........................
Bismillaahirrohmanirrohiim,
Setiap datang Romadhon,
hendaklah seseorang mempersiapkan
dirinya...
Jika terbersit dalam hatinya untuk
melakukan kemaksiatan,
maka kurangilah...
Lihatlah, bagaimana teladan para Salaf ketika Romadhon tiba ..
- Diantara mereka ada yang mengurung dirinya
mengkhususkan untuk beribadah
- Berpaling dari kesibukan dunia, fokus pada amalan
akhirat, memutus syahwatnya
- Mereka isi seluruh Romadhon mereka dengan amal-amal
ketaatan : sholat, shodaqoh, perbuatan-perbuatan yang baik
- Dan diantara mereka memperbanyak do'a ketika
Romadhon tiba dan bersedih tatkala harus berpisah dengan Romadhon.
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir bahwa diantara do'a
para Sahabat ketika datang Romadhon, "Ya Alloh, sampaikanlah aku kepada
bulan Romadhon dengan selamat, selamatkanlah Romadhon untukku, dan
selamatkanlah aku hingga di penghujung Romadhon." Sebab Romadhon adalah
bekal mereka untuk mengumpulkan pahala yang berlimpah.
... Dan diantara amalan-amalan para Salaf di bulan
Romadhon :
>>> Menjadikan Romadhon sebagai Syahrul
Qur'an
Nabi Shollallohu 'alaihi wa Sallam selalu menyibukkan
harinya dengan tilawah. Menjadikan Al-Qur'an bukan hanya sebagai sesuatu yang
dibaca, tetapi juga ditadabburi. Sebagaimana akhlak beliau itu digambarkan
dalam sebuah hadits. Dari Ibnu Mas'ud rodhiyallohu 'anhu,
beliau berkata, “Suatu hari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadaku, “Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku.” Maka aku katakan kepada beliau,
“Wahai Rosululloh, saya membacakan Al-Qur’an kepadamu, sementara Al-Qur’an
diturunkan kepada engkau?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang
mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka aku pun mulai membacakan kepada
beliau surat An-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai pada ayat yang
berbunyi, “Bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami
jadikan engkau sebagai saksi atas mereka?” (QS. An-Nisaa’ : 40). Maka, beliau
Shollallohu ‘alaihi wa Sallam berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku
pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau basah karena menangis.
Beliau Shollallohu ‘alaihi wa Sallam terbiasa membaca
ayat-ayat Al-Qur’an yang panjang ketika sholat malam. Setiap datang ayat-ayat
Surga, Neraka, atau azab beliau menangis. Ketika membaca ayat-ayat tentang
nikmat, beliau berhenti karena takut amal dan ibadah beliau sedikit sehingga
tidak dapat merasakan nikmat Alloh di Surga.
Dahulu ada seorang ulama bernama Manshur bin
Mu’tamir. Setiap malam datang tetangganya melihat seperti ada tiang di
dalam rumah beliau karena saking lamanya berdiri. Ketika Manshur meninggal,
tetangganya tidak pernah lagi melihat tiang tersebut. Kemudian tetangganya itu
bertanya kepada Ibunda Manshur, “Kemana tiang yang berada di lantai atas rumah
kalian?” Ternyata tiang yang dahulu selalu ia lihat sepanjang malam itu adalah
Manshur bin Mu’tamir yang senantiasa sholat sepanjang malamnya.
Dahulu juga ada seorang ulama yang ditanya oleh
anaknya, “Bagaimana caranya agar seseorang itu menangis ketika sholat?” Sang
ayah menjawab, “Tadabburi-lah Al-Qur’an!” Maka, ketika sang anak sholat malam
bersama ayahnya dan ketika sampai pada ayat-ayat azab, sang anak menangis
hingga terjatuh dan tak lama ia pun meninggal.
Ketika datang ayat-ayat azab, lewat begitu saja
seolah-olah kita selamat dari azab Alloh. Ketika datang ayat-ayat nikmat,
seolah-olah kita yang mendapat nikmat.
“ Sungguh ada salah seorang diantara kalian yang
melakukan amalan-amalan penghuni Surga hingga jarak antara dia dengan
Surga hanya sehasta, namun takdir telah mendahului dia sehingga dia pun
melakukan amalan penghuni Neraka dan dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh ada
salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan penghuni Neraka hingga
jarak antara dia dengan Neraka hanya sehasta, namun kemudian takdir
mendahuluinya sehingga dia pun melakukan amalan penghuni Surga dan dia pun
masuk ke dalamnya. " [HR. Bukhory dan Muslim]
Ketika turun ayat-ayat Alloh, apakah dengan
penyampaian ayat itu kalian hanya TERKAGUM-KAGUM SAJA DAN SAMA SEKALI TIDAK
MENANGIS?
Dan diantara teladan para salaf yang menunjukkan
kelembutan hati mereka ketika mendengar ayat-ayat Alloh adalah kisahnya
para penduduk Ahli Suffah. Dalilnya telah menceritakan dari Abu Hurairah
rodhiyallohu ‘anhu, ketika turun ayat (QS. An-Najm : 59-60), para penduduk Ahli
Suffah menangis hingga air mata mereka membasahi imamah mereka. Ketika
Nabi mendengar tangisan mereka, Nabi menangis bersama mereka, maka kami pun
ikut menangis bersama Nabi. Lalu Nabi berkata, “Tidak akan disentuh api Neraka
orang yang menangis karena takut kepada Alloh. Seandainya kalian tidak
melakukan dosa, niscaya Alloh akan datangkan kaum yang melakukannya sehingga
mereka meminta ampun, lantas Allah mengampuni mereka.” [HR. Al-Baihaqi 1/489]
Demikianlah Imam Malik rohimahulloh (Imam
Darul Hijroh) ketika Romadhon tiba, beliau tidak duduk di kursi beliau
untuk mengajar, tidak datang ke majelis ilmu, tapi beliau sibukkan diri beliau
dengan Al-Qur’an.
Imam Sufyan Ats-Tsauri rohimahulloh
apabila Romadhon datang, beliau tinggalkan seluruh murid-murid, keluarga, dan
majelis beliau lalu beliau fokuskan diri beliau untuk membaca Al-Qur’an.
>>> Menghidupkan Amalan Mereka dengan Qiyamul
Lail
Ada yang di pagi hari wajahnya pucat karena tidak
tidur.
Ada yang sehabis sholat isya’ mereka tidur lalu bangun
untuk sholat malam hingga waktu sahur tiba.
Semua semata-mata karena mengharapkan pahala yang
dijanjikan Alloh.
Dalam hadits disebutkan bahwa Puasa dan Al-Qur’an akan
menjadi syafaat bagi orang yang melakukannya. Puasa memohon kepada Alloh agar
diizinkan memberi syafaat karena dengan sebab puasalah seorang hamba
meninggalkan syahwatnya. Demikian pula Al-Qur’an memohon agar diizinkan memberi
syafaat kepada orang yang menghidupkan malamnya dengan Al-Qur’an karena dengan
sebab Al-Qur’an lah seorang hamba terhalangi dari tidurnya. Maka, puasa dan
Al-Qur’an memohon agar diizinkan memberi syafaat kepada orang yang
melakukannya. ( Al-Hadits )
Tetapi, sholat malam bukanlah perkara yang mudah. Kata Imam
Al-Hasan, “ Dari seluruh ibadah yang aku kerjakan, tidak ada yang lebih
berat daripada menghidupkan sholat malam.”
Sholat malam adalah sifat orang-orang yang bertaqwa,
sifatnya para Nabi dan Rosul. Butuh kezuhud-an dan kesungguhan untuk
mengerjakannya. Tetapi, di bulan Romadhon, kita diberikan kemudahan untuk
melakukkannya tinggal masalahnya mau melakukan atau tidak.
Kata Ibnu Musayyab, “Bahwa seseorang yang
rutin mengerjakan sholat malam, maka setiap orang yang memandangnya akan merasa
cinta kepada dirinya.”
Kata Imam Hasan, “ Bahwa orang yang
mengerjakannya akan terlihat cahaya dari wajahnya.”
Dahulu ada seorang ulama yang ditanya bagaimana
menjaga sholat malam agar kita bias rutin mengerjakannya karena orang tersebut
merasa kesulitan untuk menghidupkannya. Kata beliau, “Saya memaksa diri saya
selama 40 tahun lamanya untuk mengerjakan sholat malam. Maka, setelah 40 tahun
berlalu, barulah jiwa saya terbiasa dan istiqomah dalam mengerjakannya.” Dan
ulama yang lain, “ Saya memaksakan diri saya selama 20 tahun lamanya untuk
sholat malam. Maka, setelah 20 tahun lamanya barulah saya merasakan nikmatnya
qiyamul lail.” Perhatikan, setelah berlalu 40 tahun, barulah jiwanya
terbiasa dengan sholat malam,,,
Oleh karena itu, jangan sampai seorang tholibul ilmi
dia tertipu menyibukkan malamnya dengan menulis ilmu, tapi lalai dengan sholat
malamnya.
Tidaklah seorang Ahli Ibadah
dikenal,
Melainkan ia juga dikenal sebagai
Ahlul Ilmi.
Demikian pula, tidaklah seorang
Ahlul Ilmi dikenal,
melainkan ia juga dikenal sebagai
Ahli Ibadah.
Setelah mengenal hadits dan memahami syariat, Imam Ahmad rohimahulloh
tidak ada satu malam pun yang beliau hidupkan, kecuali dengan sholat.
Demikian pula dengan Imam Malik yang
menghidupkan malamnya hingga para tamu yang menginap di rumah beliau bertanya
kapan Imam Malik beristirahat karena beliau di malam hari menghidupkan malamnya
dengan sholat dan di siang hari beliau pergi ke majelis.
Atsar para Salaf terdahulu, “ Ketika malam datang,
barulah kami terbangun.”
Suatu hari ada seseorang yang mengeluhkan kepada Ibrohim
Ibnu Adam tentang ketidakmampuannya mengerjakan sholat malam.
Baru bangun sudah mengantuk. Maka, Ibrohim Ibnu Adam memberi nasihat,
“Obatilah rasa sulit engkau dalam qiyamul lalil dengan tidak bermaksiat kepada
Alloh di waktu siang. Dan janganlah engkau bermaksiat di malam hari karena
sesungguhnya hanya Alloh lah yang dapat membangunkanmu di malam hari.”
Kata Imam Sufyan Ats-Tsauri rohimahulloh,
“ Selama 5 bulan lamanya, saya tidak sanggup untuk mengerjakan sholat malam
karena sebuah dosa yang saya lakukan.”
>>> Memperbanyak Celah-celah Kebaikan
Ketika Romadhon datang, Imam Malik rohimahulloh
meninggalkan majelis beliau dan mengkhusukan Romadhon untuk banyak mentadabburi
Al-Qur’an.
Demikian pula Umar bin Khoththob rodhiyallohu
‘anhu. Beliau memperbanyak amal-amal sholih. Tidak berbuka puasa, kecuali
bersama anak-anak yatim karena pada amalan tersebut terdapat 2 kebaikan, yakni
(1). Shodaqoh, dan (2). Kasih saying kepada anak yatim. Dikisahkan bahwa suatu
ketika Umar bin Khoththob pernah datang terlambat ketika hari berbuka tiba.
Karena ketika itu beliau sedang tidak berada di rumah, maka ketika anak-anak
yatim datang ke rumah beliau, maka keluarganya beliau pun menolaknya.
Mengetahui hal itu, Umar pun kembali ke luar dan pergi berbuaka puasa bersama
anak-anak yatim dan tidak dengan keluarganya. Apa yang menjadi motivasi
beliau??? Semata-mata karena ingin memperbanyak amal-amal kebaikan di bulan
Romadhon. Sampai kepada hal-hal yang paling ringan sekali pun.
Hal yang sama dilakukan oleh Imam Ahmad, Malik
bin Dinar yang mengundang saudaranya untuk berbuka di rumahnya.
Bagaimana teladan para Salaf yang lebih mendahulukan saudaranya. Bahkan
saudara-saudara mereka yang tidak berpuasa pun, tetap mereka undang untuk makan
bersama.
Dan kekurangan harta, tidaklah menghalangi mereka
untuk bershodaqoh. Lihatlah bagaimana para ulama kita terdahulu tetap
mengundang saudara-saudaranya untuk berbuka di rumahnya WALAUPUN hanya dengan
roti kering kering atau segelas air putih. Padahal sudah menjadi hal yang
lumrah ketika seseorang diundang untuk berbuka puasa, biasanya orang mengira
akan ada banyak makanan lezat disajikan. Akan tetapi, para ulama kita dahulu
tidak. Apa yang bisa mereka berikan untuk orang lain sebagai makanan berbuka,
maka akan mereka berikan. Walaupun itu hanya SEBONGKAH ROTI KERING saja. Sampai-sampai
orang yang mereka undang pun memakannya sedikit-demi sedikit karena mengira
hidangan yang disajikan ketika itu barulah hidangan pembuka. Tapi, apa yang
para Salaf kita katakan, “ Makanlah! Ayo, makan! Habiskan! Karena hanya itu
hidangan untuk kita berbuka puasa hari ini! “ Perhatikan, padahal ada diantara
mereka yang tidak memiliki harta, tapi kekurangan tidaklah menjadi penghalang
mereka untuk berlomba dalam kebaikan.
Demikianlah terkadang kita mengundang orang-orang yang
sebetulnya tidak terlalu butuh untuk diundang berbuka puasa. Oleh karena itu, Umar
bin Khoththob dan Ibnu Abbas, Atho’, dan selainnya lebih
mendahulukan untuk memberi makan kepada orang-orang fakir.
>>> Tidak Memperbanyak Makan ketika Romadhon
Mereka memperbanyak makan ketika hari Ied, bukan
ketika Romadhon.
Muhammad Ibnu Abi Ayub ketika
Romadhon datang. Beliau tidak makan kecuali dengan 2 jenis makanan saja.
Abul Abbas Al Qossim mengajak saudara-saudara
beliau untuk berbuka puasa di rumahnya. Kata beliau, “ Duduklah dahulu. Jangan
pergi.” Lalu beliau pun menyajikan roti kering dan air putih.
Faidah terakhir yang bisa saya ambil dari kajian hari
itu yang ini penting sekali untuk kita perhatikan bahwa :
Ketika berpuasa, jauhilah majelis-majelis ghibah.
Ingatlah bahwa itu adalah dosa besar. Ketika orang lain membicarakan keburukan
kita, artinya orang itu sudah 1 tingkat lebih buruk dari kita. Dari Atho’
dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu bahwa “Apabila engkau berpuasa, janganlah
engkau membalas perkataan buruk dengan perkataan buruk juga. Kalau ada
seseorang menjelek-jelekkan kita, janganlah engkau balas.”
Ada 1 nasihat yang juga patut kita perhatikan. Ada
ulama yang berpendapat bahwa tidak sah puasa seseorang jika dia ber-ghibah. Walaupun,
pendapat ini menyelisihi, tapi coba perhatikan pendapat ulama tersebut yang itu
menunjukkan besarnya dosa ghibah hingga ulama itu ber-istinbath bahwa tidak sah
puasa seseorang yang melakukan ghibah.
Akhir kata, kajian ini sebenarnya bagus sekali. Ketika Ustadz menyampaikan feel-nya dapat sekali. Jika ditulis rasanya kurang / tidak menggugah jiwa. Tapi, ketika mendengarkan langsung, Masya Alloh ...
[ Faidah Kajian dari Al Ustadz Rizky Ariesta
hafizhahullah ]
_____________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar