Jumat, 25 September 2015

Bingkai Syariat Seputar Amarah







Bismillaahirrohmaanirrohiim,

 “ Tidak ada satupun yang akan memberatkan timbangan kebaikan seorang hamba mukmin pada hari kiamat selain dari AKHLAQ yang baik.” 
[HR. Tirmidzi, dari sahabat Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu]

----------------------------------





... MUQODDIMAH ....

Akhlak dan adab mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama kita. Ia adalah sesuatu yang tidak boleh kita remehkan. Mengapa? Karena pada aqidah yang baik akan memancarkan akhlak yang baik. Dari akhlaq yang baik akan terpancar muamalah yang benar. Betapa banyak Islam ini dicela oleh orang-orang yang mengatasnamakan Islam karena buruknya adab dan akhlak mereka.


Para ulama memasukkan pembahasan adab dan akhlak dalam pembahasan aqidah dan manhaj.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh dalam Kitab beliau Al Aqidah Al Wasitihiyyah yang merupakan kitab aqidah, kitab manhaj yang membedakan aqidahnya Ahlussunnah dengan yang orang-orang yang bathil, kitab aqidah yang bisa dibangun darinya ijma para salaf. Beliau berkata, “ Ahlussunnah mengajak kepada makarimil akhlak. Termasuk aqidah Ahlussunnah mengajak kepada kebaikan akhlak, perbaikan amal, bahkan meyakini sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bahwa  mukmin yang sempurna keimanannya adalah yang baik akhlaknya. Termasuk pula I’tiqod (keyakinan) Ahlussuunnah adalah mendakwahkan akhlaq.”


Berdakwah tentang akhlak bisa melalui lisan atau perbuatan. Maka, orang yang benar-benar memahami Al Qur’an dan Sunnah, yang benar manhajnya, adab dan akhlaknya akan baik karena dia tahu bahwa adab dan akhlak termasuk bagian dari manhaj Ahlussunnah.


Ada sekitar lima ribu orang yang menghadiri majelisnya  Imam Ahmad rohimahulloh. Mereka hadir tanpa mikrofon, tanpa ada wasilah untuk mempromosikannya, tapi bisa hadir lima ribu orang. Para ulama menjelaskan diantara lima ribu orang yang hadir yang mencatat dengan pena hanya sekitar lima ratus orang, selebihnya memperhatikan bagaimana adabnya Imam Ahmad. Tapi, bukan berarti mereka jiping (mengaji kuping).  Hal itu karena mereka ingin sebelum mereka mempelajari ilmu ke tingkatan yang tinggi, seperti ilmu hadits, ilmu jarh wa ta’dil, mereka terlebih dahulu mempelajari adab beliau. Imam Ahmad juga termasuk Imam Jarh wa Ta’dil.


Maka, dapat kita simpulkan bahwa mempelajari adab adalah manhajnya para Salafuna Sholih. Lebih dari itu Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada kita agar memasuki Islam secara kaffah karena Islam adalah agama yang sempurna dari berbagai sisi : aqidah, manhaj, adab, akhlak.



Akhlaq terbagi menjadi 2 :

1. Akhlaq Jibiliyyah, yaitu akhlak yang sudah tercipta dengan baik 

Dalilnya :
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada sahabat Al Asyaj bin Qois, “ Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Alloh, yaitu sabar (Al Hilm) dan tenang (Al Anah). Al Asaj bin Qais berkata, ‘Wahai Rosululloh, apakah dua perangai itu saya yang mengusahakan untuk berakhlak sabar dan tenang ataukah Alloh telah ciptakan keduanya untukku? Beliau bersabda, “Alloh telah menciptakanmu dalam keadaan berakhlak sabar dan tenang .” Lalu Asyaj bin Qois berkata, “Segala puji bagi Alloh yang telah menciptakanku di atas 2 akhlaq yang dicintai-NYA.”


2. Akhlaq Mu’tasabah, yaitu akhlaq yang didapat dengan cara berlatih dan diusahakan. Seperti orang pintar yang bisa pintar dengan sebab belajar. Seperti halnya juga orang yang mendengar hadits. Ada yang sekali dengar langsung hafal, ada yang berpuluh-puluh kali mendengar baru hafal. Seperti itulah perumpamaan akhlak. Bertingkat-tingkat.


Keduanya harus diperbaiki sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Maka, ada sifat yang terkadang harus diusahakan dan harus dirubah. Apakah mungkin sifat yang kasar, keras, nan kaku kita biarkan ada di dalam diri kita dan orang lain?

Kalau ingin membiarkan sifat buruk terus ada dalam diri kita, ada baiknya menengok sejenak kisah Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhu sebelum beliau masuk islam. 



Dulu beliau adalah orang yang sangat keras. Saking kerasnya jika ada orang yang masuk Islam, maka beliau orang pertama yang akan memberi hukuman. Sampai ada seorang budak yang masuk Islam menyembunyikan keislamannya karena takut dengan beliau. Jadi, dahulu manusia banyak yang setelah masuk islam menyembunyikan keislamannya karena takut dengan siksaan beliau. Dan tatkala Umar masuk islam, beliau menantang dengan mengetuk pintu rumah Abu Jahl, “ Ya abu Jahl saya Umar dan saya telah masuk islam.” Abu jahl hanya menutup pintunya. Tetapi, setelah Umar masuk Islam, beliau mendapat celupan-celupan agama. Shibghotallooh..  Jadilah beliau orang yang paling lembut, paling mudah menangis, bahkan menjadi sahabat terbaik setelah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Inilah yang diinginkan dari perubahan akhlak yang buruk kepada akhlak yang baik.



Kalau ditanya mana yang lebih enak? Semuanya tergantung.


Ada orang yang sifat bawaannya tidak bisa marah, jadi kemungkinan dia tidak bisa menikmati bagaimana susahnya menahan marah. Orang yang sering marah, maka terbuka  lahan ibadah untuknya dari arah menahan amarah. Tidak menahan marah, tidak ada pahala dari sisi menahan marah. Walaupun, kita katakan nikmat tertinggi dari akhlak yang baik adalah akhlaq berupa tabiat. Tetapi, jika Alloh memberi sesuatu yang kita anggap sebagai kekurangan, jadikanlah ia sebagai kelebihan.


Contoh :
Pemarah, pemalas è Harus dilawan, jangan dibiarkan.


Sifat jelek jika dibiarkan => menjadi tabiat => setelah jadi tabiat, jadi penyakit => maka, obatnya banyak tidak bisa sedikit.




.. PEMBAHASAN AKHLAQ BAIK KALI INI ADALAH TENTANG MARAH ..


Abdulloh bin Mubarok
 (seorang tabi’in, Qurun Mufadholah –generasi terbaik--) pernah ditanya oleh seseorang, “ Kumpulkan padaku 1 kalimat yang mengumpulkan semua akhlaq yang baik.” Kata beliau, “ Tingggalkan marah. “


Imam ahmad dan Ishaq bin Rowuyah juga menafsirkan akhlak yang baik adalah meninggalkan marah.


Sebagian para sahabat berkata bahwa marah mengumpukan semua kejelekan.

Banyak kejelekan muncul dikarenakan marah. Contoh :

- Dendam karena ada marah,
- Ghibah karena ada marah,
- Membunuh, memukul, merampas harta, merampas hak orang lain karena ada marah.


Sampai Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam Al- Fawaid menyebutkan bahwa pondasi kekaifran ada empat. Tiap orang yang melakukan kekafiran tidak akan keluar dari 4 pondasi ini, yaitu 

1.     Al-Kibr (sombong). Iblis kafir karena kesombongannya
2.     Hasad (iri)
3.     Ghodhob (marah), dan
4.     Syahwat


Dalam kesempatan lain, masih dalam Al Fawaid, bahwa termasuk Ushul (pondasi) kemaksiatan (baik maksiat yang kecil atau yang besar) penyebabnya adalah salah 1 dari 3 perkara dibawah ini :

1.     Ketergantungan hati kepada selain Alloh sehingga lahir kesyirikan
2.     Mengikuti kekuatan emosional sehingga lahir kezholiman
3.     Mengikuti kekuatan syahwat sehingga lahir fahisyah (perbuatan keji), seperti zina


Marah bisa membuat seseorang tidak peduli dengan kata-kata yang keluar dari lisannya. Bisa membuat ia tidak peduli jika harus menjatuhkan orang yang ia benci. Maka, tidak salah jika sebagian sahabat mengatakan bahwa kekuatan marah mengumpulkan semua kejelekan. Puncak kebaikannya adalah meningggalkan marah.


Marah tidak terkendali berarti tidak bisa mengendalikan dirinya. Tidak bisa mengendalikan dirinya, berarti sedang dikendalikan Syaithon.



A. Definisi Marah

Sebagian ulama berkata : Marah adalah bergejolaknya jiwa yang mengantarkan untuk menyakiti atau menghukum orang lain.


Definisi lain : Marah adalah gejolak dalam jiwa yang mengakibatkan perubahan tingkah laku yang ditandai dengan memerahnya wajah, keluarnya urat leher, mendidihnya darah, dan memerahnya mata.


Dapat menahan marah adalah ciri orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang telah berbuat  ihsan. “ … (yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik pada waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Sungguh, Alloh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali Imron : 134).


Marah berarti sedang menampakkan kadar dirinya di sisi Alloh…

Mempertontonkan jiwanya yang sakit..

Menunjukkan dirinya yang lemah karena orang yang KUAT adalah orang yang dapat menahan marahnya…


Semua orang bisa menturuti emosinya. Contoh anak bayi, anak kecil. Mereka menangis untuk menunjukkan emosisnya karena sesuatu. Apakah mereka bisa menahannya? Tidak, karena belum sempurna akal mereka. Maka, seperti itulah marah. Hakikatnya menampakkan kekerdilan dirinya. Lalu apa bedanya dengan anak kecil?

Dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata berkata, "Seorang laki-laki menemui Rosulullah Shollallohu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rosululloh, ajari aku sebuah kalimat sehingga aku dapat menghafal dan memahaminya, namun jangan terlalu banyak hingga aku melupakannya!” Kemudian Rosulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah kamu marah." [HR. Bukhory, No.6616].


Dalam lafazh lain, riwayat Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata berkata, "Seorang laki-laki menemui Rosulullah Shollallohu 'alaihi wa sallam dan berkata, ‘“Wahai Rosululloh, tunjukilah aku sebuah amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga!” Kemudian Rosulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah kamu marah dan bagimu surga,” [HR. Thobroni]


Faidahnya :
Semangat para sahabat ketika bertanya suatu amalan yang ditanyakan adalah amalan yang akan memasukkan mereka ke dalam Surga. Tidak terlalu banyak amalan tersebut, tapi bisa memasukkannya ke dalam Surga.


Faidah Penting :
Marah mengumpulkan kejelekan. Maka, orang yang sedang marah tidak boleh dimintakan fatwanya karena perkataannya sudah tidak bisa dikontrol. Betapa banyak kemarahan yang dikeluarkan bahkan sampai meledak-ledak, tapi berakhir dengan penyesalan.




B. Tafsir Kalimat ‘ Laa Taghdhob (Jangan Marah) ‘

Ulama menjelaskan marah datangnya di hati. Ada pun makna hadits ‘Laa taghdhob’ adalah janganlah engkau mengaplikasikan kemarahanmu dalam perbuatan dan ucapan. Ada pun marah yang berada di hati, selama ia tetap tersimpan dan perbuatan serta ucapannya tidak menyelisihi syari’at, maka orang tersebut tidak dikatakan marah. Mengapa? Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang membolak-balikkan hati kita. Hari ini kita senang, tidak lama kemudian bisa  menjadi sedih, marah. Semuanya datang ke dalam hati tanpa bisa kita kendalikan. Sesuatu yang datang ke hati pada dasarnya memang tidak bisa kita kendalikan. Yang bisa kita kendalikan hanyalah perbuatan dan tutur kata kita saja agar tidak mencerminkan emosi yang tidak benar dari hati kita.


Ibnu Rojab rohimahulloh menafsirkan ‘Laa taghdhob’ mempunyai 2 kemungkinan perkara, yaitu :


1.  Membiasakan dirimu dengan akhlak yg baik, kelemah lembutan, sopan santun, tutur kata yang baik karena jika engkau terbiasa  dengan akhlak yg baik, akhlak yang mulia, maka ketika engkau marah, marahmu tidak akan keluar dari kebaikan. 

   Jadi, artinya laa taghdhob di sini persiapkan diri dengan akhlak baik sebelum datangnya marahmu. Kalau sedang tidak marah terbiasa mengucapkan kata-kata yang keras, kaku, maka bagaimana lagi ketika marah??? Sebaliknya apabila kebaikan sudah menjadi tabiatmu, maka marahmu tidak akan jauh dari kebiasaan yang baik. Oleh karena itu, biasakan akhlak baik sebelum engkau marah. Biasakan kelembutan sebelum engkau marah karena marah menampakkan kebiasaan yang dilakukan sehari-harinya. Kalau  setiap harinya dalam keadaan tidak marah sudah terbiasa berkata kotor, ketika  marah bisa lebih banyak lagi kata-kata kotor yang keluar. Kalau sehari-harinya biasa dengan kalimat dzikir, ketika marah, akan keluar kalimat-kalimat dzikir walaupun sedikit. Ini perlu pendidikan dan pembiasaan karena hidup sejatinya penuh dengan pendidikan. Jangan pernah berpikir berhenti belajar, berhenti berubah menjadi lebih baik, pasrah dengan sifat buruk kita ‘Ah, saya kan memang dari lahir sudah begini. Biar saja lah!” Tidak. 

   Kapan kita merasa puas dengan akhlak kita, berarti disitulah awal berhentinya kita dalam melakukan perbaikan diri. Dan siapa yang tidak memperbaiki dirinya, maka dia tidak akan mengintrospeksi dirinya. Karena Orang mukmin adalah orang orang yang menyadari dirinya penuh dengan kekurangan. Tidak berhenti mendidik diri hingga kita bertemu Alloh. Mendidik untuk tidak malas ibadah, mendidik untuk cinta kepada ilmu, cinta kepada Alloh. Semuanya perlu pendidikan, perlu terus dilatih. Kalau tidak dilatih, hati akan tumpul, kalau hati sudah tumpul, maka akan hilang semangat ibadah dan memperbaiki diri.


2.  Bermakna jangan engkau aplikasikan marahmu dengan perbuatan dan perkatan yang tidak sesuai syariat

    Para ulama berkata kemarahan adalah panasnya hati, darah, dan ia tiupan syaithon sehingga jiwa menjadi panas dan marah. Dan syaithon mengalir dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah. Dan syaithon awal mulanya diciptakan dari api. Pemadamnya dengan air. Hati-hatilah Syaithon bisa menggambarkan sesuatu yang tidak kita inginkan sehingga bisa saja kita marah karena Al-Haq, tapi syaithon membuat marahnya kita tidak sesuai syari’at.



C. Jenis-jenis Marah


Marah ada2 jenis, yaitu 

1.) Marah Tercela. 
Hadits ‘Laa Taghdhob’ adalah marah yang tercela. Contoh : marah karena makhluk bukan karena Al Haq, karena diri sendiri bukan untuk Al Haq, karena fanatik golongan, marah karena Al-Haq tapi aplikasinya tidak sesuai syari’at. Siapa yang mati karena berperang di bawah bendera ashobiyah, maka dia mati bagaikkan orang yang mati dalam keadaan jahiliyyah. Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata bahwa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah marah dikarenakan dirinya dengan menghukum orang lain.


Ada faidah penting :
Dalam sebuah hadits diceritakan, ada seorang sahabat yang berulang kali meminum khomr.  Maka, Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan memukul orang tersebut. Sampai datang seorang sahabat lain lalu  berkata, “ Semoga Alloh menghinakan engkau.” Perhatikan, sahabat ini membenci minuman khomr. Semua yang ada disitu juga membenci khomr. Minum khomr itu dosa besar. Tapi, Rosululloh mengatakan kepada sahabat tersebut, “ Jangan engkau berkata seperti itu. JANGAN ENGKAU BANTU SYAITHON UNTUK MENCELAKAKAN SAUDARAMU.” Dalam riwayat lain, “ … Tapi, katakanlah : ‘ Semoga Alloh merohmatimu dan memberimu hidayah.’” Masya Alloh. Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum MEMBUATMU BERLAKU TIDAK ADIL. BERLAKU ADILLAH karena adil itu lebih mendekati kebenaran.” [ Al Qur’an]. Rosululloh menegur sahabat tersebut karena sahabat tersebut berlebihan dalam berbicara.


Dalam hadits lain diceritakan, ada seorang sahabat yang melakukan dosa besar. Sahabat yang lain berkata, “Semoga Alloh tidak mengampuni engkau.” Maka, Alloh subhanahu wa ta’ala berkata dalam kitab-NYA, “Barangsiapa yang bersumpah atas nama-KU bahwa Aku tidak mengampuni fulan, maka ketahuilah bahwa Aku telah mengampuninya dan membatalkan amalan orang yang mengatakan bahwa Aku tidak mengampuninya.”


Jadi, kepada pelaku bid’ah sekali pun tidak boleh kita berkata keji, kotor, kata-kata yang tidak sesuai syari’at. Karena Alloh tidak menyukai perkataan yang keji dan kotor. 


Orang yang marah karena agama, tidak mungkin keluar dari lisannya kata-kata yang keji. Jika keluar kata-kata keji dari lisannya, berarti marahnya telah keluar dari jalan syari’at.



2. Marah yang Terpuji
Contoh : marah karena agama Alloh, membela Rosululloh dengan syarat marahnya tidak keluar dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau agama Alloh ini dipermainkan, Rosululloh dicela, tapi kita tidak marah. Maka, perlu dipertanyakan keimanan kita. Tidak boleh membalas mereka dengan suatu balasan yang membuat mereka membalas kita dengan menghinakan Alloh dan Rosul-NYA. Termasuk juga marah kepada orang-orang yang membuat rancu agama ini, orang-orang yang membuat orang lain lari dari dakwah.


Ada faidah penting :
Ada seorang sahabat yang terlambat sholah subuh dan mengadu kepada Rosululloh bahwa si Fulan telah memanjangkan sholat Isya’ nya. Maka, Ibnu Mas’ud berkata saya tidak pernah melihat Nabi marah melebihi marahnya pada hari ini. Dan Nabi ketika dikabarkan hal itu, beliau LANGSUNG NAIK KE MIMBARNYA dan berkata kepada seluruh manusia, “ Wahai sekalian manusia, janganlah sebagian kalian membuat sebagian yang lain lari (dari Sunnah). Barangsiapa yang menjadi imam, hendaklah dia memperingan sholatnya karena di belakang kalian ada orang tua, anak kecil, orang-orang yang mempunyai hajat.” Jadi, beliau marah karena ada seorang sahabat yang berbuat baik dalam agama dengan memperpanjang sholatnya dan itu dibenarkan dalam Islam, akan tetapi hal itu ternyata menimbulkan mudhorot bagi orang lain (dengan terlambat sholat shubuh) karena sahabat itu menerapkan agama tidak sesuai tuntunan syari’at.



“Imamah yang dipakai Oleh Hewan Ternak”

Ada sebuah kisah yang dikisahkan oleh para Masyaikh kita tentang seorang pelajar yang khutbah dengan judul khutbah Imamah yang dipakai Hewan Ternak. Jadi, dulu Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh pernah berkhutbah di Markiz beliau di Dammaj. Dalam ceramahnya beliau membantah seluruh Ahlul Bid’ah yang ada di Yaman tanpa menyisakannya sedikit pun. Ada seorang tholib yang terkesan dan merasa senang dengan khutbah beliau. Akhirnya ia rekam khutbah Syaikh, ia catat, dan ia jadikan sebuah tulisan. Sampai pada suatu hari ketika musim liburan, kembalilah sang pelajar tersebut ke negerinya. Ia pun disambut hangat oleh penduduk setempat dan dimintalah untuk berkhutbah di masjid rumahnya. Pelajar itu bingung. Khutbah yang mana, ya? Tiba-tiba dia teringat dengan khutbah yang pernah ditulis. Jadilah dia bantah seluruh Ahlul Bid’ah di kampungnya tersebut tanpa tersisa. Akhirnya, sejak saat itu, seluruh Ahlussunnah dilarang berkhutbah di masjid itu. Ketika pelajar itu ditanya, mengapa kamu berkhutbah seperti itu? Jawabnya, ini adalah khutbahnya Asy Syaikh Muqbil. Iya, benar, isi khutbah Syaikh. TAPI, Syaikh berkhutbah di Markiznya yang pendengarnya adalah para penuntut ilmu yang sudah mengetahui mana Sunnah mana Bid’ah, mana syirik mana khurofat.


Faidahnya  :
Tidak semua hal yang kita dengar dari ulama bisa kita sampaikan kepada masyarakat umum. Karena setiap orang mempunyai ilmu, kedudukan, dan pemahaman yang berbeda-beda. Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu pernah berkata, “Sampaikanlah kepada manusia dengan perkataan yang mudah mereka pahami. APAKAH ENGKAU INGIN JIKA ALLOH DAN ROSUL-NYA MEREKA DUSTAKAN?” Maka, harus dilihat kondis orang-orangnya. Jangan kita menggambarkan dakwah ini dakwah yang menyeramkan, kalau tidak sangar belum Salafy. Ahlussunnah dikenal dengan orang yang senang menebarkan salam, senyum kepada saudaranya, paling mengerti cara beradab dan berakhlak yang baik karena mereka mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, dan tidak membuat orang lain lari dakwah.




D. Mawani’ul Ghodhob (Penghalang Marah) agar Tidak Meledak-ledak

1.) Pentingnya ma’rifatulloh (mengenal Alloh)
Bagaimana hubungannya? Orang yang mengenal Alloh tahu bahwa semua yang terjadi atas kehendak Alloh baik yang kita suka atau kita benci. Baik menurut kita, belum tentu baik di sisi Alloh. Jelek menurut kita, belum tentu jelek di sisi Alloh. Alloh lah yang paling tahu keadaan kita. Kalau kita memahami hal di atas dengan baik, maka kita tidak akan marah dengan takdir Alloh atas kita.


Jadikan renungan jika ingin marah-marah kepada orang lain : Apakah pantas kita marah kepada makhluk yang bermaksiat kepada kita, padahal kemaksiatan kita kepada Alloh lebih besar, tetapi ALLOH MAHA PENGAMPUN??? Apakah pantas manusia yang baru salah sedikit lantas kita berikan hukuman berat, sedangkan kita yang punya kesalahan banyak kepada Alloh, tapi Alloh memaafkan dosa kita???


Siapa yang mengenal Alloh, dia akan mengenali dirinya dan tahu bagaimana harus bersikap. Bagaimana cara mengenali Alloh? Mempelajari aqidah, asma wa shifat-NYA.


2.) Ibadah
Emosi (jiwa yang panas) ada di hati. Penyejuknya dengan beribadah. Maka orang yang banyak tilawah, berdzikir, menangis karena Alloh hatinya akan lebih lembut. ‘ala bi dzikrillahi tathmainnul qulub (dengan mengingat Alloh lah hati menjadi tenang).


Banyak ibadah yang dapat menundukkan hati sehingga dari situ Alloh memberi pertolongan dengan melembutkan hati seseorang sehingga terhindar dari panasnya emosional jiwa. Alloh juga telah mengingatkan dalam salah satu ayatnya bahwa barang siapa yang LALAI DARI MENGINGINGAT ALLOH, maka Alloh akan jadikan syaithon sebagai kawan dekatnya. Maka, orang yang paling meluap-luap marahnya adalah orang yang paling lupa kepada Robb-nya karena syaithon menjadi kawan dekatnya.


3.) Berhias dengan akhlaq yang baik
Membiasakan diri sehari-hari mengeluarkan kata-kata yang baik seperti yang sudah dijelaskan di awal tadi. Apalagi sekarang banyak media yang menyebabkan akhlaq kita menjadi jelek. Sesuatu yang jelek dianggap biasa. Yang perlu diingat bahwa akhlaq baik itu harus dilatih, harus dibiasakan.


4.) Berpikir efek buruk marah, yaitu tidak memberikan solusi, menghacurkan suasana




E. Kiat Meredakan Marah agar Menjadi Tenang

1.) Diam ketika marah.
Jangan diikutkan dengan omongan, walaupun di hati menggebu-gebu. Kadang ada bisikan harus dibilang sekarang, kalau tidak, tidak akan berubah-ubah. Benar. Tapi, tunggu tenang. Kalau lagi panas disampaikan, yang ada ‘konslet’. Berkata al jri, “ Aku tidak pernah berbicara ketika marah karena jika aku telah sadar, maka aku akan menyesal.”


2.) Membaca ta’awudz.
Rosululloh pernah melihat dua orang pemuda sedang bertengkar. Keduanya sudah saling marah. Maka, Rosulullloh bersabda, “Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’uudzu billahi minas syaithoonir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhori dan Muslim)


3.) Merubah keadaan posisi
Kalau lagi berdiri, segera duduk. Masih marah juga, segera berbaring.



4.) Wudhu
Marah itu dr api, api itu panas, sifatnya syaithon. Ada hadits jika marah, hendaklah berwudhu. Sebagian ulama mendho’ifkan hadits tersebut, termasuk Syaikh Al-ALbani. Tapi, bukan berarti tidak boleh diamalkan. Bisa diamalkan dengan menjadikannya sebagai ibadah.


5.) Mengingat keutamaan memaafkan orang lain



F. Kesimpulan :

Marah letaknya di hati. Kadang tidak bisa dihilangkan, tapi jangan diaplikasikan ke dalam bentuk perkataan dan perbuatan yang tidak sesuai syariat. Lakukan amalan tadi, maka kamu akan masuk Surga, yaitu menahan marah. Amalkan ini dalam kehidupan sehari-hari kita.




 ----------------------------------------------------------------------------------------------------

[ Faidah dari Al Ustadz Abdul Jabbar hafizhohulloh, @Masjid Al-I'tishom, Sudirman-Jakarta Pusat, 2015 ]




Tidak ada komentar: