Senin, 24 Februari 2014

Sepuluh Wasiat untuk Menguatkan Hafalan dan Mengobati Lupa

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ



.. Catatan Dars ...
Kutaib ‘Asyru Washooya li Quwwatil Hifzh wa ‘Ilajih Nisyan

..................................................

A. Pendahuluan

- Menghafal ilmu adalah perkara penting yang dituntut pada setiap penuntut ilmu. Ilmu akan terjaga dengan menghafalnya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang ada dalam dada para ‘ulama adalah ayat-ayat yang bayyinah (jelas dan terang) dan kebenaran adalah ayat-ayat yang bayyinah yang ada dalam dada orang-orang yang berilmu.

"Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim." [QS. Al-Ankabut : 29]

Jadi, ilmu itu menjadi sesuatu yang bayyinah ketika berada dalam dada, dipahami, dan dihafal oleh seorang hamba.

- Para generasa sahabat terbiasa dengan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Pembukuan Al-Qur’an baru dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq. Setelah terkumpul, diserahkan kepada khalifah berikutnya, yaitu ‘Umar bin Khottob, lalu disimpan di rumah Hafshoh binti ‘Umar, dan pada masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan lebih dilengkapi kembali pembukuannya dan dikenal dengan nama Mushaf Utsmani. Tujuan pembukuan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf agar mudah dibaca dan dihafalkan.

- Hafalan kita terhadap ilmu menjadi ukuran tingkatan kita dalam ilmu.

- Dalam sebuah sya’ir, “Ilmuku selalu bersamaku. Pergi ke mana pun saya, dia selalu mengikutiku. Perutku penjagaanku terhadap ilmu (maksudnya ilmu disimpan di dalam diri, bukan di buku). Jika saya di rumah, ilmuku bersamaku. Jika saya di pasar, ilmuku juga berada di sana.”

- Imam As-Shon’ani berkata, “Jika kamu mempunyai ilmu, tapi ilmu tersebut tidak menemanimu sampai ke kamar mandi, maka jangan kamu anggap sebagai ilmu.” Maksudnya ilmu yang dihafal akan menyertai dirinya dimana pun dia berada. Berbeda dengan kitab, tidak boleh sampai dibawa ke kamar mandi.

- Al-Khotib Al-Baghdadi dalam Al-Jami' li Akhlaq Al-Rowi wa Adab Al-Sami' menukil perkataan As-Salaf, “Ilmu bukanlah yang tersimpan di dalam lemari, tapi ilmu tiada lain adalah yang terkandung didalam dada.” Ilmu yang tersimpan di dada memiliki kemuliaan, kebanggaan, perhiasan yang sangat istimewa, dan kadar yang tinggi bagi pemiliknya.

- Imam Al-Barbahari rohimahulloh berkata, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat dan kitab, tapi ilmu adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, walaupun sedikit.”

- Hafalan yang terpuji adalah hafalan yang bermanfaat untuk dirinya. Termasuk perbuatan tercela orang yang memiliki banyak hafalan, tapi menyelisihi perkara tauhid. Demikian pula, orang yang menghafal, tapi tidak memahami apa yang dia hafalkan. Contoh : Hafal Al-Qur’an, tapi tidak memahami isinya. Pada sebagian negara banyak orang yang mampu menghafal Shohih Bukhory, tapi mereka tidak memahami maknanya. Lalu, mereka keluar berfatwa dan fatwanya sendiri banyak menyelisihi fatwa para ‘ulama.

- Secara umum ada yang sudah lama duduk di majelis ilmu bertahun-tahun, tapi banyak ilmu yang tidak melekat di dalam dirinya karena tidak dihafalkan. Syaikh Al-Utsaimin rohimahulloh berkata bahwa banyak buku yang sudah kami baca, tapi tidak ada satu pun yang tersisa, kecuali apa yang telah kami hafalkan.

- Hafalan yang baik akan membantu menghindari lupa dan menguatkan hafalan.


~~~000~~~



Wasiat ke-1 Wasiat selalu Mengingat Alloh, Berdzikir, dan Mengulangi hal tersebut.

- Ini merupakan wasiat penting bagi para penghafal yang merupakan salah satu sebab yang sangat kuat yang membawa seseorang memiliki hafalan yang kuat dan sedikit lupanya. Sekuat apa pun hafalan seorang ‘ulama, tetap tidak ada seorang ‘ulama pun yang tidak pernah luput dari sifat lupa. 

- Ibnu Main berkata, “Barang siapa yang berkata bahwa ada rowi yang tidak pernah salah, maka sungguh dia telah berdusta.” Demikian pula ragu dalam permasalahan lafazh, seperti yang ada dalam riwayat Syu’bah Ibnu Hajjaj. Imam Malik juga pernah dikritik dalam riwayat beliau sampai Imam Daruquthni menulis riwayat dimana Imam Malik bersendirian dalam periwayatannya. Kekeliruan dan kelupaan adalah tabiat manusia. Lupa juga merupakan penyakit yang tidak akan bisa hilang, Mengobati lupa yang dimaksud disni adalah mengurangi hal-hal yang bisa membuat seseorang cepat lupa sehingga tidak mengganggu hafalannya.




Berdzikir (mengingat) Alloh dengan 2 hal, yaitu :

1.) Selalu memperbarui niatnya dan mengikhlaskan hanya untuk Alloh semata. 
Awal kali belajar, mungkin niatnya baik, tapi di pertengahan jalan bisa jadi dia mulai ditimpa penyakit syubhat, syahwat, godaan dunia sehingga mulailah terjadi perubahan dalam niatnya, seperti ingin terlihat lebih pandai, tidak ingin diremehkan, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan perkara yang menganggu niat seorang hamba dan hendaknya seorang hamba selalu memperbaiki dan mengulangi natnya. Al-Khotib Baghdadi mengutip perkataan Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu, “Sesungguhnya masing-masing orang mampu menghafal sesuai dengan kadar niatnya.” Ikhlas adalah bagian dari tauhid dan tauhid itu sendiri bagian dari keberkahan seorang hamba.

2.) Memperhatikan dzikir-dzikir harian, baik yang sifatnya muthlaq (bisa dibaca kapan saja), maupun muqoyyadah (terikat dengan waktu).
"Dan, ingatlah Robb-mu apabila kamu lupa." [QS. Al-Kahfy : 24]. Barang siapa yang lupa, hendaklah dia berdzikir kepada Alloh. Termasuk di dalamnya mengikhlaskan niat hanya karena Alloh dan menjaga dzikir-dzikir hariannya, seperti dzikir setelah sholat (dia jaga, dia pahami, dan bukan sekedar membaca, lalu lewat), dzikir pagi dan petang, dzikir ketika akan tidur, setelah bangun tidur, saat keluar rumah, dan seterusnya dalam seluruh aktivitasnya. 

Seorang hamba yang berusaha memperbanyak dzikir kepada Alloh, maka hal itu akan menjadi sebab Alloh mengingat dirinya karena Al Jazaa’u min Jinsil ‘Aml (balasan sebanding dengan amalan).


“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian berbuat kufur.” [QS. Al-Baqarah : 152].

Dalam hadits qudsi, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Aku ini sesuai dengan prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya pula padanya dalam hati-Ku. Jika ia mengingat-Ku didepan umum, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta. Jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.’“ [HR. Bukhory, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi].


Seorang hamba yang mengingat Alloh, maka Alloh pun akan mengingatnya dan merupakan sebab ia diberikan kekuatan untuk menghafal.



Para ‘ulama menyebutkan dzikir kepada Alloh adalah sebab yang sangat kuat yang membantu hafalan dilihat dari 3 sisi, yaitu :

1.) Dari sisi hubungan hamba dengan Robb-Nya. 
Semakin dekat hubungannya kepada Alloh, maka akan semakin menambah kekuatannya, memudahkan datangnya pertolongan Alloh, menjauhkan dirinya dari gangguan Syaithon, seperti gangguan lupa dalam sholat, lupa berdzikir, lupa berbuat kebaikan, dan sebagainya. 

Syaithon paling banyak menganggu anak Adam dalam hafalannya sebagaimanya kisahnya Nabi Musa ketika beliau hendak menjumpai Nabi Khidir ‘alaihimussalaam. Nabi Musa membawa seorang pemuda dan sekeranjang berisi ikan sebagai petunjuk. Apabila ikan tersebut melompat di tempat bertemunya dua lautan, berarti beliau telah sampai ditempatnya Nabi Khidir. Akan tetapi, ketika ikan tersebut melompat dan pemuda tersebut melihatnya, syaithon membuatnya lupa sehingga pemuda tersebut baru menyadari ikan-ikan telah melompat ketika mereka telah berjalan jauh meninggalkan tempat tersebut. Maka, pemuda itu pun berkata, “Ingatkah engkau ketika kita berada di batu besar dan tidak ada yang membuat kita melupakannya, melainkan syaithon lah yang melakukannya.” 


Kisahnya Nabi Yusuf ‘alaihisallaam yang dipenjara dalam kurun waktu sampai 9 tahun lamanya karena seorang pelayan yang berhasil ia takwil mimpinya lupa untuk menyampaikan kabar tentang Nabi Yusuf kepada Raja apabila si pelayan tersebut berhasil keluar dari penjara. Takwil mimpi adalah ilmu yang seharusnya membekas didalam hati pelayan itu karena mukjizat yang Alloh berikan kepada Nabi Yusuf. Tetapi, Syaithon membuat pelayan tersebut lupa sehingga Nabi Yusuf tetap di penjara bertahun-tahun lamanya.

“Syaithon telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Alloh. Mereka itulah golongan syaithon. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaithon itulah golongan yang merugi.” [QS. Al-Mujadilah : 19]


“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), kami adakan baginya syaithon (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” [QS. Az-Zukhruf  : 43]

Oleh karena itu dzikir adalah sebab yang kuat yang membantu seorang hamba memiliki hafalan yang baik. Hamba yang berakal akan menjaga kedekatannya kepada Alloh. Dia akan menjaga agar jangan sampai syaithon membuka peluang untuk memisahkan antara dirinya dengan jalan Robb-Nya.


2.) Dzikir adalah sebab utama yang  membuat hati seorang hamba menjadi tenang dan sejuk jiwanya. 
Hafalan itu sendiri paling baik jika dilakukan dalam kondisi tenang. Contoh : menghafal diwaktu shubuh tentu berbeda dengan menghafal diwaktu siang.

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Alloh. Ingatlah hanya dengan mengingat Alloh hati menjadi tenang." [QS. Ar-Ro’du : 28]

Hati yang tenang merupakan sebab utama kuatnya hafalan, sebab kokohnya ilmu tertanam di jiwa. Berbeda dengan orang yang kondisi pikirannya bercabang, maka hafalan itu akan sulit dia lakukan.

"Alloh tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya." [QS. Al Ahzaab : 4]
Sesibuk apa pun kita, tetap sempatkan untuk berdzikir karena berdzikir membuat hati kita tenang dan mendatangkan kekuatan untuk menjalankan aktivitas kita.


3.) Dzikir membantu seseorang memperoleh kekuatan badan dan hati yang diperlukan seorang penuntut ilmu. 
Seorang penuntut ilmu selayaknya memperbanyak dzikir. “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [QS. Nuh: 10-12] è Istighfar merupakan bentuk dzikir.

“Dan Alloh menyukai orang yang berbuat baik dan orang-orang yang apabila berbuat kekejian atau zalim kepada diri sendiri, maka ia segera ingat kepada Alloh, dan beristighfar kepada Alloh atas dosa-dosanya. Dan siapakah yang lebih mengampuni dosa selain Alloh? Kemudian, dia tidak meneruskan perbuatannya, meskipun dia mengetahuinya.” [QS. Ali Imran : 134-135]

Maka, dzikir inilah yang memberi keuatan, baik di hati maupun di badan. Kisahnya Fathimah rodhiyallohu ‘anha yang mendatangi Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan tangannya yang melepuh karena banyak bekerja. Beliau meminta kepada Nabi agar diberikan seorang khodim yang membantunya bekerja.  Maka, Nabi pun berkata, “Maukah kuberitahukan pada kalian sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Apabila kalian mulai berbaring di pembaringan kalian, bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali.” [Muttafaqun ‘alaih]

Sejak saat itu ‘Ali bin Abi Tholib dan Fathimah tidak pernah lagi mengeluhkan keadaan mereka. Bahkan ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu dalam perang khaibar, beliau satu-satunya sahabat yang mampu membuka benteng Khaibar dengan tangannya.

Dalam biografi Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim berkisah dalam Al-Wabil Ash-Shoyyib bahwa Ibnu Taimiyah senantiasa berdzikir hingga matahari naik ke pertengahan. Ketika Ibnu Taimiyah ditanya mengapa beliau melakukan hal itu, beliau berkata, “Ini adalah waktu pagiku, waktu makanku. Jika aku tidak melakukannya, maka akan jatuh kekuatanku.” Kemudian, kata Ibnu Qoyyim, “Saya pernah melihat bagaimana Ibnu Taimiyah membela sunnah, beliau menakjubkan dalam hal menulis, dalam 1 hari beliau mampu menulis kitab yang ditulis oleh penulis lain dalam waktu 1 pekan, dan juga keistimewaan beliau dalam hal perangai. Itu semua merupakan pengaruh dari dzikir-dzikir beliau.” Demikian pula para sahabat dalam Perang badar yang menghadapi lebih dari 10.000 pasukan .

“Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertemu sekelompok pasukan musuh maka tetaplah kamu ditempat itu dan banyaklah berdzikir supaya kalian menang.” [QS. Al Anfaal :45]



Wasiat ke-2 : Menjauhi Dosa dan Maksiat.

- Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu berkata dalam riwayat Baihaqi, “Saya menyangka seorang laki-laki lupa terhadap ilmunya karena sebuah dosa yang dia lakukan.”

- Sebagian Salaf berkata, “Harom pada hati yang di dalamnya ada perkara yang dibenci Alloh dan harom pula cahaya ilmu untuk masuk ke dalamnya.”

- Sebagian guru pernah melihat sebgaian muridnya melakukan kemungkaran. Lalu, guru tersebut menegurnya dan mengatakan, “Kamu akan merasakan akibatnya, walaupun suatu hari nanti.” Ucapan guru tersebut diingat oleh muridnya hingga suatu hari ia mendapati dirinya lupa terhadap Al-Qur’an akibat besarnya dosa yang pernah ia lakukan.

- Bertaubat dan menjauhi dosa adalah hal yang penting bagi para penuntut ilmu.

- ”Bertaqwalah kepada Alloh. Alloh akan mengajari kalian.” [QS. Al-Baqoroh : 282]. Ayat ini didahului dengan ketaqwaan. Ketaqwaan merupakan sebab yang kuat untuk menambah kekuatan. Dalam ayat lain, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa kepada Alloh, niscaya Alloh akan menjadikan untuk kalian furqon.” [QS. Al-Anfal : 29]. Kalau seorang hamba diberikan furqon, maka hal itu merupakan modal yang sangat besar untuk menjaganya hafalannya.

- Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh, maka Alloh jadikan dalam perkaranya kemudahan, termasuk menghafal. Hendaknya penuntut ilmu selalu menjaga dirinya diatas ketaqwaan. Makna ketaqwaan itu luas dan perlu kita mencermati lebih jauh kandungan maknanya, Tapi, ketaqwaan yang dimaksud di sini terkait menjauhi dosa dan maksiat.

- Penting untuk mempelajari bagaimana ketaqwaan para Nabi dan Rosul sebagai pelajaran bagi kita. Nabi orang yang paling jauh dari dosa. Ada point penting disini bahwa para ‘ulama adalah pewaris para nabi. Ilmu adalah warisan Rosululloh. Apabila kita ingin mendapat warisan para Nabi, maka warisan itu hanya didapat oleh yang mempunyai hubungan darah / kekerabatan / pernikahan dengan Nabi (terkait dengan hukum warisan itu sendiri). Oleh karena itu, kalau kita ingin mendapatkan warisan para Nabi, ingin mendapatkan ilmu para Nabi, maka ikutilah jalan para Nabi dan Rosul.

- Kalau seseorang jujur benar-benar ingin mencari ilmu, maka akan dia tinggalkan dosa dan maksiat.

- Syaikh Al-‘Utsaimin rohimahulloh berkata, “Dalil yang menunjukkan dosa dan maksiat dapat membuat seseorang lupa dari ilmunya adalah firman Alloh dalam  QS. Al-Maidah ayat 13, yaitu tentang orang-orang Yahudi dimana mereka melanggar perjanjian mereka, maka Alloh melaknat mereka, menjadikan hati-hati mereka keras dan mereka pun lupa dari bagian ilmu yang sudah mereka ingat sebagaimana Bisyr bin Harits berkata, “Apabila engkau ingin mendapatkan ilmu, maka janganlah engkau berbuat maksiat.”

- Imam Syafi’i pernah mendatangi Waqi’ ibnu Jarroh. Waqi’ adalah seorang imam besar dan kuat hafalannya. Imam Ahmad berkata sebagai bentuk kekaguman beliau kepada Waqi’. Kata beliau, “Hafalannya Waqi’ memang sudah tabiat dia, adapun kita takalluf (harus dipaksa terlebih dahulu) baru bisa menghafal.” Imam Syafi’i mengeluhkan hafalannya yang buruk. Kalau Imam Syafi’i saja mengeluhkan buruknya hafalan beliau ditengah berbagai keutamaan yang beliau miliki, lalu bagaimana dengan kita? Sedemikanian rupa beliau mengatakan jeleknya hafalan beliau. Dalam sebuat riwayat Imam Malik beliau berkata, “Saya pernah duduk di depan Imam Syafi’i dan ketika itu saya sedang membaca. Saya pun merasa kagum dengan dengan daya tangkap Imam Syafi’i. Pemahamannya sangat lengkap. Maka, saya pun berkata kepadanya, ‘Saya melihat Alloh telah memberikan cahaya dihatimu, maka janganlah sekali-kali engkau padamkan dengan cahaya maksiat.”



Wasiat ke-3 : Beramal dengan Ilmu yang telah Dia Pelajari

- Tampak dari dua sisi tentang pentingnya mengamalkan ilmu yang dia pelajari sehingga membantu menguatkan hafalan, yaitu :

Sisi pertama : Alloh akan menambah karunia-NYA untuk orang yang mengamalkan ilmu yang dia ketahui dan juga Alloh akan mengajarkan ilmu lain yang sebelumnya tidak dia ketahui.
Alloh menambah keutamaan kepada seorang hamba dengan sifat pemurah-Nya dan kepada siapa yang Alloh kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Sebagian Salaf berkata, “Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang dia pelajari, maka Alloh akan mewariskan kepadanya ilmu yang sebelumnya tidak ia ketahui.” 

Ilmu adalah pohonnya, sedangkan amalan adalah buahnya. Ilmu dipelajari untuk diamalkan. Amalan itu sendiri tidak akan sah tanpa adanya ilmu. 


Orang yang pertama kali ditanyakan di akhirat dan dipanggang tubuh mereka di Neraka adalah orang yang berilmu, tapi tidak diamalkan. ‘Alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka dia akan disiksa sebelum para penyembah berhala disiksa sebagaimana dalam hadits orang semacam ini termasuk satu di antara tiga orang yang pertama kali dijadikan sebagai bahan bakar untuk menyalakan api neraka.


Dalam hadits Abu Barzah, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” [HR. Tirmidzi 2341]

Berindunglah kepada Alloh dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ilmu yang hakikatnya tidak memiliki manfaat untuk manusia (sihir dan semisalnya) dan ilmu yang tidak diamalkan.


Sisi kedua : Orang yang menghafal, lalu dia amalkan ilmu yang dia pelajari, maka hal itu menjadi sebab kuat ilmu tersebut melekat di dalam dirinya.

“Jikalau mereka melakukan apa yang dinasehatkan kepada mereka (1), niscaya akan lebih baik bagi mereka dan memperkokoh (iman mereka) (2). Dan kalau memang demikian, niscaya Aku anugerahkan kepada mereka pahala yang agung (3) dan Aku tunjukkan mereka jalan yang lurus (4).” [Q.S. An Nisa’ : 66-68]

Ada 2 manfaat yang diperoleh oleh orang yang mengamalkan ilmunya, yaitu Keteguhan dan kekokohan ilmu è Dari sinilah letak derajat para ‘ulama.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Ilmu itu berbisik, berbicara, memanggil amalan. Kalau dia amalkan, maka ilmu itu akan tetap bersamanya. Jika tidak, maka dia akan pergi meninggalkan.” 

Waqi’ bin Jarroh berkata, “Saya tidak pernah melangkah di kehidupan dunia sejak 40 tahun lamanya. Saya dengar hadits dan belum ada satu pun yang terlupakan. Tidaklah saya mendengar sesuatu, kecuali saya amalkan.” 


Sebagian salaf juga berkata, “Kami mengambil pertolongan menghafal hadits dengan mengamalkannya.”


Orang yang belajar, yang jujur dalam belajarnya, ilmu yang dia pelajari akan tampak dalam kehidupannya sebab ilmu dipelajari untuk diamalkan, diamalkan untuk membantunya menguatkan hafalan, dan sebagai sebab yang mengantarnya kepada ilmu lain yang belum ia ketahui. Bisa dilihat dari para ‘ulama dimana mereka mengamalkan ilmunya dan tampak dalam dakwahnya. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak kegiatan ilmiah yang mereka lakukan dan semakin luas pula cabang ilmu yang mereka ajarkan.

Amalan bukti yang paling cukup untuk merekomendasikan seseorang. Dalam Al-Qur’an, Alloh Ta’ala berfirman, “Beramalah kalian. Alloh dan Rosul-NYA yang akan melihat.” Sebanyak apa pun rekomendasi orang lain, hal itu tidak akan berguna ketika dirinya tidak menunjukkan "kebersihan" ilmunya.

.

Wasiat ke-4 : Melatih Ingatan.

- Bukan dengan cara-cara instan karena menghafal apalagi berkaitan dengan ilmu agama adalah cahaya Alloh.

- Kunci melatih hafalan adalah tidak terpaku pada apa yang dia tulis dan dia rekam sebab orang yang ilmunya hanya mengandalkan rekaman atau tulisan, kemudian ada yang luput, maka dia akan berpikir bahwa tidak masalah saya lupa karena saya telah merekamnya. Secara kejiwaan  melatih seseorang untuk malas menghafal.

- Dahulu para ‘ulama ada yang tidak mau mendengar hadits sampai dua kali sebab hal itu bisa membuat hafalannya cengeng. Ada juga sebagian ‘ulama yang melatih muridnya dengan mencukupkan membacakan hadist satu kali saja. Kata Imam Az-Zuhri, “Mengulangi hadits lebih berat bagiku daripada memindahkan sebuah batu besar.”

- Melatih hafalan ada banyak metode. Secara umum, Alloh memberikan ketentuan, “Jadilah kamu seorang yang robbani, yaitu kamu mengajarkan Al Qur’an dan terus mempelajarinya.” [QS. Ali-Imron : 79]. Robbani, yaitu mengajarkan ilmu yang kecil sebelum yang besar. Contoh : menghafal hadits 1 baris atau 1 halaman, maka yang benar diambil nash yang ringkas dahulu. Besoknya naik lagi hadits yang sedang, terus demikian hingga akhirnya mampu menghafal teks yang panjang karena terbiasa. Apalagi jika ditambah paham bahasa Arab.

- Syaikh Muqbil rohimahulloh sebelum memulai pelajaran, beliau biasa menunjuk murid-muridnya mengulangi hadits yang telah dibaca kemarin. Ada sebagian murid yang awalnya merasa berat, tapi lama-lama menjadi mudah karena terbiasa. Syaikh menunjuk murid-muridnya untuk menghafalkan hadits lengkap matan dengan sanadnya. Ada murid yang belum menghafal, tapi karena dia sudah terbiasa menghafal, begitu orang didekatnya diminta untuk membacakan hadits, maka cukup dengan sekali dengar dia sudah bisa menghafal hadits tersebut. 

- Orang yang beranggapan ilmu itu sulit, berarti dia sudah kalah sebelum belajar. Harusnya dia mengganggap ilmu agama penuh keberkahan dan Alloh akan memudahkan siapa pun yang hendak memasukinya.

- Menghafal dengan panduan jam lebih cepat masuknya dan lebih konsentrasi.

- Lingkungan tempat tinggal yang dipenuhi dengan orang-orang yang menghafal berpengaruh kepada hafalan seseorang karena dia akan malu apabila dirinya tidak bisa menghafal sedangkan teman-teman lainnya bisa.



Wasiat ke-5 : Menulis Apa yang Dia Hafal.

- Menulis berulang kali apa yang telah dihafalkan agar lebih kuat hafalannya.

- Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.”

- Ucapan indah dikalangan para ‘ulama, “Ilmu adalah hewan buruan.”

- Dahulu belum ada mesin fotocopy sehingga jika para ‘ulama ingin memilki buku, maka mereka akan menyalinnya atau membelinya atau menyewa orang lain untuk menyalinnya. Ada pun dimasa sekarang, seiring kemajuan zaman dan mudahnya fasilitas dalam belajar, nikmat yang begitu berlimpah, tapi bersamaan dengan itu rasa malasnya juga berlimpah, lebih senang hal yang sia-sia, atau senang yang ribut-ribut.

- Contoh semangatnya para ‘ulama dalam menulis disamping menghafalkan ilmu :
è Ada ‘ulama yang menulis Shohih Muslim sebanyak 7 kali ;
è Ibnu Marzuq Al-Haromi menulis Jami’ At-Tirmidzi sebanyak 6 kali ;
è Ibnu Qois menulis Bukhory-Muslim, Sunan Abu Dawud sebanyak 7 kali, dan Sunan Ibnu Majah sebanyak 100 kali. Beliau juga pernah mengalami kencing darah 2 kali dalam perjalanan menuntut ilmu, serta menulis buku dengan tangannya sebanyak seribu jilid ;
è Ibnu Taimiyah menulis Sunan Abu Dawud sebanyak 6 kali.

- Dahulu para ‘ulama disamping memiliki hafalan yang bagus, mereka juga tetap menulisnya. Dan dahulu kemaksiatan belum sebanyak dimasa kini. Seharusnya kita yang memilki hafalan jauh dibawah mereka lebih bersemangat dan lebih sadar lagi untuk menulis karena terbatasnya hafalan kita.

- Kalau di Libya dan sekitarnya, para penghafal Al-Qur’an ketika menghafal tidak diberikan mushaf sebagai panduan. Caranya si penghafal diminta melihat mushaf 1 kali, lalu diberi papan untuk menuliskannya, lalu dibacakan dihadapan gurunya berkali-kali sampai benar, kalau sudah mereka diminta mengulang di suatu tempat berkali-kali, setelah itu mereka hapus tulisannya, dan tidak diperkenankan melihat selama mereka masih belajar disana è metode ini tidak semua orang cocok.

- Ada yang melihat mushaf dan bagian ayat yang tidak dihafal ditutup kertas agar lebih focus.



Wasiat ke-6 : Mudzakaroh (Mengulangi Ilmu).

- "Dan berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." [QS. Adz-Dzariyat : 55].


Mudzakaroh ada 3 cara, yaitu :

1.) Mudzakaroh dengan Diri Sendiri è Memberikan waktu khusus untuk mengulangi hafalannya dan dia jadikan hal itu sebagai wirid khususnya dimana tidak boleh ada orang yang mengganggunya saat itu.

2.) Mudzakaroh dengan Orang Lain è Dia mempunyai guru yang menagih hafalannya. Kalau tidak ada bisa mencari kawan dekat atau orang lain, tapi harus terprogram. Dahulu para imam jika saling berjumpa, maka mereka akan saling menanyakan apa yang telah kamu hafal hari ini dan mereka saling membacakan hafalannya. Jadi, dimasa dulu mereka menghafalkan juga memahami fiqh.

3.) Mudzakaroh dengan membuat Majelis Tajdid. Ini tambahan metode dari para ‘ulama. Jadi, si guru duduk di majelis ilmu, membacakan riwayat, lalu para murid menulis, dan diberi ijazah periwayatan kepada siapa yang menghafalnya. Contohnya :  Majelis Tajdid di Riyadh, ulama yang memiliki sanad teringkas pada Shohih Bukhory, Shohih Muslim, dan Kutubus Sittah, yaitu Asy-Syaikh Abdulloh ibn Abdul ‘Aziz Ibn Aqil rohimahulloh. Jadi, para murid membacakan riwayat beliau, lalu dibetulkan beliau jika terjadi kesalahan dan setelah itu diberi ijazah periwayatan hadits
- Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, Ibnu Main mengetahui siapa yang memiliki hafalan yang baik karena ketika guru duduk menyampaikan ilmu, murid telah menulisnya, menghafal, dan dari situ bisa menilai guru itu hafalannya baik atau tidak.



Wasiat ke-7 : Menceritakan Apa yang Dia Hafal

- Muroja’ah adalah memperdengarkan hafalannya untuk diperiksa, tapi kalau ini dia bercerita ilmu yang telah dia hafalkan. Misal : ketika berjumpa dengan temannya, dia berkata, “Apakah kamu mengetahui ilmu tentang hadits ini? Aku menghafalnya (dan seterusnya).” Hal yang seperti ini baik untuk dilakukan dikalangan penuntut ilmu.

- Syaikh Muqbil rohimahulloh ketika di jalan bertemu dengan muridnya, maka beliau sampaikan hadits dan muridnya diminta untuk menjawab baru dibolehkan jalan. Ini cara bagus untuk menguatkan hafalan dan bukan termasuk menyombongkan diri.

- Bertemu kawan di majelis bisa saling menyampaikan hadits, lalu menghafalnya. Berpisah sudah memiliki hafalan baru.



Wasiat ke-8 : Pandai Mengikat Hafalannya dengan Sesuatu.

- Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengajarkan ‘Ali bin Abi Tholib dalam riwayat Muslim sebuah do’a, “Berdoalah engkau, ‘Ya Alloh, berikan aku hidayah dan kelurusan (syadad) dan mintalah bersamaan dengan petunjuk itu agar engkau ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Ketika engkau diberi kelurusan, ingatlah lurusnya anak panah.” è Anak panah yang bengkok sedikit menjadi tidak tepat sasaran.  Disini Nabi mengajarkan untuk mengikat do’a itu dengan sesuatu agar mudah mengingatnya.

- Dari Abu Hurairoh rodhiyalloh ‘anhu, “Suatu ketika Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam berjalan di kota Makkah dan melewati sebuah gunung bernama Jamdan. Nabi pun berkata, “Berjalanlah! Itu adalah gunung jamdan. Telah sampai lebih dahulu para Mufariddin.” Para Sahabat bertanya, “Wahai, Rosululloh siapa mufariddin?”. Nabi menjawab, “Mufariddin adalah laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir kepada Alloh.” [HR.Muslim] è Nabi ingin menerangkan bahwa orang-orang yang paling depan adalah orang-orang yang paling banyak mengingat Alloh dan untuk memudahkan para sahabat mengingatnya, Nabi kaitkan dengan gunung Jamdan. Kalau suatu hari nanti sahabat melewati gunung setelah Jamdan, maka mereka akan mengingat sabda Nabi ini.

- Kalau sudah terbiasa menghafalkan dengan metode tertentu, lalu dirubah, biasanya akan mengacaukan hafalan.

- Dalam ilmu hadits, rowi yang bersendirian dalam meriwayatkan hadits, maka langsung didho’ifkan haditsnya. Contoh : Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhuafa, Ibnu Adi dalam Al-Kamil, Al-Khotib dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikhnya, Musnad Al-Firdaus karya Ad-Dailamy è ustadz memberi cara menghafalkan kelimanya dengan bait sya’ir



Wasiat ke-9 : Makanan yang Membantu Hafalan

- Contohnya : madu, kismis, luban (makanan di Tanah Harom), mencium bau harum, minum air zam-zam, hijamah. Nabi menyebutkan susu juga bisa mewakili makan dan minum.



Wasiat ke-10 : Kepandaian dalam Mengatur Waktu

- Pengaturan waktu ini penting terutama bagi penuntut ilmu pemula sebab banyak buku yang harus dia pelajari sehingga dia harus pandai mengatur waktunya. Contohnya : membagi Al-Qur’an menjadi 7 bagian yang dikenal dengan metode Fami’ bi Syauqin (mulutku selalu rindu membacanya). Tiap 7 hari dia khatam membacanya. 

Rinciannya :
Fa è Suroh Al-Fatihah è Hari ke-1 dari Al-Fatihah s.d Al-Maidah
Mim è Suroh Al-Maidah è Hari ke-2 dari Al-Maidah s.d Yunus
Ya è Suroh Yunus è
Ba è Suroh Al-Isro’
Sya è Suroh Asy-Syu’aro
Wa è Suroh Ash-Shoffat
Qof è Suroh Qof è Hari ke-7 dari Qof s.d An-Naas

Keterangan :
Dalam satu hari kurang lebih 4 juz. Lalu diperkirakan 1 juz mampu membaca berapa menit. Kalau hafalannya sudah lancar, dimuroja’ah dengan ukuran jam.. Jangan dengan ukuran dalam sehari mampu memuroja’ah berapa juz. Tapi, ddalam 1 jam saya mampu menghafal berapa juz.

- Hadits Arba’in è Kalau sudah hafal semuanya, diulang kembali misalnya sepekan sekali
.
- Butuh pengaturan metode menghafal supaya berhasil dan baik dalam hafalan.



B. Sesi Tanya Jawab 

1.) Sering lupa dengan ayat Al-Qur’an yang sudah dihafal è Sebab lupa karena tidak mengulangi hafalannya. Harusnya dia baca dalam sholat sunnahnya. Misalnya sholat Sunnah rowatib yang dilakukannya paling sedikit 8 roka’at. Dia bagi 1 juz menjadi 8. Jadi, muroja’ah bersama dengan sholatnya. Kalau sudah menghafal, tapi lupa, insya Alloh lebih mudah karena Al-Qur;an itu dimudahkan bagi yang menghafalnya.

2.) Metode menghafal ayat-ayat mutasyabihat è ada buku khusus berupa mandzumah untuk metode hafalan ayat-ayat yang mutasyabihat. Misalnya : buku karya Syaikh Abdul Muhsin, Mandzumah karya Imam As-Shohawi. Contoh : Mesti memahami bahwa semua ayat lafazhnya ‘alimun hakim, kecuali pada 5 tempat lafazhnya hakimun ‘alim. 


[Faidah dari Al-Ustadz Dzulqornain hafizhohullohu dalam Pembahasan "10 Wasiat Menguatkan Hafalan dan Mengobati Lupa", 2014]








___________________________________________________________________________

2 komentar:

Unknown mengatakan...

mas 'ala fadlikum, diberi daftar rujukannya juga. mengenai qoul para ulamanya. syukron katsir

Unknown mengatakan...

mas tolong antum beri daftar rujukannya, saya tertarik untuk membaca qoul ulama'nya..
syukron katsir