بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
"... Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang ALLOH,
sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-NYA. Sementara itu
kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua
hal ini.”
[Al-Fawa’id, hal. 52]
MASRUQ rohimahulloh
berkata,
“ Sekedar dengan kualitas
ilmu yang dimiliki seorang hamba, maka sekedar itulah rasa takutnya kepada
ALLOH. Dan sekedar tingkat kebodohannya, maka sekedar itulah hilang rasa
takutnya kepada ALLOH.”
[Syarh Shohih Al Bukhory,
Ibnu Baththol, 1/136]
..............................................................................
Mengulang Materi Sebelumnya :
- Makna I’lam
1. belajarlah,
2. pahamilah,
3. yakinilah
- Kapan penggunaan kata I’lam dibutuhkan?
Kata
I’lam biasa digunakan dalam bahasa Arab untuk menunjukkan pentingnya perkara
yang akan disampaikan setelahnya.
- Hukum menuntut ilmu :
1. Fardhu ‘ain, yaitu
ilmu yang tidak bisa tegak agama, kecuali dengan ilmu tersebut. Contoh : wudhu,
sholat, puasa, dan lain-lain.
2. Mubah, yaitu ilmu dunia. Ibadah
yang sifatnya mubah tidak akan bernilai ibadah hingga ia melakukan semua itu
karena Alloh. Contoh : makan. Inilah makna hadits “Innamal a’malu bin niyaat.”
3. Fardhu kifayah, yaitu ilmu
dimana ilmu tersebut dibutuhkan oleh kaum muslimin dan dia mampu menuntutnya.
Contoh : ilmu jual beli ketika hendak berdagang. Ilmu semisal itu tidak
diwajibkan untuk semua orang, tapi diwajibkan untuk
orang yang hendak masuk ke perkara tersebut, para ‘ulama, dan para penuntut
ilmu. Diwajibkan kepada mereka memperdalam sehingga apabila ada kaum muslimin
yang membutuhkan, mereka tidak perlu belajar dahulu dengan cara mempelajari
kitabulloh karena bisa jadi kalau mereka belajar sendiri akan salah.
- Taqlid :
Perkara
taqlid ini telah disepakati oleh Ahlussunnah, Asy-‘ariyah, dan Maturidiyah, tetapi
ada perbedaannya, yaitu :
Ahlussunnah :
è Kalau Ahlussunnah mewajibkan mengenal Alloh
dengan dalil syar’i, baru dengan dalil kauni (dalil yang berasal dari alam).
è Ahlussunnah landasannya Al Qur’an dan Hadits
dengan pemahaman salafush sholih
Ahlul Bid’ah (Asy-‘Ariyah dan Maturidyah) :
è Mengenal Alloh dengan melihat pada alam ini
(dalil kauni)
è Landasannya dengan akal. Kaidah mereka jika
terjadi pertentangan antara syari’at dengan akal, maka akal yang didahulukan.
...................
A. Bersikap Rohmat dalam Menyampaikan Ilmu
- Setelah
membaca bismillaahirrohmanirrohiim, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh mengatakan,
…. اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ
“
Ketahuilah, semoga ALLOH merohmatimu … “
- Kata Syaikh Al Utsaimin rohimahulloh dalam
syarohnya menjelaskan maknanya adalah semoga Alloh mengampuni dosa yang telah
lalu dan memberi taufiq kepadamu untuk beramal dimasa depan dan menjagamu dari
dosa-dosa dimasa depan. Ini termasuk makna rohmat.
- Jadi,
ketika kita mendo’akan rohmat kepada saudara kita, artinya kita mendo’akan agar
dosa-dosannya diampuni dan diberi tafiq untuk beramal dimasa depan dan
diberikan penjagaan dari dosa-dosa dimasa depan. Inilah makna rohmat yang diinginkan dari seorang
hamba
~ Pelajaran Penting yang bisa Kita Ambil ~
1. Peringatan
yang sangat agung bahwasanya ilmu itu dibangun diatas sikap lemah lembut dan kasih
sayang kepada para pelajar dan orang-orang yang menginginkan kebaikan sebab ilmu
itu asalnya adalah DAKWAH dengan kelembutan. Demikian pula hasil dari ilmu
adalah rohmat alasannya :
è Ilmu itu dibangun diatas rohmat,
è Hasilnya akan meraih rohmat Alloh di dunia,
è Tujuannya adalah meraih rohmat Alloh di akhirat
kelak.
Oleh karena
itu, para ‘ulama dahulu (khususnya kalangan Al-Muhadittsun) jika mereka ingin memberikan ijazah periwayatan
hadits, maka mereka akan mulai dengan membawakan hadits berkaitan dengan rohmat, yaitu hadits riwayat Abu Dawud dari Abdulloh bin ‘Amr rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi oleh Ar-Rahman (Alloh). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.”
(HR. Abu Dawud)
Hadits
ini biasanya diriwayatkan pertama kali oleh seorang muhaddits kepada muridnya ketika hendak memberi ijazah periwayatan.
Dia ajarkan hadits yang pertama itu kepada muridnya sebab mereka memahami bahwa
ilmu itu dibangun diatas rohmat. Sebagaimana para Nabi dan Rosul diutus dengan
rohmat, hasilnya adalah rohmat di dunia, dan tujuannya adalah rohmat Alloh di
akhirat.
Dalam
sebuah hadits dari Abu Hurairoh
rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Surga dan neraka berselisih. Neraka berkata, “Yang masuk ke dalamku adalah orang-orang yang sombong lagi takabbur,” sementara surga berkata, “Yang masuk ke dalamku adalah orang-orang yang lemah lagi miskin.” Maka Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman kepada neraka, “Engkau adalah siksaan-Ku yang denganmu Aku menyiksa siapa yang Aku kehendaki.” Dan Dia berkata kepada surga, “Engkau adalah rohmat-Ku yang denganmu Aku merohmati siapa yang Aku kehendaki. Dan setiap dari kalian ada penghuni yang memenuhinya.”
(HR. Muslim, No. 2846)
Hadits
diatas sampai dikenal dengan nama Al-Hadits
Al-Musalsal bi Al-Awwaliyah, yaitu hadits yang selalu bersambung dengan
periwayatan pertama karena setiap kali muhaddits menyebutkan hadits tersebut dan
didengar oleh para muridnya, mereka akan berkata, “Ini adalah hadits yang
pertama kali aku dengar dari guruku.” Hal itu menunjukkan perhatiannya para ‘ulama
bahwa ilmu itu DIBANGUN diatas sikap lemah lembut dan rohmat bagi muta’allimin
(orang yang belajar)
Termasuk
kesalahan besar jika kita tidak bersikap rahmat dalam mengajarkan dan dalam
menyebarkan ilmu. Apabila kita mulai dengan kata-kata yang kasar, maka, hal yang seperti
ini tidak menunjukkan azaz yang benar dalam menyebarkan ilmu, yaitu rahmat (kasih sayang)
kepada muta’allimin.
Apabila ada
orang yang baru mengaji, pakaiannya belum sesuai syari’at, lalu orang itu
diperlakukan tidak baik. Hal yang seperti itu juga termasuk tindakan yang kurang
hikmah dalam menyebarkan ilmu. Seharusnya orang yang baru belajar, dilembutkan
hatinya sehingga ada kecintaan kepada Ahlul
‘Ilmy. Bukan malah membuatnya lari dari dakwah.
Termasuk dosa besar, apabila seseorang mengira dia telah menyebarkan ilmu, tapi pada
hakikatnya dia telah membuat orang lain lari dari ilmu karena kebodohan mereka. Kata ‘ulama bahwa orang tersebut berbuat kerusakan
dari arah yang dia sangka dia telah berbuat kebaikan. Semangat, tetapi tanpa
ilmu.
Dan memulai pembicaraan
dengan hal yang baik akan membuat orang yang mendengarnya dapat menerima
perkataannya. Menerima Al haq adalah berat sebagaimana perkataan Syaikh Al-Albani rohimahulloh,
“AL-HAQ itu berat diterima oleh hati sehingga jangan
engkau tambah dengan sikap yang kasar, sikap yang tidak baik sehingga menambah
berat orang-orang dalam menerima kebenaran.”
Pada
dasarnya Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci hawa nafsu, sebaliknya Neraka
diliputi oleh hal-hal yang disenangi hawa nafsu. Oleh karena itu, jika
seseorang sudah merasa berat dalam menerima kebenaran, maka jangan kita tambah
dengan sikap kita yang semakin memberatkan mereka. Kita mengira telah memberikan
hidayah kepada orang lain, ternyata justru kita telah menjadi sebab orang lain
tersesat. Bahkan yang lebih parah apabila kita merasa bahwa itu bagian dari
dakwah.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam berpesan kepada Mu’adz bin Jabal,
rodhiyallohu ‘anhu dan penting untuk diingat oleh para penuntut ilmu, “Yassiroo,
wa laa tu'assiroo, wa bassyiroo, wa laa tunaffiroo (mudahkanlah dan jangan
mempersulit, dan berilah kabar gembira dan jangan membuat lari)”.
B. Makna Ta’allum
- Selanjutnya Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rohimahulloh berkata,
… أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَ تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ …
“… Wajib
atas kita mempelajari 4 perkara … “
-
Maknanya adalah tidak boleh tidak mempelajarinya karena meninggalkannya dosa,
- Syaikh Sholih Al-Fauzan hafidhohulloh
berkata ketika menjelaskan perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diatas,
“Wajib atas kita belajar”, yaitu dari kata ta’allum
yang maknanya :
è mengambil ilmu dari para ‘ulama,
è menghafalnya,
è memahaminya, dan
è menguasainya,
- Itulah
makna dan hakikat ta’allum secara syar’i. Ada pun hanya sekedar membaca buku,
mendengarkan kaset, itu bukan makna ta’allum,
tetapi hanya sekedar penunjang ta’allum karena ta’allum yang sesungguhnya dari para
‘ulama, menghafal, memahami, dan meguasainya.
- Hendaknya
pula seseorang dalam belajar melihat dengan siapa dia berguru dan tidak
bersembarangan setiap orang ia jadikan guru, seperti mengambil ilmu hanya dari ‘ulama
Ahlussunnah. Ibnu Sirin rohimahulloh
berkata, “Sesungguhnya ilmu adalah agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari
siapa engkau mengambilnya.”
- Al Imam Ibrohaim An-Nakha’i (seorang
‘ulama tabi’in dan murid Abdulloh bin Mas’ud)
berkata,
“Dahulu para ‘ulama ketika mereka akan
belajar, maka yang pertama kali mereka lihat adalah sholatnya, ittiba’nya
kepada Sunnah, dan adabnya,
Jika sesuai sunnah, maka mereka mengambil ilmu
darinya. Jika tidak, maka mereka meninggalkannya.”
- Sholat
adalah perkara yang mudah dilihat dan mudah diketahui. Kalau setelah mereka
belajar, kemudian nampak penyimpangan aqidah dari gurunya yang bisa mengeluarkannya
dari Ahlussunnah, mereka tidak akan segan-segan meninggalkannya bahkan mentahdzir
(memperingatkan) gurunya sendiri.
C. Faidah dari Kisah Al Hasan bin Sholih bin
Hayy
- Imam Adz Dzahabi rohimahulloh dalam Siyar A’lam An-Nubala ketika
menjelaskan Al Hasan bin Sholih bin Hayy
bahwa beliau ini adalah muhaddits, faqih, zahid (tidak tamak), al-‘abid, dan berbagai
keutamaan lainnya terkumpul padanya. Tapi, pada suatu hari muncul SATU
penyimpangan darinya yang mengeluarkannya dari lingkup Ahlussunnah, yaitu beliau
membolehkan memberontak kepaka kaum muslimin yang ini merupakan manhajnya kaum Khawarij sehingga para ‘ulama yang
dahulu mengambil hadits, fiqih darinya meninggalkan majelis beliau, seperti Imam Ats Tsauri rohimahulloh.
- Imam Ahmad bin Yunus berkata, “Aku
duduk belajar kepadanya selama 20 tahun. Tidak pernah aku melihat wajahnya
menghadap ke langit karena saking takutnya beliau kepada Alloh. Tetapi, karena
SATU penyimpangan darinya yang membuatnya keluar dari Ahlussunnah, maka para ‘ulama
yang dahulu belajar kepadanya, pergi meninggalkannya.”
Padahal kata Imam Adz Dzahabi rohimahulloh bahwa seumur hidup Al Hasan bin Sholih bin Hayy tidak pernah memberontak kepada kaum muslimin dengan senjata. Hanya saja beliau memberontak dengan pemahamannya sehingga para ‘ulama meninggalkan majelis beliau.
- Dan diriwayatkan
dari Waqi' ibn Jarroh ibn Mulih rohimahulloh,
“Jika dalam suatu periwayatan hadits sampai pada riwayat Al Hasan bin Sholih bin Hayy, maka seketika para murid menutup
bukunya. Tidak mau mencatat karena pemahaman beliau yang membolehkan mengangkat
pedang kepada umat Muhammad
shollallohu ‘alaihi wa sallam.”
- Oleh
karena itu, belajarlah kepada ulama Ahlussunnah karena ini merupakan makna
ta’allum sesungguhnya. Tidak setiap orang bisa kita ambil darinya ilmu.
D. Empat Perkara yang Wajib Kita Pelajari
- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh
ketika berkata, “Annahu yajibu ‘alaynaa ta’allum arba’i masaa’il, al ‘ulaa, al
‘ilm wa huwa ma’rifatullooh, wa ma’rifatu nabiyyah, wa ma’rifatu diinil islaam
bi adillah.”
- Artinya
: Wajib atas kita mempelajari 4 perkara, yang pertama adalah ilmu, yaitu :
1. Ilmu
mengenal ALLOH,
2. Ilmu mengenal
Nabi-NYA
3. Ilmu
mengenal Islam dengan dalil-dalilnya
- Dari
situ pelajaran yang bisa kita ambil : Menuntut ilmu adalah WAJIB bagi setiap muslim dan ilmu
yang dimaksud adalah ilmu tentang Alloh, agama-NYA, Nabi-NYA, Bukan ilmu dunia.
Al-Qur’an,
Hadits yang memuji keutamaan ilmu, majelis ilmu, ahlul ‘ilmy, semua pujian
tersebut mengarah kepada pujian terhadap ilmu syar’i apabila penyebutan
tersebut datang dalam bentuk mutlak (tidak disebutkan ilmu apa).
Contoh :
“Sesungguhnya
para ‘ulama adalah pewaris para Nabi.” è tidak
disebutkan ilmu apa
“Alloh
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.” è tidak disebutkan
“Barang
siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, …” è tidak disebutkan
“Katakanlah,
Wahai Muhammad, ‘Wahai Robbku, tambahkanlah ilmuku.” (QS. Thoha) è tidak disebutkan
- Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani
rohimahulloh berkata tentang ayat dalam suroh Thoha diatas bahwa hal ini sangat
jelas menunjukkan keutamaan ilmu sebab Alloh tidak memerintahkan Nabi-NYA, melainkan
agar diberi tambahan ilmu. Bukan meminta tambahan ilmu dunia karena mereka tidak
berdosa dan tidak akan dimintai pertanggungjawaban jika tidak mempelajarinya.
- Alloh subhanahu wa Ta’ala juga mencela
sifat orang kafir dalam salah firman-NYA,
“Mereka hanya mengetahui yang lahirnya (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka terhadap (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
(QS. Ar Ruum : 7)
- Dalam sebuah
hadits diriwayatkan dari Abu Hurairoh
rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’ bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya ALLOH membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia, namun bodoh dalam urusan akhiratnya.”
(Shohih Jami’ Ash-Shogir)
- Ilmu agama itu bukan hanya sekedar pengetahuan
belaka, tapi harus disertai dengan ketundukan. Maknanya :
1. Dengan Ketundukan
Mengenal Alloh
harus disertai ketundukan kepada-NYA, mengenal Nabi-NYA disertai dengan kita
ittiba’ kepadanya, mengenal Islam disertai dengan pengamalan. Kalau hanya
sekedar mengetahui jalan-jalan kebaikan, tanpa beramal, maka akan seperti
kisahnya Abu Tholib. Beliau –mungkin-
lebih banyak mengetahui jalan-jalan kebaikan, mentauhidkan Alloh dibandingkan kita.
Tatkala Abu Tholib dahulu berjumpa dengan pendeta Bahiroh yang memberitakan
kenabian Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wa sallam dan perintah untuk membawa Muhammad saat kecil, maka Abu Tholib pun
mempercayainya dan sepanjang hidupnya beliau jaga dan beliau rawat keponakannya
tersebut. Beliau pun juga mengetahui kebenaran ajaran Islam. Akan tetapi,
ilmunya tentang ALLOH, tentang Nabi-NYA, tentang Islam, tidaklah bermanfaat
sama sekali karena tidak disertai dengan ketundukan kepada Alloh, ittiba kepada
Nabi-NYA, dan mengamalkan Islam dengan dalil-dalilnya. Maka, pada akhir
hidupnya, Abu Tholib pun tetap dalam
kekafirannya. Pelajaran penting yang bisa kita ambil disini :
Sesungguhnya ilmu agama tidak akan bermanfaat
hingga seseorang mengamalkannya berdasarkan dalil-dalilnya, bukan hanya sekedar
taqlid (ikut-ikutan) semata. Sebagaimana kata ‘Ulama, “Sesungguhnya taqlid itu
tidaklah bermanfaat bagi Aqidah seseorang.”
2. Mengamalkannya
Ini merupakan kewajiban ke-2. Mengamalkan ilmu
yang sudah kita ketahui dan untuk inilah para Nabi diutus. Dalam Suroh At-Taubah Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, “ Dialah ALLOH yang mengutus Rosul-NYA dengan Al-Huda (ilmu),
wa diinil haq (amal).” Jadi, Alloh mengutus agama ini dengan ilmu dan amal.
Para ‘ulama menjelaskan bahwa manusia di bumi ini hanya terbagi menjadi 3
golongan, yaitu :
1.) Orang
yang belajar dan mengamalkannya è Para
Nabi dan Rosul serta orang-orang yang mengikuti mereka
2.) Orang
yang mempunyai ilmu, tapi tidak diamalkan è Yahudi
dan pengikutnya
3.) Orang
yang beramal tanpa ilmu è Nashrani
dan pengikutnya
E. Tasyabbuh Kepada Yahudi dan Nashrani
- Pentingnya
permasalahan ilmu hingga Alloh
perintahkan kepada hamba-NYA untuk meminta ilmu, mengamalka, serta menjauhkan
kita dari orang berilmu, tapi tidak mengamalkan ilmunya dan orang yang beramal,
tapi tanpa didasari dengan ilmu.
- Kita
memohon hal diatas sebagaiman yang kita lakukan minimal 17x dalam sehari, yaitu
pada ayat Suroh Al-Fatihah,
“ Ihdinash shiroothol mustaqiim, shiroothol
ladziina an'amta alayhim ghoiril maghduubi ‘alayhim walaadh dhooliin”
(Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu
jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan
jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat)
- Jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka è Yaitu jalannya
para Nabi, para Rosul, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan
Syuhada, Ash-Shiddiq, Ash- Sholihin.
- Jalan orang-orang yang Engkau murkai dan
bukan jalan orang-orang yang sesat è Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam ketika ditanya tentang apa yang dimakusd dengan orang-orang yang
dimurkai, maksudnya adalah Yahudi
- Jalan orang-orang yang sesat è Orang-orang yang sesat, yaitu Nashrani. Kata Rosululloh, “ Siapa lagi kalau bukan
mereka???? ”
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rohimahulloh menjelaskan dalam Iqtido
Shirothol Mustaqim
Sebab dimurkainya Yahudi è karena berilmu, tapi tidak beramal hingga mereka
mengetahui Rosul-rosul mereka sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka
sendiri.
Sesatnya Nashrani è karena mereka beramal tanpa ilmu sehingga muncul
kebid’ahan sampai-sampai kebidahan Rosulnya (Nabi Isa ‘alahissalaam) yang diutus kepada mereka dijadikan sebagai
sembahan selain ALLOH karena mereka
beramal dengan taqlid (sekedar
ikut-ikutan saja) kepada ahli ibadah dan ‘ulama-‘ulama mereka. Jadi, bukan dengan
ilmu, melainkan dengan kebodohan.
F. Penutup
Siapa saja yang memiliki ilmu tetapi tidak
diamalkan, sesungguhnya dia telah TASYABBUH kepada Yahudi …
Siapa saja yang melandaskan amalannya, tanpa
didasari oleh ilmu, sesungguhnya dia telah TASYABBUH kepada Nahsrani …
Buah dari
ILMU adalah AMAL …
Sebagaimana
‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu
berkata,
“ Ilmu
itu selalu memanggil amalan. Jika panggilan ini dijawab, maka ilmu itu akan tetap
pada diri seseorang. Kalau tidak, maka dia akan
pergi meninggalkan.”
[Iqtidhoo’
Al-‘Ilmi Al-‘Amal, No. 40]
[Faidah dari Al Ustadz Sofyan Cholid bin
Idham Ruray hafizhohulloh dalam Pembahasan “Tsalatsatul Ushul wa Adillatuha”,
2012]
____________________________________________________________
Rekaman Tsalatsatul Ushul lainnya :
1 komentar:
assalamu'alaikum..Blog yang menarik..
jangan lupa mampir ke Maktabah At-Tamimi :Blog Khusus mengulas karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Posting Komentar