Sabtu, 28 Desember 2013

'Umdatul Fiqh : 4. Bab Hukum-hukum Seputar Air (Bag.2 -selesai-)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


… Catatan Dars …


KITAB THOHAROH
BAB I
AL-MIYAH (AIR-AIR)
............................................................




12. Bila Ragu tentang Kenajisan Air

- Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata, “Apabila seorang itu ragu tentang kesucian air atau selain air (kaidah ini berlaku bukan hanya dipembahasan air saja), atau ragu tentang najisnya, maka dia harus membangun diatas keyakinan, mengambil yang meyakinkan.” Hal tersebut dibangun diatas kaidah fiqih,

“Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan. ”


- Contoh 1 :
Seseorang mempunya air suci dan dia ragu sudah kejatuhan najis atau belum. Asalnya adalah kembali kepada hal yang meyakinkan, yaitu air itu suci dan inilah yang dia ambil. Ada pun keraguan kejatuhan najis inilah yang dia buang.


- Contoh 2 :
Demikian juga air yang sudah najis. lalu dia ragu. Kalau dia yakin kenajisannya, diambil yang meyakinkan.

- Kaidah “Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan.” termasuk kaidah yang agung dalam syari’at kita. Tidak hanya dalam pembahasan air saja, tapi pada seluruh pembahasan fiqih bahkan sampai dalam pembahasan aqidah. Oleh karena itu, hal tersebut merupakan salah 1 dari 5 kaidah pokok yang dinamakan Imam As-Suyuthi rohimahulloh dan selainnya dengan Al Qowaidhul Kubro.

- Dalilnya dalam Shohih Bukhory dan Muslim disebutkan hadits dari ‘Abdulloh bin Zaid rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,


“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” 
(HR. Bukhari, No. 177 dan Muslim, No. 361).


- Mengapa beliau perintahkan demikian? Karena hal yang meyakinkan adalah ia sedang sholat dalam keadaan suci dan kemudian ia ragu apakah keluar hadats atau tidak. Maka, keraguan ini dia buang dan hal yang meyakinkan dia sudah suci, kec kalau hadatsnya menyakinkan, semisal mencium baunya. Kalau sudah seperti ini, baru dia tinggalkan.




13. Cara Mencuci Benda yang Najisnya Tidak Tampak

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Apabila tempat najis itu tersembunyi (tidak jelas) pada pakaian atau selainnya, maka dia mencuci apa yang dia yakin najisnya hilang dengan mencucinya.“

- Contoh :
Baju yang terkena najis, tapi dia ragu yang kena sebelah kanan atau kiri. Maka, dia cuci keduanya. Ini maksud Ibnu Qudamah, “… maka dia mencuci apa yang dia yakin najisnya hilang dengan mencucinya.“

- Hal diatas merupakan salah satu pendapat dikalangan ‘ulama dan ada pendapat lainnya dikalangan ‘ulama bahwa dalam masalah ini dia memilih dugaan besar najisnya itu dimana dan dia bersihkan.

- Dalilnya



وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ 

لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ

"Jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya, maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu kecondongan yang lebih kuat), kemudian ia sempurnakan sholatnya kemudian salam kemudia sujud dua kali."
(HR Al-Bukhari no 392 dan Muslim no 572)




- Maka, memilih yang benar (taharri) adalah ketentuan syar’i atau hukum syari’ yang itu diperbolehkan. Kembali kepada contoh kasus diatas dalam hal ini dia bingung yang sebelah mana bajunya yang terkena najis. Maka, dia bisa taharri (memilih yang benar) dimana letak najisnya. Bagaimana caranya?? Misalnya dengan cara mencium lalu bisa ia temukan dimana letak najisnya, walaupun dia tidak yakin, akan tetapi karena dia sudah taharri, maka hal itu telah cukup sebagaimana sujud sahwi yang ia ragu sudah 3 atau 4 roka’at. Lalu setelah dia berusaha mengingatnya, dia ingatnya 4, maka boleh diambil 4. Walaupun, yang lebih menyakinkannya adalah 3. Jadi, disini dia yakinnya sudah 3 roka’at, sedangkan  yang 4 roka’at meragukan. Tapi, karena dia sudah taharri sehingga dugaan besarnya dia sudah mengerjakan 4 roka’at, maka boleh dia mengambil yang 4 roka’at. Berdasarkan kasus najis di baju, maka seseorang boleh mencuci yang dengannya dia bisa memastikan letak najisnya atau yang lebih mendekati kepastian dimana tempat najis itu.




14. Apabila Terjadi Kesamaan Antara Air Suci dan Air Najis, sedangkan Air Lain Tidak Ada

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “ Apabila  seseorang mengalami kesamaran antara air suci dan air najis, sedangkan air lain tidak ada selain daripada itu, maka tayamumlah dan dia tinggalkan air itu.”

- Contoh :
Ada dua bejana. Dia bingung mana yang suci, mana yang najis. Maka, kata Ibnu Qudamah dia tinggalkan semua bejana tersebut karena itu lebih meyakinkankan dan lebih selamat. Lalu, dia tayammum.

- Ada pendapat ke-2 dalam masalah ini dalam salah satu Mazhab Hambali dan pendapat Imam Syafi’i bahwasanya hendaknya seseorang taharri (menentukan yang mana suci dari keduanya). Kalau  najis, maka bisa dilihat dari sebab najisnya, dari sifat airnya dan ini yang paling afdhol berdasarkan dalil “Hendaknya dia pilih yang benarnya dan dia sempurnakan atasnya."




15. Jika Terjadi Kesamaran antara Air Thohur dengan Air Thohir

- Contoh :
 Ada 2 bejana yang satu berisi air thohur dan yang satu berisi air thohir. Kata Ibnu Qudamah, “Dia berwudhu dari kedua-duanya”. Sebab hal itu akan lebih meyakinkan dan karena salah satunya pasti air yang suci. Ini berdasarkan  kaidahnya. Ibnu Qudamah dimana beliau membangun pendapatnya ini diatas masalah keyakinan.

- Akan tetapi, pendapat yang benar adalah dengan taharri yang dia lebih condong kepadanya dugaan besarnya. Masalah ini muncul kalau  air dibagi menjadi 3 jenis. Kalau dia membagi air menjadi 2, maka tidak akan muncul masalah.




16. Bila Terjadi Kesamaran Antara Pakaian Najis dan Pakaian Suci

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Apabila terjadi kesamaran antara pakaian suci dengan pakaian najis, maka dia sholat dengan setiap pakaian itu dengan jumlah najisnya dan dia tambah dengan 1 sholat.”

- Contoh :
Seseorang mempunyai 20 pakaian, 5 diantaranta ada yang najis. Menurut Ibnu Qudamah, sepanjang dia mengetahui pakaian yang najis ada 5 pakaian, dan dia ragu mana yang najis, maka dia sholat 5x, lalu ditambah dengan 1 sholat lagi sebab yang ke 6 pasti sudah hal yang meyakinkan. Pendapat Ibnu Qudamah dibangun diatas kaidah yakin.

- Ada pun pendapat yang lebih kuat seseorang taharri mencari tahu mana yang lebih kuat. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaik Al-‘Utsaimin dan selainnya.




17. Definisi, Pembagian, dan Hukum Najis

- Pembahasan definisi, hukum, dan pembagian najis disebagian fiqih Hambali dikhususkan dalam bab tersendiri. Contoh pada matan Zadul Mustaqni, pembahasan najis diletakkan diakhir pembahasan thoharoh, yaitu sebelum pembahasan haid, sedangkan Ibnu Qudamah memasukkannya kesini. Termasuk kebiasaan para ‘ulama Syafi’iyah yang memasukkan pembahasan najis sebelum pembahasan tentang wudhu’.

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “dicuci najisnya”.

- Najis secara bahasa adalah hal yang jelek, menjijikkan. Najis secara istilah dikalangan ulama Syafi’iyah, Malikiyah : “Najis adalah hal yang kotor yang menahan keabsahan sholat, dimana tidak ada keringanan didalamnya.”

- Najis terbagi menjadi 2, yaitu :
1.) Najis ‘Ainiyah    è benda/zat tersebut memang najis dan tidak bisa disucikan
2.) Najis Hukmiyah è najis yang bisa disucikan dan inilah najis yang banyak dibahas dikalangan fuqoha.

- Kebanyakan fuqoha membagi najis hukmiyah ini menjadi 3, yaitu :
1.) Najis Mugholadhoh, yaitu najis besar. Contoh : anjing
2.) Najis Mukhoffafah, yaitu najis yang diringankan dalam mensucikannya. Contoh : kencing anak laki yang baru makan asi saja.
3.) Najis Mutawasithoh : najis selain dari itu (pertetangahan)

- Hukum najis adalah wajib bersuci darinya. Ada ancaman bagi orang yang tidak bersuci dari najis, yaitu hadits tentang dua orang yang disiksa dialam kubur karena tidak bersuci dari kencingnya. Tidak bersuci maksudnya tidak istinja’ atau tidak menjaga diri dari percikan najis.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu beliau bersabda : “Sungguh kedua penghuni kubur itu sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia berkeliling menebar namiimah (mengadu domba).”




18. Jumlah Cucian Terhadap Najis Anjing dan Babi serta Cara Bersuci dari Najis Tersebut

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Najisnya anjing dan babi dicuci sebanyak 7x dan salah satunya dicuci dengan tanah.” Disini beliau menerangkan dua hal sekaligus, yaitu najisnya anjing dan najisnya babi.

- Dalil najisnya anjing dari hadits Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu,

Dari Abu Hurairah rodhiyallohu 'anhu ia berkata bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam telah bersabda,”Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali, dan yang pertama dengan tanah.” 
(HR. Bukhory)


Lebih tegas dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu,


Sucinya bejana di antara kalian yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” 
(HR. Muslim no. 279)


>>> Samakah antara najisnya Anjing dengan Najisnya Babi???

- Kalimat pensucian bejana salah seorang dari kalian menunjukkan bahwa bejana yang dijilat anjing itu menjadi najis dan wajib dibersihkan. Cara mensucikannya dengan dicuci 7x dan yang pertamanya dengan menggunakan tanah. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ‘ulama dan insya Alloh pendapat yang lebih kuat karena ada penyebutan ‘illahnya (sebabnya). Apalagi jika penyebutan ‘illah terdapat dalam konteks hadits dan penyebutan haditsnya ada dalam nash-nash riwayat. Selain itu, dari perkembangan ilmu kedokteran sendiri membuktikan manfaat pencucian tersebut. Hukum najisnya anjing tidak terbatas pada air liurnya saja, tetapi juga pada kotorannya dan seluruh badan anjing tersebut.

- Ada pun babi juga harus dicuci 7x. Maka, dalilnya berupa qiyas (perumpamaan). Para ‘ulama meng-qiyaskannya dengan anjing. Mereka berpendapat bahwa babi itu lebih jelek daripada anjing. Kalau anjing saja harus disucikan jilatannya, maka babi lebih dari itu. Tapi, ini qiyas yang lemah karena babi ada dimasa Nabi dan diterangkan dalam Al Qur’an sehingga hal itu menunjukkan mengqiyaskannya sama dengan anjing adalah qiyas yang lemah. Pendapat yang benar bahwa tidak sama cara membersihkan najisnya anjing dengan babi dan pendapat ini lebih kuat serta dikuatkan oleh kebanyakan ‘ulama dimasa ini bahwa babi kenajisannya tidak sama dnegan anjing.

- Kesimpulannya adalah kenajisan anjing adalah najis mugholadoh (najis besar). Berbeda dengan babi yang najisnya najis biasa saja.



>>> Bagaimana Cara Pensucian dari Jilatan Anjing yang benar?

- Cucian 7x salah satunya dengan tanah. Kalimat salah satunya diambil dari hadits pada sebgaian rowayat, misal riwayat Imam Muslim dan ini merupakan riwayat yang paling kuat. Selain itu ada pada hadits Abdulloh bin Mughoffal rodhiyallohu ‘anhu dalam riwayat Muttafaqun ‘alaih, “Gosoklah yang kedelapan kalinya menggunakan tanah.”

- Pada sebgaian riwayat ducuci dengan tanah diawal dan akhirnya, ada juga salah satunya, akan tetapi yang mencuci diawal dan diakhir ada kelamahan dari sisi riwayatnya. Pendapat yang benar dan kuat adalah 2 riwayatnya ini, yaitu mencuci dengan tanah pada awalnya dan pada cucian yang ke-8. Dalam penjelasan hukum yang ada dalam 2 hadits yang mencuci diawal atau dicucian kedelapan dengan tanah, maka sepanjang keduanya bisa diamalkan dan dikompromikan, maka lakukanlah dan jangan ditolak. Oleh karena itu, mencuci najis anjing boleh menggunakan tanah dicucian yang pertama, dan boleh dicucian yang ke-8. Tapi, yang lebih enaknya dikebanyakan orang adalah mencuci dengan tanah dicucian yang pertama karena cucian yang kedua, ketiga akan menghilangkan tanah tersebut. Tapi, karena dalam hadits diterangkan kebolehan mencucinya dicucian yang ke-8, maka kita tidak menutup kemungkinan diperbolehkannya.

- Dan dalam hadist hanya tanah, bukan benda lain. Terbukti dari sisi kesehatan bahwa dalam tanah terdapat zat yang bisa membunuh kuman dan kotoran. Tidak ada pada benda yang lainnya. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan mencuci dengan tanah.

- Bagaimana jika dicuci dengan sabun atau benda lain yang dimakulmi (menjadi kebiasaan) ???? Jawabannya : Pembahasan mensucikan diri dari najis  bukan semata masalah ibadah yang harus dengan tanah. Hanya saja yang lebih afdholnya seseorang mencuci dengan tanah, kecuali kondisi tidak menemukan tanah. Sebagaimana dalam pembahasan mandi janabah tentang menggosok tangan ke tanah bisa diganti dengan sabun atau semisalnya.




19. Jumlah Cucian Terhadap Najis selain Najis Anjing dan Babi

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Cukup pada seluruh najis lainnya selain najis anjing dan babi dengan 3 cucian yang mensucikan.” Perkataan beliau ini merupakan pendapat sebagian ‘ulama Hanafilah bahwa mereka berpendapat mencuci najis tidak cukup hanya dengan 1x cucian.

- Ada pendapat lain dan ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama bahwa cukup dicuci 1x saja. Pendapat ini juga yang ditarjih (dikuatkan) oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashr As-Sa’di, Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin, dan selainnya.

- Dalilnya :
1.) Hadits tentang kisah kencingnya seorang ‘arobi yang cukup disiram dengan 1x timba ember.
2.) Hadits Ummu Salamah dalam riwayat Bukhory dan Muslim tentang mensucikan darah haid dimana menggosoknya, mencucinya, lalu dengan gosok, lalu dia cuci lalu dia sholat. Menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan mencuci itu sampai hilangnya najis. Jika najis bisa hilang dengan 1x cucian, maka sudah cukup. Dan ini ‘illah (sebab) umum dalam masalah najis karena maksud mensucikan najis menghilangkan najis. sepanjang najis sudah hilang, maka tidak masalah hanya dengan 1x pencucian saja.




20. Cara Bersuci Terhadap Najis Pada Tanah

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Apabila diatas bumi (maksudnya najis mengenai tanah), maka cukup dengan satu tuangan air yang menghilangkan ‘ain dari najis.”

- Contoh :
Ada air kencing ditanah. Maka, cukup dibersihkan dengan satu kali siraman air. Dalilnya hadits tentang kencing seorang badui , lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Tuangkan pada kencing ‘arobi itu dengan satu timba air!”.

- Ibnu Qudamah rohimahulloh membawakan makna lafadz hadits diatas dalam permasalahan ini.




21. Cara Bersuci terhadap Kencing Bayi Laki-laki yang Belum Mengkonsumsi Makanan Tetap

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Cukup pada Al-Ghulam (bayi laki2 dan tidak termasuk darinya bayi perempuan sebab bayi perempuan itu dicuci selamanya) yang belum makan makanan selain ASI.” Maksudnya makanan tetap, bukan yang hanya sesekali saja diberikan.

-  Jadi, najis yang diringankan pencuciannya adalah bayi laki-laki yang belum mempunyai makanan tetap, selain air susu ibu adalah cukup dengan dipercikkan saja. Kalau najisnya, para ‘ulama sepakat bahwa hal it najis, hanya saja cara pencuciannya yang diringankan.

- Dalilnya

Dari Ummu Qois binti Mihshon, bahwasanya ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil dan anaknya tersebut belum mengkonsumsi makanan. Ia membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. Anak tersebut akhirnya kencing di pakaian beliau. Beliau lantas meminta diambilkan air dan memercikkan bekas kencing tersebut tanpa mencucinya. 
(HR. Bukhari, No. 223 dan Muslim, No. 287).


- Dalam beberapa riwayat, dipercikkan pada kecing anak laki-laki dan dicuci pada anak perempuan. Hikmahnya mengapa kencing anak laki-laki cukup dengan dipercikkan saja adalah dimaklumi bahwa anak laki-laki itu nakal, bisa kemana-kemana kalau dia pipis sehingga syari’at memberikan keringanan. Berbeda dengan anak perempuan yang lebih mudah mensucikannya.




22. Cara Bersuci Terhadap Madzi

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Demikian pula dengan madzi”. Ibnu Qudamah menyamakan najisnya madzi dengan najisnya air kencing bayi laki-laki, yaitu najis mukhoffafah sehingga cukup dipercikkan saja dan ini pendapat sebagaian ‘ulama karena sebegaian riwayat yang kelihatannya mendukung pendapat ini, yaitu dalam Shohih Muslim tentang orang yang keluar darinya madzi, Nabi hanya  memerintahkan untuk berwudhu dan memercikkan (An-Nadhoh )saja. Tapi, pendapat ini tidak kuat karena An-Nadhoh bukan bermakna dipercikkan, tapi juga harus dicuci.



توضأ وانضح فرجك
“Berwudhulah dan basahi (perciki) kemaluanmu”


- An-Nadhoh  ini mempunya dua makna, yaitu
1. Mencuci.
2. Memercikkan.

- Beda dengan hadits Ummu Qo’is diatas dimana Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam me-nadzoh dan ada keterangan dikalimat selanjutnya, yaitu tidak mencucinya. Maka, An-Nadhoh dalam hadits Ummu Qo’is diatas maknanya adalah memercikkan. Ada pun pada hadits ini kita harus memeriksanya pada seluruh riwayat karena ada 2 kemungkinan dan untuk mencari mana yang lebih kuat. Riwayat Bukhori-Muslim lafadznya “Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu!” sehingga dari sini ‘ulama berpendapat bahwa najis madzi itu pertengahan dan sama dengan kebanyakan najis lainnya dan ini pendapat yang lebih kuat insya Alloh.




23. Hukum Madzi yang Sedikit

-Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Akan tetapi, dimaafkan dari hal yang sedikit.” dan dalam kaidah fiqih hal yang sedikit yang seseorang sulit berlepas darinya adalah hal dimaafkan.

- Dalilnya hadits Sahl bin Hanif,

“Aku seringkali keluar madzi, sehingga sering sekali mandi karenanya. Lalu kuceritakan hal ini kepada Rasulullah shallallaahu‘alaihi wasallam. Maka beliau berkata : “Kamu cukup mengambil air setelapak tangan, lalu kamu basahi pakaianmu yang terkena madzi itu sampai terlihat basah”
(HR. Ahmad dalam Musnad-nya, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dinilai hasan oleh Asy Syaikh Al Albani)


- Hadits Sahl bin hanif diatas menunjukkan bahwa hal yang ringan adalah dimaafkan sebagaimana akan datang pada pembahasan istinja’ dengan batu dimana telah dimaklumi dengan batu itu tidak mensucikan seluruhnya dan pasti ada yang tersisa. Tapi, yang sedikit ini dimaafkan dan kata Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sudah mencukupi beristinja’ dengan batu dan hal yang sedikit yang sulit seseorang berlepas darinya  adalah hal yang dimaafkan.




24. Hukum Darah yang Sedikit

- Dalam pembahasan ini terjadi silang pendapat dikalangan ‘ulama apakah darah itu najis atau bukan,. Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh bahwa darah yang sedikit adalah najis.

- Pendapat yang benar bahwa selain darah haid dan nifas bukan najis. Hanya saja bagi yang berpendapat bahwa darah itu najis, apabila darah itu sedikit maka dimaafkan sebgaiman darah haid jika sudah berusaha dibersihkan, tapi masih ada sedikit yang susah dihilangkan, maka dimaafkan.

- Dalilnya bahwa hal  yang sedikit dimaafkan dan tidak bisa seseorang berlepas darinya, yaitu :





“ALLOH tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
(Al-Baqarah : 286)




25. Hukum Nanah, Bisul, dan Semisalnya

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Demikan pula apa yang terlahir dari darah, nanah, bisul dan semisalnya.” Maksud perkataan beliau bahwa nanah, bisul, dan semisalnya dimaafkan kalau jumlahnya sedikit. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa itu najis dan ini merupakan silang pendapat dikalangan ‘ulama.

- Pendapat yang benar adalah nanah, bisul, dan semisalnya itu bukan najis. Sekarang timbul pertanyaan, ukuran yang sedikit itu yang seperti apa????




26. Ukuran Nanah, Bisul, dan Semisalnya yang dimaafkan

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Apa yang tidak terlalu jelek.” Maksudnya jumlahnya sedikit seperti bisul dijerawat. Kalau bisulnya besar, tidak dimaafkan. dan pendapat beliau ini dibangun diatas pendapat kalau nanah dan bisul itu najis.

- Akan tetapi, pendapat yang benar bahwa bisul, nanah, dan semisalnya itu bukan najis karena tidak ada dalil yang kuat yang menjelaskan kenajisannya dan sesuatu itu tidak dihukumi najis hingga ada dalil yang menajiskannya.




27. Hukum Mani Anak Adam

- Mani anak Adam juga dimaafkan karena suci dan ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam sejumlah riwayat Bukhori dan Muslim pernah terkena mani di pakaian beliau.




28. Hukum Kencing Hewan yang Dagingnya dimakan

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Air kencing hewan yang dimakan dagingnya adalah suci.” Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah najis. Terjadi silang pendapat dikalangan ‘ulama dan telah berlalu dalam pembahasan Kitab Ad Durorul Bahiyah bahwa selain kencing manusia tidak disebutkan najisnya, kecuali ada dalil yang menjelaskan kenajisannya dan secara umum kencing hewan yang dimakan dagingnya adalah tidak najis karena tidak ada dalilnya. Oleh karena itu, diperbolehkan sholat dikandang kambing sebagaimana hadits dibawah ini.



صَلُّوا فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلَا تُصَلُّوا فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ

Dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu dia berkata bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sholatlah kalian di kandang kambing dan jangan kalian shalat di tempat menderumnya unta.”
(HR. At-Tirmizi, No. 348)






…. Selesai Bab Hukum-hukum Seputar Air …






[Faidah dari Al Ustad Dzulqornain bin Muhammad Sunusi hafizhohulloh dalam Pembahasan Kitab ‘Umdatul Fiqh, 2012]
____________________________________________________________



Tidak ada komentar: