بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
.. Catatan Dars ...
Kutaib ‘Asyru Washooya li Quwwatil Hifzh wa ‘Ilajih Nisyan
Kutaib ‘Asyru Washooya li Quwwatil Hifzh wa ‘Ilajih Nisyan
..................................................
A. Pendahuluan
- Menghafal ilmu adalah perkara penting
yang dituntut pada setiap penuntut ilmu. Ilmu akan terjaga dengan menghafalnya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang ada dalam dada para ‘ulama adalah ayat-ayat yang
bayyinah (jelas dan terang) dan kebenaran adalah ayat-ayat yang bayyinah yang
ada dalam dada orang-orang yang berilmu.
"Sebenarnya, Al Quran itu adalah
ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada
yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim." [QS. Al-Ankabut : 29]
Jadi, ilmu itu menjadi sesuatu yang
bayyinah ketika berada dalam dada, dipahami, dan dihafal oleh seorang hamba.
- Para generasa sahabat terbiasa dengan
menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Pembukuan Al-Qur’an baru dilakukan pada masa pemerintahan
Abu Bakar As-Shiddiq. Setelah
terkumpul, diserahkan kepada khalifah berikutnya, yaitu ‘Umar bin Khottob, lalu disimpan di rumah Hafshoh binti ‘Umar, dan pada masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan lebih dilengkapi kembali
pembukuannya dan dikenal dengan nama Mushaf
Utsmani. Tujuan pembukuan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf agar mudah dibaca
dan dihafalkan.
- Hafalan kita terhadap ilmu menjadi
ukuran tingkatan kita dalam ilmu.
- Dalam sebuah sya’ir, “Ilmuku selalu
bersamaku. Pergi ke mana pun saya, dia selalu mengikutiku. Perutku penjagaanku
terhadap ilmu (maksudnya ilmu disimpan di dalam diri, bukan di buku). Jika saya
di rumah, ilmuku bersamaku. Jika saya di pasar, ilmuku juga berada di sana.”
- Imam
As-Shon’ani berkata, “Jika kamu mempunyai ilmu, tapi ilmu tersebut tidak
menemanimu sampai ke kamar mandi, maka jangan kamu anggap sebagai ilmu.”
Maksudnya ilmu yang dihafal akan menyertai dirinya dimana pun dia berada.
Berbeda dengan kitab, tidak boleh sampai dibawa ke kamar mandi.
- Al-Khotib
Al-Baghdadi dalam Al-Jami' li Akhlaq
Al-Rowi wa Adab Al-Sami' menukil perkataan As-Salaf, “Ilmu bukanlah yang
tersimpan di dalam lemari, tapi ilmu tiada lain adalah yang terkandung didalam dada.”
Ilmu yang tersimpan di dada memiliki kemuliaan, kebanggaan, perhiasan yang
sangat istimewa, dan kadar yang tinggi bagi pemiliknya.
- Imam
Al-Barbahari rohimahulloh berkata, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat
dan kitab, tapi ilmu adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, walaupun
sedikit.”
- Hafalan yang terpuji adalah hafalan
yang bermanfaat untuk dirinya. Termasuk perbuatan tercela orang yang memiliki
banyak hafalan, tapi menyelisihi perkara tauhid. Demikian pula, orang yang
menghafal, tapi tidak memahami apa yang dia hafalkan. Contoh : Hafal Al-Qur’an,
tapi tidak memahami isinya. Pada sebagian negara banyak orang yang mampu
menghafal Shohih Bukhory, tapi mereka tidak memahami maknanya. Lalu, mereka
keluar berfatwa dan fatwanya sendiri banyak menyelisihi fatwa para ‘ulama.
- Secara umum ada yang sudah lama duduk
di majelis ilmu bertahun-tahun, tapi banyak ilmu yang tidak melekat di dalam
dirinya karena tidak dihafalkan. Syaikh
Al-Utsaimin rohimahulloh berkata bahwa banyak buku yang sudah kami baca, tapi
tidak ada satu pun yang tersisa, kecuali apa yang telah kami hafalkan.
- Hafalan yang baik akan membantu
menghindari lupa dan menguatkan hafalan.
~~~000~~~
Wasiat
ke-1 : Wasiat selalu Mengingat Alloh, Berdzikir, dan Mengulangi hal tersebut.
- Ini merupakan wasiat penting bagi para
penghafal yang merupakan salah satu sebab yang sangat kuat yang membawa
seseorang memiliki hafalan yang kuat dan sedikit lupanya. Sekuat apa pun
hafalan seorang ‘ulama, tetap tidak ada seorang ‘ulama pun yang tidak pernah
luput dari sifat lupa.
- Ibnu Main berkata, “Barang siapa yang berkata bahwa ada rowi yang tidak pernah salah, maka sungguh dia telah berdusta.” Demikian pula ragu dalam permasalahan lafazh, seperti yang ada dalam riwayat Syu’bah Ibnu Hajjaj. Imam Malik juga pernah dikritik dalam riwayat beliau sampai Imam Daruquthni menulis riwayat dimana Imam Malik bersendirian dalam periwayatannya. Kekeliruan dan kelupaan adalah tabiat manusia. Lupa juga merupakan penyakit yang tidak akan bisa hilang, Mengobati lupa yang dimaksud disni adalah mengurangi hal-hal yang bisa membuat seseorang cepat lupa sehingga tidak mengganggu hafalannya.
- Ibnu Main berkata, “Barang siapa yang berkata bahwa ada rowi yang tidak pernah salah, maka sungguh dia telah berdusta.” Demikian pula ragu dalam permasalahan lafazh, seperti yang ada dalam riwayat Syu’bah Ibnu Hajjaj. Imam Malik juga pernah dikritik dalam riwayat beliau sampai Imam Daruquthni menulis riwayat dimana Imam Malik bersendirian dalam periwayatannya. Kekeliruan dan kelupaan adalah tabiat manusia. Lupa juga merupakan penyakit yang tidak akan bisa hilang, Mengobati lupa yang dimaksud disni adalah mengurangi hal-hal yang bisa membuat seseorang cepat lupa sehingga tidak mengganggu hafalannya.
Berdzikir (mengingat) Alloh dengan 2
hal, yaitu :
1.) Selalu memperbarui niatnya dan
mengikhlaskan hanya untuk Alloh semata.
Awal kali belajar, mungkin niatnya baik, tapi di pertengahan jalan bisa jadi dia mulai ditimpa penyakit syubhat, syahwat, godaan dunia sehingga mulailah terjadi perubahan dalam niatnya, seperti ingin terlihat lebih pandai, tidak ingin diremehkan, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan perkara yang menganggu niat seorang hamba dan hendaknya seorang hamba selalu memperbaiki dan mengulangi natnya. Al-Khotib Baghdadi mengutip perkataan Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu, “Sesungguhnya masing-masing orang mampu menghafal sesuai dengan kadar niatnya.” Ikhlas adalah bagian dari tauhid dan tauhid itu sendiri bagian dari keberkahan seorang hamba.
Awal kali belajar, mungkin niatnya baik, tapi di pertengahan jalan bisa jadi dia mulai ditimpa penyakit syubhat, syahwat, godaan dunia sehingga mulailah terjadi perubahan dalam niatnya, seperti ingin terlihat lebih pandai, tidak ingin diremehkan, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan perkara yang menganggu niat seorang hamba dan hendaknya seorang hamba selalu memperbaiki dan mengulangi natnya. Al-Khotib Baghdadi mengutip perkataan Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu, “Sesungguhnya masing-masing orang mampu menghafal sesuai dengan kadar niatnya.” Ikhlas adalah bagian dari tauhid dan tauhid itu sendiri bagian dari keberkahan seorang hamba.
2.) Memperhatikan dzikir-dzikir harian,
baik yang sifatnya muthlaq (bisa dibaca kapan saja), maupun muqoyyadah (terikat
dengan waktu).
"Dan, ingatlah Robb-mu apabila
kamu lupa." [QS. Al-Kahfy : 24]. Barang siapa yang lupa, hendaklah dia berdzikir
kepada Alloh. Termasuk di dalamnya mengikhlaskan niat hanya karena Alloh dan
menjaga dzikir-dzikir hariannya, seperti dzikir setelah sholat (dia jaga, dia pahami,
dan bukan sekedar membaca, lalu lewat), dzikir pagi dan petang, dzikir ketika
akan tidur, setelah bangun tidur, saat keluar rumah, dan seterusnya dalam
seluruh aktivitasnya.
Seorang hamba yang berusaha memperbanyak dzikir kepada Alloh, maka hal itu akan menjadi sebab Alloh mengingat dirinya karena Al Jazaa’u min Jinsil ‘Aml (balasan sebanding dengan amalan).
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian berbuat kufur.” [QS. Al-Baqarah : 152].
Seorang hamba yang berusaha memperbanyak dzikir kepada Alloh, maka hal itu akan menjadi sebab Alloh mengingat dirinya karena Al Jazaa’u min Jinsil ‘Aml (balasan sebanding dengan amalan).
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian berbuat kufur.” [QS. Al-Baqarah : 152].
Dalam hadits qudsi, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Aku ini sesuai dengan prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya pula padanya dalam hati-Ku. Jika ia mengingat-Ku didepan umum, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta. Jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.’“ [HR. Bukhory, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi].
Seorang hamba yang mengingat Alloh, maka Alloh pun akan mengingatnya dan merupakan sebab ia diberikan kekuatan untuk menghafal.
Para ‘ulama menyebutkan dzikir kepada
Alloh adalah sebab yang sangat kuat yang membantu hafalan dilihat dari 3 sisi,
yaitu :
1.) Dari
sisi hubungan hamba dengan Robb-Nya.
Semakin dekat hubungannya kepada Alloh, maka akan semakin menambah kekuatannya, memudahkan datangnya pertolongan Alloh, menjauhkan dirinya dari gangguan Syaithon, seperti gangguan lupa dalam sholat, lupa berdzikir, lupa berbuat kebaikan, dan sebagainya.
Syaithon paling banyak menganggu anak Adam dalam hafalannya sebagaimanya kisahnya Nabi Musa ketika beliau hendak menjumpai Nabi Khidir ‘alaihimussalaam. Nabi Musa membawa seorang pemuda dan sekeranjang berisi ikan sebagai petunjuk. Apabila ikan tersebut melompat di tempat bertemunya dua lautan, berarti beliau telah sampai ditempatnya Nabi Khidir. Akan tetapi, ketika ikan tersebut melompat dan pemuda tersebut melihatnya, syaithon membuatnya lupa sehingga pemuda tersebut baru menyadari ikan-ikan telah melompat ketika mereka telah berjalan jauh meninggalkan tempat tersebut. Maka, pemuda itu pun berkata, “Ingatkah engkau ketika kita berada di batu besar dan tidak ada yang membuat kita melupakannya, melainkan syaithon lah yang melakukannya.”
Kisahnya Nabi Yusuf ‘alaihisallaam yang dipenjara dalam kurun waktu sampai 9 tahun lamanya karena seorang pelayan yang berhasil ia takwil mimpinya lupa untuk menyampaikan kabar tentang Nabi Yusuf kepada Raja apabila si pelayan tersebut berhasil keluar dari penjara. Takwil mimpi adalah ilmu yang seharusnya membekas didalam hati pelayan itu karena mukjizat yang Alloh berikan kepada Nabi Yusuf. Tetapi, Syaithon membuat pelayan tersebut lupa sehingga Nabi Yusuf tetap di penjara bertahun-tahun lamanya.
Semakin dekat hubungannya kepada Alloh, maka akan semakin menambah kekuatannya, memudahkan datangnya pertolongan Alloh, menjauhkan dirinya dari gangguan Syaithon, seperti gangguan lupa dalam sholat, lupa berdzikir, lupa berbuat kebaikan, dan sebagainya.
Syaithon paling banyak menganggu anak Adam dalam hafalannya sebagaimanya kisahnya Nabi Musa ketika beliau hendak menjumpai Nabi Khidir ‘alaihimussalaam. Nabi Musa membawa seorang pemuda dan sekeranjang berisi ikan sebagai petunjuk. Apabila ikan tersebut melompat di tempat bertemunya dua lautan, berarti beliau telah sampai ditempatnya Nabi Khidir. Akan tetapi, ketika ikan tersebut melompat dan pemuda tersebut melihatnya, syaithon membuatnya lupa sehingga pemuda tersebut baru menyadari ikan-ikan telah melompat ketika mereka telah berjalan jauh meninggalkan tempat tersebut. Maka, pemuda itu pun berkata, “Ingatkah engkau ketika kita berada di batu besar dan tidak ada yang membuat kita melupakannya, melainkan syaithon lah yang melakukannya.”
Kisahnya Nabi Yusuf ‘alaihisallaam yang dipenjara dalam kurun waktu sampai 9 tahun lamanya karena seorang pelayan yang berhasil ia takwil mimpinya lupa untuk menyampaikan kabar tentang Nabi Yusuf kepada Raja apabila si pelayan tersebut berhasil keluar dari penjara. Takwil mimpi adalah ilmu yang seharusnya membekas didalam hati pelayan itu karena mukjizat yang Alloh berikan kepada Nabi Yusuf. Tetapi, Syaithon membuat pelayan tersebut lupa sehingga Nabi Yusuf tetap di penjara bertahun-tahun lamanya.
“Syaithon telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Alloh. Mereka itulah golongan syaithon. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaithon itulah golongan yang merugi.” [QS. Al-Mujadilah : 19]
“Barangsiapa yang berpaling dari
pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), kami adakan baginya syaithon
(yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya.” [QS. Az-Zukhruf : 43]
Oleh karena itu dzikir adalah sebab yang kuat yang membantu seorang hamba memiliki
hafalan yang baik. Hamba yang berakal akan menjaga kedekatannya kepada Alloh.
Dia akan menjaga agar jangan sampai syaithon membuka peluang untuk memisahkan
antara dirinya dengan jalan Robb-Nya.
2.) Dzikir adalah sebab utama yang membuat hati seorang hamba menjadi tenang dan
sejuk jiwanya.
Hafalan itu sendiri paling baik jika dilakukan dalam kondisi tenang. Contoh : menghafal diwaktu shubuh tentu berbeda dengan menghafal diwaktu siang.
Hafalan itu sendiri paling baik jika dilakukan dalam kondisi tenang. Contoh : menghafal diwaktu shubuh tentu berbeda dengan menghafal diwaktu siang.
"(Yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Alloh. Ingatlah hanya
dengan mengingat Alloh hati menjadi tenang." [QS. Ar-Ro’du : 28]
Hati yang tenang merupakan sebab utama
kuatnya hafalan, sebab kokohnya ilmu tertanam di jiwa. Berbeda dengan orang
yang kondisi pikirannya bercabang, maka hafalan itu akan sulit dia lakukan.
"Alloh tidak menjadikan bagi seseorang
dua hati dalam rongganya." [QS. Al
Ahzaab : 4]
Sesibuk apa pun kita, tetap sempatkan
untuk berdzikir karena berdzikir membuat hati kita tenang dan mendatangkan
kekuatan untuk menjalankan aktivitas kita.
3.) Dzikir membantu seseorang memperoleh
kekuatan badan dan hati yang diperlukan seorang penuntut ilmu.
Seorang penuntut ilmu selayaknya memperbanyak dzikir. “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [QS. Nuh: 10-12] è Istighfar merupakan bentuk dzikir.
Seorang penuntut ilmu selayaknya memperbanyak dzikir. “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [QS. Nuh: 10-12] è Istighfar merupakan bentuk dzikir.
“Dan Alloh menyukai orang yang berbuat
baik dan orang-orang yang apabila berbuat kekejian atau zalim kepada diri
sendiri, maka ia segera ingat kepada Alloh, dan beristighfar kepada Alloh atas
dosa-dosanya. Dan siapakah yang lebih mengampuni dosa selain Alloh? Kemudian,
dia tidak meneruskan perbuatannya, meskipun dia mengetahuinya.” [QS. Ali Imran : 134-135]
Maka, dzikir inilah yang memberi
keuatan, baik di hati maupun di badan. Kisahnya Fathimah rodhiyallohu ‘anha yang mendatangi Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan tangannya yang
melepuh karena banyak bekerja. Beliau meminta kepada Nabi agar diberikan
seorang khodim yang membantunya bekerja. Maka, Nabi pun berkata, “Maukah kuberitahukan pada kalian
sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Apabila kalian mulai
berbaring di pembaringan kalian, bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali,
dan bertahmidlah 33 kali.” [Muttafaqun
‘alaih]
Sejak
saat itu ‘Ali bin Abi Tholib dan Fathimah tidak pernah lagi mengeluhkan
keadaan mereka. Bahkan ‘Ali bin Abi
Tholib rodhiyallohu ‘anhu dalam perang khaibar, beliau satu-satunya sahabat
yang mampu membuka benteng Khaibar dengan tangannya.
Dalam biografi Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim berkisah dalam Al-Wabil Ash-Shoyyib bahwa Ibnu
Taimiyah senantiasa berdzikir hingga matahari naik ke pertengahan. Ketika Ibnu Taimiyah ditanya mengapa beliau
melakukan hal itu, beliau berkata, “Ini adalah waktu pagiku, waktu makanku.
Jika aku tidak melakukannya, maka akan jatuh kekuatanku.” Kemudian, kata Ibnu Qoyyim, “Saya pernah melihat
bagaimana Ibnu Taimiyah membela
sunnah, beliau menakjubkan dalam hal menulis, dalam 1 hari beliau mampu menulis
kitab yang ditulis oleh penulis lain dalam waktu 1 pekan, dan juga keistimewaan
beliau dalam hal perangai. Itu semua merupakan pengaruh dari dzikir-dzikir
beliau.” Demikian pula para sahabat dalam Perang badar yang menghadapi lebih
dari 10.000 pasukan .
“Hai orang-orang yang beriman! Jika
kamu bertemu sekelompok pasukan musuh maka tetaplah kamu ditempat itu dan
banyaklah berdzikir supaya kalian menang.” [QS.
Al Anfaal :45]
Wasiat
ke-2 : Menjauhi Dosa dan Maksiat.
- Ibnu
Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu berkata dalam riwayat Baihaqi, “Saya menyangka seorang laki-laki lupa terhadap ilmunya
karena sebuah dosa yang dia lakukan.”
- Sebagian Salaf berkata, “Harom pada
hati yang di dalamnya ada perkara yang dibenci Alloh dan harom pula cahaya ilmu
untuk masuk ke dalamnya.”
- Sebagian guru pernah melihat sebgaian
muridnya melakukan kemungkaran. Lalu, guru tersebut menegurnya dan mengatakan,
“Kamu akan merasakan akibatnya, walaupun suatu hari nanti.” Ucapan guru
tersebut diingat oleh muridnya hingga suatu hari ia mendapati dirinya lupa
terhadap Al-Qur’an akibat besarnya dosa yang pernah ia lakukan.
- Bertaubat dan menjauhi dosa adalah hal
yang penting bagi para penuntut ilmu.
- ”Bertaqwalah kepada Alloh. Alloh akan
mengajari kalian.” [QS. Al-Baqoroh : 282].
Ayat ini didahului dengan ketaqwaan. Ketaqwaan merupakan sebab yang kuat untuk
menambah kekuatan. Dalam ayat lain, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai
orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa kepada Alloh, niscaya Alloh akan
menjadikan untuk kalian furqon.” [QS.
Al-Anfal : 29]. Kalau seorang hamba diberikan furqon, maka hal itu
merupakan modal yang sangat besar
untuk menjaganya hafalannya.
- Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh,
maka Alloh jadikan dalam perkaranya kemudahan, termasuk menghafal. Hendaknya
penuntut ilmu selalu menjaga dirinya diatas ketaqwaan. Makna ketaqwaan itu luas
dan perlu kita mencermati lebih jauh kandungan maknanya, Tapi, ketaqwaan yang
dimaksud di sini terkait menjauhi dosa dan maksiat.
- Penting untuk mempelajari bagaimana
ketaqwaan para Nabi dan Rosul sebagai pelajaran bagi kita. Nabi orang yang
paling jauh dari dosa. Ada point penting disini bahwa para ‘ulama adalah
pewaris para nabi. Ilmu adalah warisan Rosululloh. Apabila kita ingin mendapat
warisan para Nabi, maka warisan itu hanya didapat oleh yang mempunyai hubungan
darah / kekerabatan / pernikahan dengan Nabi (terkait dengan hukum warisan itu
sendiri). Oleh karena itu, kalau kita ingin mendapatkan warisan para Nabi,
ingin mendapatkan ilmu para Nabi, maka ikutilah jalan para Nabi dan Rosul.
- Kalau seseorang jujur benar-benar
ingin mencari ilmu, maka akan dia tinggalkan dosa dan maksiat.
- Syaikh
Al-‘Utsaimin rohimahulloh berkata, “Dalil yang menunjukkan dosa dan maksiat
dapat membuat seseorang lupa dari ilmunya adalah firman Alloh dalam QS. Al-Maidah ayat 13, yaitu tentang
orang-orang Yahudi dimana mereka melanggar perjanjian mereka, maka Alloh melaknat
mereka, menjadikan hati-hati mereka keras dan mereka pun lupa dari bagian ilmu
yang sudah mereka ingat sebagaimana Bisyr
bin Harits berkata, “Apabila engkau ingin mendapatkan ilmu, maka janganlah
engkau berbuat maksiat.”
- Imam
Syafi’i pernah mendatangi Waqi’ ibnu
Jarroh. Waqi’ adalah seorang imam besar dan kuat hafalannya. Imam Ahmad berkata sebagai bentuk
kekaguman beliau kepada Waqi’. Kata
beliau, “Hafalannya Waqi’ memang sudah tabiat dia, adapun kita takalluf (harus dipaksa
terlebih dahulu) baru bisa menghafal.” Imam
Syafi’i mengeluhkan hafalannya yang buruk. Kalau Imam Syafi’i saja mengeluhkan buruknya hafalan beliau ditengah
berbagai keutamaan yang beliau miliki, lalu bagaimana dengan kita? Sedemikanian
rupa beliau mengatakan jeleknya hafalan beliau. Dalam sebuat riwayat Imam Malik beliau berkata, “Saya pernah
duduk di depan Imam Syafi’i dan
ketika itu saya sedang membaca. Saya pun merasa kagum dengan dengan daya
tangkap Imam Syafi’i. Pemahamannya
sangat lengkap. Maka, saya pun berkata kepadanya, ‘Saya melihat Alloh telah memberikan
cahaya dihatimu, maka janganlah sekali-kali engkau padamkan dengan cahaya
maksiat.”
Wasiat
ke-3 : Beramal dengan Ilmu yang telah Dia Pelajari
- Tampak dari dua sisi tentang
pentingnya mengamalkan ilmu yang dia pelajari sehingga membantu menguatkan
hafalan, yaitu :
Sisi
pertama : Alloh akan menambah karunia-NYA untuk orang yang mengamalkan ilmu yang
dia ketahui dan juga Alloh akan mengajarkan ilmu lain yang sebelumnya tidak dia
ketahui.
Alloh menambah keutamaan kepada seorang
hamba dengan sifat pemurah-Nya dan kepada siapa yang Alloh kehendaki dari
hamba-hamba-Nya. Sebagian Salaf berkata, “Barang siapa yang mengamalkan ilmu
yang dia pelajari, maka Alloh akan mewariskan kepadanya ilmu yang sebelumnya
tidak ia ketahui.”
Ilmu adalah pohonnya, sedangkan amalan adalah buahnya. Ilmu dipelajari untuk diamalkan. Amalan itu sendiri tidak akan sah tanpa adanya ilmu.
Orang yang pertama kali ditanyakan di akhirat dan dipanggang tubuh mereka di Neraka adalah orang yang berilmu, tapi tidak diamalkan. ‘Alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka dia akan disiksa sebelum para penyembah berhala disiksa sebagaimana dalam hadits orang semacam ini termasuk satu di antara tiga orang yang pertama kali dijadikan sebagai bahan bakar untuk menyalakan api neraka.
Ilmu adalah pohonnya, sedangkan amalan adalah buahnya. Ilmu dipelajari untuk diamalkan. Amalan itu sendiri tidak akan sah tanpa adanya ilmu.
Orang yang pertama kali ditanyakan di akhirat dan dipanggang tubuh mereka di Neraka adalah orang yang berilmu, tapi tidak diamalkan. ‘Alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka dia akan disiksa sebelum para penyembah berhala disiksa sebagaimana dalam hadits orang semacam ini termasuk satu di antara tiga orang yang pertama kali dijadikan sebagai bahan bakar untuk menyalakan api neraka.
Dalam hadits Abu Barzah, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser
pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya
adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” [HR. Tirmidzi 2341]
Berindunglah kepada Alloh dari ilmu
yang tidak bermanfaat, yaitu ilmu yang hakikatnya tidak memiliki manfaat untuk
manusia (sihir dan semisalnya) dan ilmu yang tidak diamalkan.
Sisi
kedua : Orang yang menghafal, lalu dia amalkan ilmu yang dia pelajari, maka hal
itu menjadi sebab kuat ilmu tersebut melekat di dalam dirinya.
“Jikalau mereka melakukan apa yang
dinasehatkan kepada mereka (1), niscaya akan lebih baik bagi mereka dan
memperkokoh (iman mereka) (2). Dan kalau memang demikian, niscaya Aku
anugerahkan kepada mereka pahala yang agung (3) dan Aku tunjukkan mereka jalan
yang lurus (4).” [Q.S. An Nisa’ : 66-68]
Ada 2 manfaat yang diperoleh oleh orang
yang mengamalkan ilmunya, yaitu Keteguhan dan kekokohan ilmu è Dari sinilah letak derajat para ‘ulama.
Sufyan
Ats-Tsauri berkata, “Ilmu itu
berbisik, berbicara, memanggil amalan. Kalau dia amalkan, maka ilmu itu akan
tetap bersamanya. Jika tidak, maka dia akan pergi meninggalkan.”
Waqi’ bin Jarroh berkata, “Saya tidak pernah melangkah di kehidupan dunia sejak 40 tahun lamanya. Saya dengar hadits dan belum ada satu pun yang terlupakan. Tidaklah saya mendengar sesuatu, kecuali saya amalkan.”
Sebagian salaf juga berkata, “Kami mengambil pertolongan menghafal hadits dengan mengamalkannya.”
Waqi’ bin Jarroh berkata, “Saya tidak pernah melangkah di kehidupan dunia sejak 40 tahun lamanya. Saya dengar hadits dan belum ada satu pun yang terlupakan. Tidaklah saya mendengar sesuatu, kecuali saya amalkan.”
Sebagian salaf juga berkata, “Kami mengambil pertolongan menghafal hadits dengan mengamalkannya.”
Orang yang belajar, yang jujur dalam
belajarnya, ilmu yang dia pelajari akan tampak dalam kehidupannya sebab ilmu
dipelajari untuk diamalkan, diamalkan untuk membantunya menguatkan hafalan, dan
sebagai sebab yang mengantarnya kepada ilmu lain yang belum ia ketahui. Bisa
dilihat dari para ‘ulama dimana mereka mengamalkan ilmunya dan tampak dalam dakwahnya.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak kegiatan ilmiah yang mereka lakukan
dan semakin luas pula cabang ilmu yang mereka ajarkan.
Amalan bukti yang paling cukup untuk
merekomendasikan seseorang. Dalam Al-Qur’an, Alloh Ta’ala berfirman, “Beramalah
kalian. Alloh dan Rosul-NYA yang akan melihat.” Sebanyak apa pun rekomendasi
orang lain, hal itu tidak akan berguna ketika dirinya tidak menunjukkan "kebersihan" ilmunya.
.
.
Wasiat
ke-4 : Melatih Ingatan.
- Bukan dengan cara-cara instan karena
menghafal apalagi berkaitan dengan ilmu agama adalah cahaya Alloh.
- Kunci melatih hafalan adalah tidak
terpaku pada apa yang dia tulis dan dia rekam sebab orang yang ilmunya hanya
mengandalkan rekaman atau tulisan, kemudian ada yang luput, maka dia akan
berpikir bahwa tidak masalah saya lupa karena saya telah merekamnya. Secara
kejiwaan melatih seseorang untuk malas
menghafal.
- Dahulu para ‘ulama ada yang tidak mau
mendengar hadits sampai dua kali sebab hal itu bisa membuat hafalannya cengeng.
Ada juga sebagian ‘ulama yang melatih muridnya dengan mencukupkan membacakan
hadist satu kali saja. Kata Imam
Az-Zuhri, “Mengulangi hadits lebih berat bagiku daripada memindahkan sebuah
batu besar.”
- Melatih hafalan ada banyak metode.
Secara umum, Alloh memberikan ketentuan, “Jadilah kamu seorang yang robbani,
yaitu kamu mengajarkan Al Qur’an dan terus mempelajarinya.” [QS. Ali-Imron : 79]. Robbani, yaitu mengajarkan ilmu yang kecil
sebelum yang besar. Contoh : menghafal hadits 1 baris atau 1 halaman, maka yang
benar diambil nash yang ringkas dahulu. Besoknya naik lagi hadits yang sedang, terus
demikian hingga akhirnya mampu menghafal teks yang panjang karena terbiasa.
Apalagi jika ditambah paham bahasa Arab.
- Syaikh
Muqbil rohimahulloh sebelum memulai pelajaran, beliau biasa menunjuk murid-muridnya
mengulangi hadits yang telah dibaca kemarin. Ada sebagian murid yang awalnya merasa
berat, tapi lama-lama menjadi mudah karena terbiasa. Syaikh menunjuk
murid-muridnya untuk menghafalkan hadits lengkap matan dengan sanadnya. Ada
murid yang belum menghafal, tapi karena dia sudah terbiasa menghafal, begitu
orang didekatnya diminta untuk membacakan hadits, maka cukup dengan sekali
dengar dia sudah bisa menghafal hadits tersebut.
- Orang yang beranggapan ilmu itu
sulit, berarti dia sudah kalah sebelum belajar. Harusnya dia mengganggap ilmu
agama penuh keberkahan dan Alloh akan memudahkan siapa pun yang hendak
memasukinya.
- Menghafal dengan panduan jam lebih cepat
masuknya dan lebih konsentrasi.
- Lingkungan tempat tinggal yang
dipenuhi dengan orang-orang yang menghafal berpengaruh kepada hafalan seseorang
karena dia akan malu apabila dirinya tidak bisa menghafal sedangkan teman-teman
lainnya bisa.
Wasiat
ke-5 : Menulis Apa yang Dia Hafal.
- Menulis berulang kali apa yang telah
dihafalkan agar lebih kuat hafalannya.
- Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.”
- Ucapan indah dikalangan para ‘ulama,
“Ilmu adalah hewan buruan.”
- Dahulu belum ada mesin fotocopy sehingga jika para ‘ulama ingin
memilki buku, maka mereka akan menyalinnya atau membelinya atau menyewa orang
lain untuk menyalinnya. Ada pun dimasa sekarang, seiring kemajuan zaman dan
mudahnya fasilitas dalam belajar, nikmat yang begitu berlimpah, tapi bersamaan
dengan itu rasa malasnya juga berlimpah, lebih senang hal yang sia-sia, atau
senang yang ribut-ribut.
- Contoh semangatnya para ‘ulama dalam
menulis disamping menghafalkan ilmu :
è Ada ‘ulama yang menulis Shohih Muslim
sebanyak 7 kali ;
è Ibnu
Marzuq Al-Haromi menulis Jami’ At-Tirmidzi sebanyak 6 kali ;
è Ibnu
Qois menulis Bukhory-Muslim, Sunan Abu Dawud sebanyak 7 kali, dan Sunan
Ibnu Majah sebanyak 100 kali. Beliau juga pernah mengalami kencing darah 2 kali
dalam perjalanan menuntut ilmu, serta menulis buku dengan tangannya sebanyak
seribu jilid ;
è Ibnu
Taimiyah menulis Sunan Abu Dawud sebanyak 6 kali.
- Dahulu para ‘ulama disamping memiliki
hafalan yang bagus, mereka juga tetap menulisnya. Dan dahulu kemaksiatan belum
sebanyak dimasa kini. Seharusnya kita yang memilki hafalan jauh dibawah mereka
lebih bersemangat dan lebih sadar lagi untuk menulis karena terbatasnya hafalan
kita.
- Kalau di Libya dan sekitarnya, para
penghafal Al-Qur’an ketika menghafal tidak diberikan mushaf sebagai panduan.
Caranya si penghafal diminta melihat mushaf 1 kali, lalu diberi papan untuk
menuliskannya, lalu dibacakan dihadapan gurunya berkali-kali sampai benar, kalau
sudah mereka diminta mengulang di suatu tempat berkali-kali, setelah itu mereka
hapus tulisannya, dan tidak diperkenankan melihat selama mereka masih belajar
disana è metode ini tidak semua orang cocok.
- Ada yang melihat mushaf dan bagian
ayat yang tidak dihafal ditutup kertas agar lebih focus.
Wasiat
ke-6 : Mudzakaroh (Mengulangi Ilmu).
- "Dan berilah peringatan,
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." [QS. Adz-Dzariyat : 55].
Mudzakaroh ada 3 cara, yaitu :
1.)
Mudzakaroh dengan Diri Sendiri
è Memberikan waktu khusus untuk
mengulangi hafalannya dan dia jadikan hal itu sebagai wirid khususnya dimana
tidak boleh ada orang yang mengganggunya saat itu.
2.)
Mudzakaroh dengan Orang Lain
è Dia mempunyai guru yang menagih
hafalannya. Kalau tidak ada bisa mencari kawan dekat atau orang lain, tapi
harus terprogram. Dahulu para imam jika saling berjumpa, maka mereka akan
saling menanyakan apa yang telah kamu hafal hari ini dan mereka saling
membacakan hafalannya. Jadi, dimasa dulu mereka menghafalkan juga memahami
fiqh.
3.) Mudzakaroh dengan membuat Majelis
Tajdid. Ini tambahan metode dari para ‘ulama. Jadi, si guru duduk di
majelis ilmu, membacakan riwayat, lalu para murid menulis, dan diberi ijazah
periwayatan kepada siapa yang menghafalnya. Contohnya : Majelis Tajdid di Riyadh, ulama yang memiliki
sanad teringkas pada Shohih Bukhory, Shohih Muslim, dan Kutubus Sittah, yaitu Asy-Syaikh Abdulloh ibn Abdul ‘Aziz Ibn
Aqil rohimahulloh. Jadi, para
murid membacakan riwayat beliau, lalu dibetulkan beliau jika terjadi kesalahan
dan setelah itu diberi ijazah periwayatan hadits
.
.
- Imam
Ahmad, Imam Tirmidzi, Ibnu Main mengetahui siapa yang memiliki hafalan yang
baik karena ketika guru duduk menyampaikan ilmu, murid telah menulisnya,
menghafal, dan dari situ bisa menilai guru itu hafalannya baik atau tidak.
Wasiat
ke-7 : Menceritakan Apa yang Dia Hafal
- Muroja’ah adalah memperdengarkan hafalannya
untuk diperiksa, tapi kalau ini dia bercerita ilmu yang telah dia hafalkan.
Misal : ketika berjumpa dengan temannya, dia berkata, “Apakah kamu mengetahui
ilmu tentang hadits ini? Aku menghafalnya (dan seterusnya).” Hal yang seperti
ini baik untuk dilakukan dikalangan penuntut ilmu.
- Syaikh
Muqbil rohimahulloh ketika di jalan bertemu dengan muridnya, maka beliau
sampaikan hadits dan muridnya diminta untuk menjawab baru dibolehkan jalan. Ini
cara bagus untuk menguatkan hafalan dan bukan termasuk menyombongkan diri.
- Bertemu kawan di majelis bisa saling
menyampaikan hadits, lalu menghafalnya. Berpisah sudah memiliki hafalan baru.
Wasiat
ke-8 : Pandai Mengikat Hafalannya dengan Sesuatu.
- Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam mengajarkan ‘Ali
bin Abi Tholib dalam riwayat Muslim sebuah do’a, “Berdoalah engkau, ‘Ya Alloh,
berikan aku hidayah dan kelurusan (syadad) dan mintalah bersamaan dengan
petunjuk itu agar engkau ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Ketika engkau
diberi kelurusan, ingatlah lurusnya anak panah.” è
Anak panah yang bengkok sedikit menjadi tidak tepat sasaran. Disini Nabi mengajarkan untuk mengikat do’a
itu dengan sesuatu agar mudah mengingatnya.
- Dari Abu Hurairoh rodhiyalloh ‘anhu, “Suatu ketika Nabi Shollallohu ‘alaihi
wa sallam berjalan di kota Makkah dan melewati sebuah gunung bernama Jamdan.
Nabi pun berkata, “Berjalanlah! Itu adalah gunung jamdan. Telah sampai lebih
dahulu para Mufariddin.” Para Sahabat bertanya, “Wahai, Rosululloh siapa mufariddin?”.
Nabi menjawab, “Mufariddin adalah laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir
kepada Alloh.” [HR.Muslim] è Nabi
ingin menerangkan bahwa orang-orang yang paling depan adalah orang-orang yang
paling banyak mengingat Alloh dan untuk memudahkan para sahabat mengingatnya,
Nabi kaitkan dengan gunung Jamdan. Kalau suatu hari nanti sahabat melewati
gunung setelah Jamdan, maka mereka akan mengingat sabda Nabi ini.
- Kalau sudah terbiasa menghafalkan
dengan metode tertentu, lalu dirubah, biasanya akan mengacaukan hafalan.
- Dalam ilmu hadits, rowi yang
bersendirian dalam meriwayatkan hadits, maka langsung didho’ifkan haditsnya. Contoh
: Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhuafa, Ibnu Adi dalam Al-Kamil, Al-Khotib dan Ibnu ‘Asakir
dalam tarikhnya, Musnad Al-Firdaus karya Ad-Dailamy è ustadz memberi cara menghafalkan
kelimanya dengan bait sya’ir
Wasiat ke-9 : Makanan yang Membantu Hafalan
- Contohnya : madu, kismis, luban
(makanan di Tanah Harom), mencium bau harum, minum air zam-zam, hijamah. Nabi menyebutkan
susu juga bisa mewakili makan dan minum.
Wasiat
ke-10 : Kepandaian dalam Mengatur Waktu
- Pengaturan waktu ini penting terutama
bagi penuntut ilmu pemula sebab banyak buku yang harus dia pelajari sehingga
dia harus pandai mengatur waktunya. Contohnya : membagi Al-Qur’an menjadi 7 bagian
yang dikenal dengan metode Fami’ bi
Syauqin (mulutku selalu rindu membacanya). Tiap 7 hari dia khatam
membacanya.
Rinciannya :
Rinciannya :
Fa è
Suroh Al-Fatihah è Hari ke-1
dari Al-Fatihah s.d Al-Maidah
Mim è
Suroh Al-Maidah è Hari ke-2
dari Al-Maidah s.d Yunus
Ya è
Suroh Yunus è
Ba è
Suroh Al-Isro’
Sya è
Suroh Asy-Syu’aro
Wa è
Suroh Ash-Shoffat
Qof è
Suroh Qof è Hari ke-7 dari Qof s.d An-Naas
Keterangan :
Dalam satu hari kurang lebih 4 juz.
Lalu diperkirakan 1 juz mampu membaca berapa menit. Kalau hafalannya sudah lancar,
dimuroja’ah dengan ukuran jam.. Jangan dengan ukuran dalam sehari mampu
memuroja’ah berapa juz. Tapi, ddalam 1 jam saya mampu menghafal berapa juz.
- Hadits Arba’in è Kalau sudah hafal semuanya, diulang
kembali misalnya sepekan sekali
.
.
- Butuh pengaturan metode menghafal
supaya berhasil dan baik dalam hafalan.
B. Sesi
Tanya Jawab
1.) Sering lupa dengan ayat Al-Qur’an
yang sudah dihafal è Sebab lupa
karena tidak mengulangi hafalannya. Harusnya dia baca dalam sholat sunnahnya. Misalnya
sholat Sunnah rowatib yang dilakukannya paling sedikit 8 roka’at. Dia bagi 1
juz menjadi 8. Jadi, muroja’ah bersama dengan sholatnya. Kalau sudah menghafal,
tapi lupa, insya Alloh lebih mudah karena Al-Qur;an itu dimudahkan bagi yang
menghafalnya.
2.) Metode menghafal ayat-ayat
mutasyabihat è ada buku khusus berupa mandzumah untuk
metode hafalan ayat-ayat yang mutasyabihat. Misalnya : buku karya Syaikh Abdul
Muhsin, Mandzumah karya Imam As-Shohawi. Contoh : Mesti memahami bahwa semua ayat
lafazhnya ‘alimun hakim, kecuali pada 5 tempat lafazhnya hakimun ‘alim.
[Faidah dari Al-Ustadz Dzulqornain hafizhohullohu dalam Pembahasan "10 Wasiat Menguatkan Hafalan dan Mengobati Lupa", 2014]
___________________________________________________________________________
[Faidah dari Al-Ustadz Dzulqornain hafizhohullohu dalam Pembahasan "10 Wasiat Menguatkan Hafalan dan Mengobati Lupa", 2014]
2 komentar:
mas 'ala fadlikum, diberi daftar rujukannya juga. mengenai qoul para ulamanya. syukron katsir
mas tolong antum beri daftar rujukannya, saya tertarik untuk membaca qoul ulama'nya..
syukron katsir
Posting Komentar