satunya, maka wajib melakukan. Jika tidak, dia berdosa dan sholatnya tidak sah sebab Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sekali-kali kamu sholat dalam keadaan tidak ada baju diatas bahunya.”



8.Sholat dengan Pakaian Bergambar

Dalil ke-1 :
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam shalat mengenakan khomishoh yang memiliki corak atau gambar-gambar. Beliau memandang gambar-gambar tersebut. Maka, tatkala beliau selesai dari shalatnya, beliau berkata, “Bawalah khomishoh-ku ini kepada Abu Jahm dan datangkan untukku anbijaniyyahnya Abu Jahm karena khomishoh ini hampir menyibukkanku dari shalatku.” Dari Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya dari ‘Aisyah, “Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika sedang shalat, aku sempat melihat kepada gambarnya, maka aku khawatir gambar itu akan melalaikan atau menggangguku .” [HR. Bukhory, No. 373 dan Muslim, No. 1239]

- Anbijaniyyah adalah kain murni yang tidak terdapat gambar.


Dalil ke-2 :
Dari Anas bin Malik rodliyallohu 'anhu, belia berkata, “’Aisyah memiliki qirom (tirai) yang menutupi samping rumahnya. Maka, Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Singkirkanlah tiraimu ini dari kita, karena sungguh gambar-gambarnya selalu menggangguku dalam sholatku." [HR. Bukhory, No.374]


- Dua hadits diatas menunjukkan MAKRUHNYA sholat dengan menggunakan pakaian bergambar, baik dari pakaian yang dikenakan atau dari sajadah. Hukum minimalnya adalah makruh. Apabila membuat lalai dari sholatnya, menjadi tidak tahu apa yang di abaca, maka dapat membuat batal sholatnya dan harom hukumnya. Namun, apabila dia tidak terganggu, mungkin saja kawan sebelahnya akan terganggu. Oleh karena itu, boleh menggunakan pakaian bergambar selama tidak memancing perhatian orang lain karena akan membuat seseorang lalai dari sholatnya dan tersibukkan dengan gambar tersebut. Demikian pula dengan penggunaan sajadah bergambar.

- Mazhab jumhur ‘ulama è Hukumnya makruh sholat dalam keadaan menggunakan pakaian bergambar.

- Bagaimana dengan orang yang membawa gambar itu sendir ketika sholat??? Apabila dia membawa gambar, seperti yang terdapat dalam uang, cincin, maka perlu dirinci. Fatwa dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rohimahulloh bahwa ketika seseorang menggunakan jam yang bergambar salib dalam sholatnya dan ada pula gambar sebagian hewan. Jika gambar tersebut tertutup, tidak nampak, maka tidak mengapa ia sholat dengannya. Namun, apabila terlihat gambarnya dari luar, maka tidak boleh karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu tinggalkan gambar, kecuali kamu menghapusnya!” Gambar salib pada jam juga harus dihapus / di coret sebab Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika melihat sesuatu yang ada salibnya, maka beliau merusaknya.

- Jadi, jika gambarnya itu tersembunyi, maka tidak mengapa insya Alloh.

- Apabila ketika sholat uangnya jatuh , seperti saat sujud. Dalam hal ini, tidak hanya dirinya saja yang rugi, tetapi juga teman-temannya karena malaikat tidak akan masuk kedalam rumah yang didalamnya ada gambarnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang ketika akan sholat berhati-hati dan memeriksa dirinya agar jangan sampai ada hal yang harom.



9. Sholat dengan Pakaian yang dicelup

- Pakaian yang asalnya putih, lalu dia celup warna orange.

Dalil ke-1 :
Hadits ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash,
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam; Telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Yahya; Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim bin Al Harits; Bahwa Ibnu Ma’dan; Telah mengabarkan kepada kaminya, Jubair bin Nufair; Telah mengabarkan kepadanya, dan ‘Abdulloh bin ‘Amru bin Al ‘Ash; Telah mengabarkan kepadanya, dia berkata; Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah melihat aku memakai dua potong pakaian yang dicelup ‘ushfur, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah kamu memakainya.” [HR. Muslim, No. 2077]

- ‘Illah (sebab adanya hukum) hadits di atas karena menyerupai pakaian orang kafir sehingga harom digunakan.


Dalil ke-2 :
Telah menceritakan kepada kami Daud bin Rusyaid; Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyub Al Mushili; Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Nafi’ dari Sulaiman Al Ahwal dari Thawus dari ‘Abdillah bin ‘Amru ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat saya sedang mengenakan dua potong pakaian yang dicelup ‘ushfur, maka beliau bersabda, “Apakah ibumu yang menyuruh seperti ini?” Aku berkata, “Aku akan mencucinya”. Beliau bersabda: ‘Jangan, akan tetapi bakarlah.’ [HR. Muslim, No. 2077]


Dalil ke-3 :
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang memakai ribqoh yang mengandung ‘ushfur. Maka, Nabi pun bertanya, “Mengapa kamu memakainya?” Kemudian sahabat yang bernama ‘Abdulloh bin ‘Amr bin ‘Ash mengetahui bahwa Nabi tidak senang kepada baju tersebut. Lalu, beliau pun kembali pulang ke rumahnya mendatangi keluarganya dan menyuruh mereka untuk menyalakan tungku serta dia lemparkan baju tersebut ke dalamnya. Keesokan harinya, beliau mendatangi Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Maka, Nabi pun bertanya, “Wahai, Abdulloh bagaimana dengan pakaian mu’ashfar (pakaian yang dicelup ‘ushfur) milikmu?” Abdulloh berkata, “Sudah saya bakar.” Lalu, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah engkau memberikan kepada sebagian keluargamu sebab hal itu tidak mengapa bagi wanita.”


Dalil ke-4 : 
Hadits dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dalam riwayat Bukhory bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang seorang laki-laki untuk memakai minyak wangi za’faron. Za’faron adalah minyak wangi yang sangat keras baunya dan merupakan parfum khusus bagi wanita dalam rumahnya.


Dalil ke-5 : 
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata; ‘Aku membaca Hadits Malik dari Nafi’ dari Ibrahim bin ‘Abdullah bin Hunain dari Bapaknya dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang berpakaian yang dibordir (disulam) dengan sutera, memakai pakaian yang dicelup ‘ushfur, memakai cincin emas, dan membaca Al Qur’an saat ruku’.” [HR. Muslim, No. 2078]


- Kesimpulan :
Hukumnya harom memakai pakaian yang dicelup atau pakaian mu’ashfar.

- Bagaimana hukum menggunakan pakaian berwarna merah? Ada ikhtilaf dikalangan ‘ulama. Pendapat yang benar adalah boleh selama warna asalnya merah dan bukan warna merah yang dicelup. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani.



10. Sholat dalam Keadaan Kepala Terbuka

- Penulis berpendapat bahwa sholat dalam keadaan tidak memakai penutup kepala bagi laki-laki adalah boleh. Kalau wanita harom karena aurot. Akan tetapi, penulis juga berpendapat bahwa membuka kepala ketika sholat tanpa adanya ‘udzur hukumnya makruh. Beliau menukil pendapat dari Syaikh Al-Albani rohimahulloh. Akan tetapi, tidak ada sisi pendalilan dari pendapat Syaikh Al-Albani tersebut sebab jika ingin memakruhkan harus mendatangkan dalil yang jelas dari Nabi. Pendapat Syaikh Al-Albani ini diselisihi oleh Syaikh bin Baz, Syaikh Al-‘Utsaimin, Syaikh Muqbil rohimahumulloh.

- Syaikh bin Baz pernah ditanya tentang apa hukumnya dengan imam yang tidak menggunakan penutup kepala? Kata beliau, tidak mengapa sebab bukan aurot karena yang wajib adalah menggunakan izar atau rida’ (selendang). Ada pun jika ia ambil “perhiasannya”, seperti peci untuk menyempurnakan pakaiannya, maka hal itu lebih utama karena Alloh berfirman, “Wahai, Bani Adam! Ambillah perhiasanmu setiap kali engkau memasuki masjid.” Jika adat suatu negara tidak menutup kepala, maka tidak mengapa dia membuka kepalanya.

- Syaikh Muqbil rohimahulloh adalah orang yang paling keras mengingkari pendapat yang mengatakan makruhnya tidak memakai penutup kepala.

- Kesimpulan :
Kalau memakai peci dalam rangka menghias dirinya ketika memasuki masjid, menghadap Alloh è lebih afdhol sebagaimana adat di Indonesia yang terbiasa sholat dengan menggunakan peci. Tidak sampai menghukumi makruh bagi orang yang membuka kepalanya saat sholat. Syaikh Al-Albani berkata bahwa adat membuka kepala pertama kali muncul ketika masa penjajahan sehingga beliau menghukumi makruh membuka kepala tanpa ‘udzur.



_SELESAI_


[Faidah dari Al-Ustadz Dzulqornain hafizhohulloh dalam Pembahasan “Al-Qoulul Mubin fi Akhtoo’il Mushollin”, Pasal ke-1, 2013]





______________________________________________________________________________























-           

Tidak ada komentar: