Rabu, 25 Desember 2013

Tsalatsatul Ushul wa Adillatuha :3.Ilmu, Amal, dan Makna Ta'allum

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ



"... Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang ALLOH, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-NYA. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini.”
[Al-Fawa’id, hal. 52]

MASRUQ rohimahulloh berkata,
“ Sekedar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seorang hamba, maka sekedar itulah rasa takutnya kepada ALLOH. Dan sekedar tingkat kebodohannya, maka sekedar itulah hilang rasa takutnya kepada ALLOH.” 
[Syarh Shohih Al Bukhory, Ibnu Baththol, 1/136]

..............................................................................


Mengulang Materi Sebelumnya :

- Makna I’lam
1. belajarlah,
2. pahamilah,
3. yakinilah

- Kapan penggunaan kata I’lam dibutuhkan?
Kata I’lam biasa digunakan dalam bahasa Arab untuk menunjukkan pentingnya perkara yang akan disampaikan setelahnya.

- Hukum menuntut ilmu :
1. Fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang tidak bisa tegak agama, kecuali dengan ilmu tersebut. Contoh : wudhu, sholat, puasa, dan lain-lain.

2. Mubah, yaitu ilmu dunia. Ibadah yang sifatnya mubah tidak akan bernilai ibadah hingga ia melakukan semua itu karena Alloh. Contoh : makan. Inilah makna hadits “Innamal a’malu bin niyaat.”

3. Fardhu kifayah, yaitu ilmu dimana ilmu tersebut dibutuhkan oleh kaum muslimin dan dia mampu menuntutnya. Contoh : ilmu jual beli ketika hendak berdagang. Ilmu semisal itu tidak diwajibkan untuk semua orang, tapi diwajibkan untuk orang yang hendak masuk ke perkara tersebut, para ‘ulama, dan para penuntut ilmu. Diwajibkan kepada mereka memperdalam sehingga apabila ada kaum muslimin yang membutuhkan, mereka tidak perlu belajar dahulu dengan cara mempelajari kitabulloh karena bisa jadi kalau mereka belajar sendiri akan salah.

- Taqlid :
Perkara taqlid ini telah disepakati oleh Ahlussunnah, Asy-‘ariyah, dan Maturidiyah, tetapi ada perbedaannya, yaitu :

Ahlussunnah :
è Kalau Ahlussunnah mewajibkan mengenal Alloh dengan dalil syar’i, baru dengan dalil kauni (dalil yang berasal dari alam).
è Ahlussunnah landasannya Al Qur’an dan Hadits dengan pemahaman salafush sholih

Ahlul Bid’ah (Asy-‘Ariyah dan Maturidyah) :
è Mengenal Alloh dengan melihat pada alam ini (dalil kauni)
è Landasannya dengan akal. Kaidah mereka jika terjadi pertentangan antara syari’at dengan akal, maka akal yang didahulukan.


...................


A. Bersikap Rohmat dalam Menyampaikan Ilmu

- Setelah membaca bismillaahirrohmanirrohiim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh mengatakan,

 …. اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ 
“ Ketahuilah, semoga ALLOH merohmatimu … “


- Kata Syaikh Al Utsaimin rohimahulloh dalam syarohnya menjelaskan maknanya adalah semoga Alloh mengampuni dosa yang telah lalu dan memberi taufiq kepadamu untuk beramal dimasa depan dan menjagamu dari dosa-dosa dimasa depan. Ini termasuk makna rohmat.

- Jadi, ketika kita mendo’akan rohmat kepada saudara kita, artinya kita mendo’akan agar dosa-dosannya diampuni dan diberi tafiq untuk beramal dimasa depan dan diberikan penjagaan dari dosa-dosa dimasa depan. Inilah makna rohmat yang diinginkan dari seorang hamba


 ~ Pelajaran Penting yang bisa Kita Ambil ~

1. Peringatan yang sangat agung bahwasanya ilmu itu dibangun diatas sikap lemah lembut dan kasih sayang kepada para pelajar dan orang-orang yang menginginkan kebaikan sebab ilmu itu asalnya adalah DAKWAH dengan kelembutan. Demikian pula hasil dari ilmu adalah rohmat alasannya :

è Ilmu itu dibangun diatas rohmat,
è Hasilnya akan meraih rohmat Alloh di dunia,
è Tujuannya adalah meraih rohmat Alloh di akhirat kelak.

Oleh karena itu, para ‘ulama dahulu (khususnya kalangan Al-Muhadittsun) jika mereka ingin memberikan ijazah periwayatan hadits, maka mereka akan mulai dengan membawakan hadits berkaitan dengan rohmat, yaitu hadits riwayat Abu Dawud dari Abdulloh bin ‘Amr rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi oleh Ar-Rahman (Alloh). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” 

(HR. Abu Dawud)


Hadits ini biasanya diriwayatkan pertama kali oleh seorang muhaddits kepada muridnya ketika hendak memberi ijazah periwayatan. Dia ajarkan hadits yang pertama itu kepada muridnya sebab mereka memahami bahwa ilmu itu dibangun diatas rohmat. Sebagaimana para Nabi dan Rosul diutus dengan rohmat, hasilnya adalah rohmat di dunia, dan tujuannya adalah rohmat Alloh di akhirat.

Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Surga dan neraka berselisih. Neraka berkata, “Yang masuk ke dalamku adalah orang-orang yang sombong lagi takabbur,” sementara surga berkata, “Yang masuk ke dalamku adalah orang-orang yang lemah lagi miskin.” Maka Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman kepada neraka, “Engkau adalah siksaan-Ku yang denganmu Aku menyiksa siapa yang Aku kehendaki.” Dan Dia berkata kepada surga, “Engkau adalah rohmat-Ku yang denganmu Aku merohmati siapa yang Aku kehendaki. Dan setiap dari kalian ada penghuni yang memenuhinya.” 

(HR. Muslim, No. 2846)


Hadits diatas sampai dikenal dengan nama Al-Hadits Al-Musalsal bi Al-Awwaliyah, yaitu hadits yang selalu bersambung dengan periwayatan pertama karena setiap kali muhaddits menyebutkan hadits tersebut dan didengar oleh para muridnya, mereka akan berkata, “Ini adalah hadits yang pertama kali aku dengar dari guruku.” Hal itu menunjukkan perhatiannya para ‘ulama bahwa ilmu itu DIBANGUN diatas sikap lemah lembut dan rohmat bagi muta’allimin (orang yang belajar)






Termasuk kesalahan besar jika kita tidak bersikap rahmat dalam mengajarkan dan dalam menyebarkan ilmu. Apabila kita mulai dengan kata-kata yang kasar, maka, hal yang seperti ini tidak menunjukkan azaz yang benar dalam menyebarkan ilmu, yaitu rahmat (kasih sayang) kepada muta’allimin.

Apabila ada orang yang baru mengaji, pakaiannya belum sesuai syari’at, lalu orang itu diperlakukan tidak baik. Hal yang seperti itu juga termasuk tindakan yang kurang hikmah dalam menyebarkan ilmu. Seharusnya orang yang baru belajar, dilembutkan hatinya sehingga ada kecintaan kepada Ahlul ‘Ilmy. Bukan malah membuatnya lari dari dakwah.

Termasuk dosa besar, apabila seseorang mengira dia telah menyebarkan ilmu, tapi pada hakikatnya dia telah membuat orang lain lari dari ilmu karena kebodohan mereka. Kata ‘ulama bahwa orang tersebut berbuat kerusakan dari arah yang dia sangka dia telah berbuat kebaikan. Semangat, tetapi tanpa ilmu.

Dan memulai pembicaraan dengan hal yang baik akan membuat orang yang mendengarnya dapat menerima perkataannya. Menerima Al haq adalah berat sebagaimana perkataan Syaikh Al-Albani rohimahulloh,

“AL-HAQ itu berat diterima oleh hati sehingga jangan engkau tambah dengan sikap yang kasar, sikap yang tidak baik sehingga menambah berat orang-orang dalam menerima kebenaran.”





Pada dasarnya Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci hawa nafsu, sebaliknya Neraka diliputi oleh hal-hal yang disenangi hawa nafsu. Oleh karena itu, jika seseorang sudah merasa berat dalam menerima kebenaran, maka jangan kita tambah dengan sikap kita yang semakin memberatkan mereka. Kita mengira telah memberikan hidayah kepada orang lain, ternyata justru kita telah menjadi sebab orang lain tersesat. Bahkan yang lebih parah apabila kita merasa bahwa itu bagian dari dakwah.

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, rodhiyallohu ‘anhu dan penting untuk diingat oleh para penuntut ilmu, “Yassiroo, wa laa tu'assiroo, wa bassyiroo, wa laa tunaffiroo (mudahkanlah dan jangan mempersulit, dan berilah kabar gembira dan jangan membuat lari)”.



B. Makna Ta’allum

- Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh berkata,


  أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَ تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ 
“… Wajib atas kita mempelajari 4 perkara … “


- Maknanya adalah tidak boleh tidak mempelajarinya karena meninggalkannya dosa,

- Syaikh Sholih Al-Fauzan hafidhohulloh berkata ketika menjelaskan perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diatas, “Wajib atas kita belajar”, yaitu dari kata ta’allum yang maknanya :

è mengambil ilmu dari para ‘ulama,
è menghafalnya,
è memahaminya, dan
è menguasainya,

- Itulah makna dan hakikat ta’allum secara syar’i. Ada pun hanya sekedar membaca buku, mendengarkan kaset, itu bukan makna ta’allum, tetapi hanya sekedar penunjang ta’allum karena ta’allum yang sesungguhnya dari para ‘ulama, menghafal, memahami, dan meguasainya.

- Hendaknya pula seseorang dalam belajar melihat dengan siapa dia berguru dan tidak bersembarangan setiap orang ia jadikan guru, seperti mengambil ilmu hanya dari ‘ulama Ahlussunnah. Ibnu Sirin rohimahulloh berkata, “Sesungguhnya ilmu adalah agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa engkau mengambilnya.”

- Al Imam Ibrohaim An-Nakha’i (seorang ‘ulama tabi’in dan murid Abdulloh bin Mas’ud) berkata,




“Dahulu para ‘ulama ketika mereka akan belajar, maka yang pertama kali mereka lihat adalah sholatnya, ittiba’nya kepada Sunnah, dan adabnya, 
Jika sesuai sunnah, maka mereka mengambil ilmu darinya. Jika tidak, maka mereka meninggalkannya.”



- Sholat adalah perkara yang mudah dilihat dan mudah diketahui. Kalau setelah mereka belajar, kemudian nampak penyimpangan aqidah dari gurunya yang bisa mengeluarkannya dari Ahlussunnah, mereka tidak akan segan-segan meninggalkannya bahkan mentahdzir (memperingatkan) gurunya sendiri.




C. Faidah dari Kisah Al Hasan bin Sholih bin Hayy

- Imam Adz Dzahabi rohimahulloh dalam Siyar A’lam An-Nubala ketika menjelaskan Al Hasan bin Sholih bin Hayy bahwa beliau ini adalah muhaddits, faqih, zahid (tidak tamak), al-‘abid, dan berbagai keutamaan lainnya terkumpul padanya. Tapi, pada suatu hari muncul SATU penyimpangan darinya yang mengeluarkannya dari lingkup Ahlussunnah, yaitu beliau membolehkan memberontak kepaka kaum muslimin yang ini merupakan manhajnya kaum Khawarij sehingga para ‘ulama yang dahulu mengambil hadits, fiqih darinya meninggalkan majelis beliau, seperti Imam Ats Tsauri rohimahulloh.

- Imam Ahmad bin Yunus berkata, “Aku duduk belajar kepadanya selama 20 tahun. Tidak pernah aku melihat wajahnya menghadap ke langit karena saking takutnya beliau kepada Alloh. Tetapi, karena SATU penyimpangan darinya yang membuatnya keluar dari Ahlussunnah, maka para ‘ulama yang dahulu belajar kepadanya, pergi meninggalkannya.”


Padahal kata Imam Adz Dzahabi rohimahulloh bahwa seumur hidup Al Hasan bin Sholih bin Hayy tidak pernah memberontak kepada kaum muslimin dengan senjata. Hanya saja beliau memberontak dengan pemahamannya sehingga para ‘ulama meninggalkan majelis beliau.


- Dan diriwayatkan dari Waqi' ibn Jarroh ibn Mulih rohimahulloh, “Jika dalam suatu periwayatan hadits sampai pada riwayat Al Hasan bin Sholih bin Hayy, maka seketika para murid menutup bukunya. Tidak mau mencatat karena pemahaman beliau yang membolehkan mengangkat pedang kepada umat Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.”

- Oleh karena itu, belajarlah kepada ulama Ahlussunnah karena ini merupakan makna ta’allum sesungguhnya. Tidak setiap orang bisa kita ambil darinya ilmu.



D. Empat Perkara yang Wajib Kita Pelajari

- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh ketika berkata, “Annahu yajibu ‘alaynaa ta’allum arba’i masaa’il, al ‘ulaa, al ‘ilm wa huwa ma’rifatullooh, wa ma’rifatu nabiyyah, wa ma’rifatu diinil islaam bi adillah.”

- Artinya : Wajib atas kita mempelajari 4 perkara, yang pertama adalah ilmu, yaitu :

1. Ilmu mengenal ALLOH,
2. Ilmu mengenal Nabi-NYA
3. Ilmu mengenal Islam dengan dalil-dalilnya

- Dari situ pelajaran yang bisa kita ambil : Menuntut ilmu adalah WAJIB bagi setiap muslim dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang Alloh, agama-NYA, Nabi-NYA, Bukan ilmu dunia.




Al-Qur’an, Hadits yang memuji keutamaan ilmu, majelis ilmu, ahlul ‘ilmy, semua pujian tersebut mengarah kepada pujian terhadap ilmu syar’i apabila penyebutan tersebut datang dalam bentuk mutlak (tidak disebutkan ilmu apa).

Contoh :
“Sesungguhnya para ‘ulama adalah pewaris para Nabi.” è tidak disebutkan ilmu apa

“Alloh mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.” è tidak disebutkan

“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, …” è tidak disebutkan

“Katakanlah, Wahai Muhammad, ‘Wahai Robbku, tambahkanlah ilmuku.” (QS. Thoha) è tidak disebutkan



- Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh berkata tentang ayat dalam suroh Thoha diatas bahwa hal ini sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu sebab Alloh tidak memerintahkan Nabi-NYA, melainkan agar diberi tambahan ilmu. Bukan meminta tambahan ilmu dunia karena mereka tidak berdosa dan tidak akan dimintai pertanggungjawaban jika tidak mempelajarinya.

- Alloh subhanahu wa Ta’ala juga mencela sifat orang kafir dalam salah firman-NYA,


“Mereka hanya mengetahui yang lahirnya (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka terhadap (kehidupan) akhirat adalah lalai.” 

(QS. Ar Ruum : 7)


- Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’ bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Sesungguhnya ALLOH membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia, namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” 

(Shohih Jami’ Ash-Shogir)


-  Ilmu agama itu bukan hanya sekedar pengetahuan belaka, tapi harus disertai dengan ketundukan. Maknanya :

1. Dengan Ketundukan 
Mengenal Alloh harus disertai ketundukan kepada-NYA, mengenal Nabi-NYA disertai dengan kita ittiba’ kepadanya, mengenal Islam disertai dengan pengamalan. Kalau hanya sekedar mengetahui jalan-jalan kebaikan, tanpa beramal, maka akan seperti kisahnya Abu Tholib. Beliau –mungkin- lebih banyak mengetahui jalan-jalan kebaikan, mentauhidkan Alloh dibandingkan kita. Tatkala Abu Tholib dahulu berjumpa dengan pendeta Bahiroh yang memberitakan kenabian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan perintah untuk membawa Muhammad saat kecil, maka Abu Tholib pun mempercayainya dan sepanjang hidupnya beliau jaga dan beliau rawat keponakannya tersebut. Beliau pun juga mengetahui kebenaran ajaran Islam. Akan tetapi, ilmunya tentang ALLOH, tentang Nabi-NYA, tentang Islam, tidaklah bermanfaat sama sekali karena tidak disertai dengan ketundukan kepada Alloh, ittiba kepada Nabi-NYA, dan mengamalkan Islam dengan dalil-dalilnya. Maka, pada akhir hidupnya, Abu Tholib pun tetap dalam kekafirannya. Pelajaran penting yang bisa kita ambil disini :




Sesungguhnya ilmu agama tidak akan bermanfaat hingga seseorang mengamalkannya berdasarkan dalil-dalilnya, bukan hanya sekedar taqlid (ikut-ikutan) semata. Sebagaimana kata ‘Ulama, “Sesungguhnya taqlid itu tidaklah bermanfaat bagi Aqidah seseorang.”




2. Mengamalkannya
Ini merupakan kewajiban ke-2. Mengamalkan ilmu yang sudah kita ketahui dan untuk inilah para Nabi diutus. Dalam Suroh At-Taubah Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, “ Dialah ALLOH  yang mengutus Rosul-NYA dengan Al-Huda (ilmu), wa diinil haq (amal).” Jadi, Alloh mengutus agama ini dengan ilmu dan amal. Para ‘ulama menjelaskan bahwa manusia di bumi ini hanya terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :

1.) Orang yang belajar dan mengamalkannya è Para Nabi dan Rosul serta orang-orang yang mengikuti mereka
2.) Orang yang mempunyai ilmu, tapi tidak diamalkan è Yahudi dan pengikutnya
3.) Orang yang beramal tanpa ilmu è Nashrani dan pengikutnya



E. Tasyabbuh Kepada Yahudi dan Nashrani

- Pentingnya permasalahan ilmu hingga Alloh perintahkan kepada hamba-NYA untuk meminta ilmu, mengamalka, serta menjauhkan kita dari orang berilmu, tapi tidak mengamalkan ilmunya dan orang yang beramal, tapi tanpa didasari dengan ilmu.

- Kita memohon hal diatas sebagaiman yang kita lakukan minimal 17x dalam sehari, yaitu pada ayat Suroh Al-Fatihah,



“ Ihdinash shiroothol mustaqiim, shiroothol ladziina an'amta alayhim ghoiril maghduubi ‘alayhim walaadh dhooliin”
(Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat)



- Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka è Yaitu jalannya para Nabi, para Rosul, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Syuhada, Ash-Shiddiq, Ash- Sholihin.

- Jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat è Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang apa yang dimakusd dengan orang-orang yang dimurkai, maksudnya adalah Yahudi

- Jalan orang-orang yang sesat è Orang-orang yang sesat, yaitu Nashrani. Kata Rosululloh, “ Siapa lagi kalau bukan mereka???? ”

- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh menjelaskan dalam Iqtido Shirothol Mustaqim

Sebab dimurkainya Yahudi è karena berilmu, tapi tidak beramal hingga mereka mengetahui Rosul-rosul mereka sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri.

Sesatnya Nashrani è karena mereka beramal tanpa ilmu sehingga muncul kebid’ahan sampai-sampai kebidahan Rosulnya (Nabi Isa ‘alahissalaam) yang diutus kepada mereka dijadikan sebagai sembahan selain ALLOH karena mereka beramal dengan taqlid (sekedar ikut-ikutan saja) kepada ahli ibadah dan ‘ulama-‘ulama mereka. Jadi, bukan dengan ilmu, melainkan dengan kebodohan.



F. Penutup

Siapa saja yang memiliki ilmu tetapi tidak diamalkan, sesungguhnya dia telah TASYABBUH kepada Yahudi …

Siapa saja yang melandaskan amalannya, tanpa didasari oleh ilmu, sesungguhnya dia telah TASYABBUH kepada Nahsrani …

Buah dari ILMU adalah AMAL …

Sebagaimana ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu berkata,



“ Ilmu itu selalu memanggil amalan. Jika panggilan ini dijawab, maka ilmu itu akan tetap pada diri seseorang. Kalau tidak, maka dia akan  pergi meninggalkan.”
[Iqtidhoo’ Al-‘Ilmi Al-‘Amal, No. 40]





[Faidah dari Al Ustadz Sofyan Cholid bin Idham Ruray hafizhohulloh dalam Pembahasan “Tsalatsatul Ushul wa Adillatuha”, 2012]
____________________________________________________________

Rekaman Tsalatsatul Ushul lainnya :

1 komentar:

Maktabah At-Tamimi mengatakan...

assalamu'alaikum..Blog yang menarik..
jangan lupa mampir ke Maktabah At-Tamimi :Blog Khusus mengulas karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab