Selasa, 17 Juni 2014

Faidah Dauroh "Kitabul 'Ilmy"

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ



...Catatan Dars...


- Ketahuilah bahwa cakupan ilmu syari’at sangatlah luas dan saking luasnya, maka seseorang dituntut untuk memiliki METODE yang dengannya ia bisa mengambil pokok-pokok dari ilmu agama. Sebagai contoh : bahasa Arab yang memiliki 12 cabang dan ilmu Nahwu termasuk di dalamnya. Ilmu Hadits sampai Al-Hazimi berkata, “Ilmu hadits memiliki 70 cabang. Andai dia menghabiskan seluruh umurnya untuk mempelajari 1 cabang saja, maka dia tidak akan sampai kepada ujungnya.”


- Dalam sebuah sya’ir dikatakan, “Sesungguhnya ilmu tidak bisa didapatkan seluruhnya. Tidak akan mampu ia mencapainya, walau dengan mempelajarinya selama SERIBU tahun. Ilmu bagaikan lautan yang sangat dalam, maka ambillah dari setiap ilmu yang baiknya.” Maksudnya ambillah ilmu mulai dari yang terpenting, lalu yang terpenting setelahnya. Memulai dari yang dasar yang diatasnya ia membangun sebuah bangunan. Ibarat sebuah bangunan, yang pertama kali dibangun adalah pondasinya. Jika pondasinya lemah, maka bangunan tersebut lambat laun akan runtuh.


- Tingkatan manusia dalam hal ilmu berjenjang-jenjang karena ilmu syari’at adalah rahmat dan karunia Alloh yang Alloh berikan berbeda antara manusia satu dengan yang lainnya. Tidak boleh ada hasad di dalamnya karena hasad bukanlah akhlaknya para penuntut ilmu. Alloh jugalah yang paling mengetahui diantara hamba-hamba-NYA kepada siapakah anugerah dan kebaikan itu DIA berikan. Kata Alloh, “Apakah mereka hasad terhadap keutamaan yang Aku berikan? Sungguh kami memberikan KITAB dan HIKMAH kepada Ibrohim dan untuknya kekuasaan yang sangat besar.”


- Ilmu didapatkan dengan usaha, pengorbanan, keseriusan, dan kesungguhan. Sebagaimana besarnya pengorbanan dan usaha kita mendapatkan ilmu, maka sebesar itulah ilmu yang kita dapatkan. Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu (seorang sahabat Nabi sekaligus ahli tafsirnya), beliau ini memiliki ilmu yang luas. Hal itu sebanding dengan usaha yang beliau keluarkan untuk mendapatkan ilmu. Beliau mendatangi rumah-rumah para sahabat dan rela bersusah payah menunggu lama bahkan hingga semalaman di depan pintu rumah mereka demi mendapatkan ilmu, karena besarnya penghormatan dan penghargaan beliau terhadap ilmu agama.


- Dahulu para Salaf ilmunya lebih banyak, lebih barokah, dan lebih banyak manfaatnya. Mereka sedikit berbicara, tapi penuh dengan ilmu. Berbeda dengan kita, lebih banyak berbicaranya, tapi sedikit manfaatnya. Apa yang mempengaruhi? Yang mempengaruhi adalah perbedaan besarnya pengorbanan orang-orang terdahulu dengan kita dalam belajar. Dahulu mereka mencari sesuatu dengan bersusah payah bahkan dengan sesuatu yang –mungkin- diluar akal manusia. Meninggalkan keluarga, berjalan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga pantas jika Alloh memberkahi ilmu mereka. Ada pun sekarang, fasilitas untuk belajar banyak, Alloh mudahkan dengan sesuatu yang tidak Alloh mudahkan di tempat-tempat sebelumnya. Tapi, bersamaan dengan itu kejahilannya pun semakin banyak. Berkah ilmu yang didapatkan juga sedikit. 


-- Imam Asy-Sya’bi pernah ditanya, “Darimana engkau mendapatkan ilmu yang sedemikian banyaknya?” Beliau menjawab, “Dengan berpagi hari laksana burung gagak, dengan perjalanan ke berbagai negeri, menghilangkan sifat bersandar kepada diri, dan bergadang ditengah malam.” Imam Asy-Sya’bi ini seorang tabi’in dan ahli fatwa. Padahal ketika itu banyak sahabat Nabi yang masih hidup, tapi beliau dijadikan rujukan dalam berfatwa karena luasnya ilmu beliau. Dalam pelajaran ilmu hadits, Imam Asy-Sya’bi juga tidak pernah mencatat. Beliau hanya mengandalkan hafalannya. Kata beliau, “Saya tidak pernah menulis hitam di atas putih.” Hal lain yang menunjukkan kefaqih-an beliau dalam ilmu agama, beliau pernah berkata, “Telah luput dari saya perkara yang telah saya hafalkan. Kalau apa yang terluput dari saya itu dihafalkan oleh seseorang, maka dia akan menjadi seorang yang ‘alim.”


- Dalam sebuah sya’ir disebutkan, “Jadilah engkau laki-laki yang kakinya berpijak di bumi, tapi cita-citanya setinggi bintang Tsurayya.” dalam menuntut ilmu perlu semangat, pengorbanan, dan do’a agar diberikan taufiq (pertolongan) dan kemudahan dalam belajar karena ilmu adalah sesuatu yang tinggi sehingga harus tinggi pula semangat kita dalam mencapainya.


- QS Thoha : “Wahai Muhammad, katakanlah kepada Robb-mu, “Wahai Robb-ku, tambahkanlah ilmuku.” Seorang hamba tidak akan pernah merasa cukup dengan ilmu yang ia dapatkan. Semakin ia belajar, semakin ia menyadari ilmu yang dituntutnya masihlah kurang sehingga ia harus belajar dan belajar. Contoh para ‘ulama kita dimasa sekarang. Usia mereka sudah tidak lagi muda, tapi semangat mereka dalam mempelajari syari’at ini terus ada. Membaca, menulis kitab, mengumpulkan fawaid, dan lain-lain.


- Keistimewaan ilmu : Kalau kita sudah mempelajari ilmu syari’at, maka akan muncul kebahagiaan ketika mempelajarinya. Apabila dipisahkan, seakan ia seperti berada dalam jurang kebinasaan atau seperti ikan yang dipisahkan dari airnya. Contoh dari para salaf dimana mereka telah merasakan manisnya menuntut ilmu adalah kisahnya Yahya bin Ma’in ketika beliau berjumpa dengan Imam Ahmad di depan masjid selepas sholat isya’. Akhirnya mereka pun saling mudzakaroh (mengulangi ilmu), saling bertukar hadits yang telah dihafalkan, hingga tidak mereka sadari kalau waktu shubuh telah tiba. Perhatikanlah! Semangat mereka itu muncul karena mereka telah merasakan kelezatan dan manisnya menuntut ilmu …


- Al Hasan Al Bashri berkata, “Andaikan para raja mengetahui kenikmatan yang kita dapatkan ….. Andaikan para anak raja mengetahui kenikmatan yang kita dapatkan ….. Niscaya mereka akan mencabuk kita dengan pedangnya karena HASAD dengan apa yang kita dapatkan.”


- Suatu hari budak wanita dari Harun Ar-Rosyid sedang menengok ke jendela istana. Ia melihat seakan ada gumpalan debu dari kejauhan. Semakin dekat, nampak olehnya seseorang yang diikuti oleh sekumpulan manusia. Maka, wanita itu pun bertanya kepada pengawal yang berada di bawah, “Siapakah laki-laki itu?”. Pengawal menjawab, “Abdulloh bin Mubarok, seorang ‘alim dari negeri Khurosan.” Budak wanita itu berkata lagi, “Demi Alloh, itulah yang dinamakan kerajaan, Bukan kerajaannya Harun Ar-Rosyid.” ==> Orang-orang mengikuti beliau bukan karena kedudukan atau kekayaan, tapi karena ilmu yang beliau miliki.


- Terkadang pada awal kali belajar, kita tidak menyadari hakikat dari ilmu itu seperti apa. Justru kita baru menyadarinya setelah sekian lama berinteraksi dengan ilmu sehingga kita baru menyadari sampai dimana batas dan kadar diri kita. Ilmu juga mengajarkan kepada sesuatu yang awalnya tidak kita ketahui ketika menuntutnya. Tetapi, seiring dengan belajarnya kita, kita jadi paham letak kekeliruan kita. Sebagaimana Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu kami menuntut ilmu bukan karena Alloh (mungkin karena riya’, ingin terlihat lebih pandai, dsb). Setelah kami mempejarinya, ternyata ilmu itu tidak mau dituntut kecuali hanya untuk Alloh. Maka, kami pun mengikhlaskan diri kami hanya untuk Alloh.”


[Faidah dari Al Ustadz Dzulqornain dalam Dauroh "Kitabul 'Ilmy" @Masjid Jajar, Surakarta, 2010]



QUOTE : 
Suatu hari Syaikh Muqbil -rohimahulloh- pernah bertanya kepada muridnya,  
Syaikh : "Kamu ingin menjadi seperti siapa? Syaikh Al-Albani atau Syaikh bin Baaz?"  
Murid : (menjawab, tapi Ustadz lupa jawaban si murid)  
Syaikh : "SALAH!! HARUSNYA KAMU BERCITA-CITA UNTUK MENJADI LEBIH 'ALIM DARI MEREKA!!"  
***
Ibnu Hajar Al-Asqolani -rohimahulloh- ketika mau minum air zam-zam, beliau berdo'a, "Ya Alloh, sampaikanlah aku pada tingkatan Adz-Dzahabi dan Al-Mizzi." Dan do'a beliau terkabul. 

 ***Jadi, harus punya hirsy (semangat) yang tinggi***



~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~0000~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tidak ada komentar: