Bismillaahirrohmaanirrohiim,
“ Tidak ada satupun
yang akan memberatkan timbangan kebaikan seorang hamba mukmin pada hari kiamat
selain dari AKHLAQ yang baik.”
[HR. Tirmidzi, dari
sahabat Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu]
----------------------------------
... MUQODDIMAH ....
Akhlak dan adab mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam agama kita. Ia adalah sesuatu yang tidak boleh kita remehkan.
Mengapa? Karena pada aqidah yang baik akan memancarkan akhlak yang baik. Dari
akhlaq yang baik akan terpancar muamalah yang benar. Betapa banyak Islam ini
dicela oleh orang-orang yang mengatasnamakan Islam karena buruknya adab dan
akhlak mereka.
Para ulama memasukkan pembahasan adab dan
akhlak dalam pembahasan aqidah dan manhaj.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh dalam Kitab beliau Al Aqidah Al Wasitihiyyah yang
merupakan kitab aqidah, kitab manhaj yang membedakan aqidahnya Ahlussunnah
dengan yang orang-orang yang bathil, kitab aqidah yang bisa dibangun darinya
ijma para salaf. Beliau berkata, “ Ahlussunnah mengajak kepada makarimil
akhlak. Termasuk aqidah Ahlussunnah mengajak kepada kebaikan akhlak, perbaikan
amal, bahkan meyakini sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam
bahwa mukmin yang sempurna keimanannya adalah yang baik akhlaknya. Termasuk pula I’tiqod
(keyakinan) Ahlussuunnah adalah mendakwahkan akhlaq.”
Berdakwah tentang akhlak bisa melalui
lisan atau perbuatan. Maka, orang yang benar-benar memahami Al Qur’an dan
Sunnah, yang benar manhajnya, adab dan akhlaknya akan baik karena dia tahu
bahwa adab dan akhlak termasuk bagian dari manhaj Ahlussunnah.
Ada sekitar lima ribu orang yang
menghadiri majelisnya Imam Ahmad rohimahulloh. Mereka hadir
tanpa mikrofon, tanpa ada wasilah untuk mempromosikannya, tapi bisa hadir lima
ribu orang. Para ulama menjelaskan diantara lima ribu orang yang hadir yang
mencatat dengan pena hanya sekitar lima ratus orang, selebihnya memperhatikan
bagaimana adabnya Imam Ahmad. Tapi, bukan berarti mereka jiping (mengaji
kuping). Hal itu karena mereka ingin sebelum mereka mempelajari ilmu ke
tingkatan yang tinggi, seperti ilmu hadits, ilmu jarh wa ta’dil, mereka
terlebih dahulu mempelajari adab beliau. Imam Ahmad juga termasuk Imam Jarh wa
Ta’dil.
Maka, dapat kita simpulkan bahwa
mempelajari adab adalah manhajnya para Salafuna Sholih. Lebih dari itu
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada kita agar memasuki Islam
secara kaffah karena Islam adalah agama yang sempurna dari berbagai sisi :
aqidah, manhaj, adab, akhlak.
Akhlaq terbagi menjadi 2 :
1. Akhlaq Jibiliyyah, yaitu
akhlak yang sudah tercipta dengan baik
Dalilnya :
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada sahabat Al Asyaj bin Qois, “ Sesungguhnya
dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Alloh, yaitu sabar (Al Hilm)
dan tenang (Al Anah). Al Asaj bin Qais berkata, ‘Wahai Rosululloh, apakah dua
perangai itu saya yang mengusahakan untuk berakhlak sabar dan tenang ataukah
Alloh telah ciptakan keduanya untukku? Beliau bersabda, “Alloh telah
menciptakanmu dalam keadaan berakhlak sabar dan tenang .” Lalu Asyaj bin Qois
berkata, “Segala puji bagi Alloh yang telah menciptakanku di atas 2 akhlaq yang
dicintai-NYA.”
2. Akhlaq Mu’tasabah, yaitu
akhlaq yang didapat dengan cara berlatih dan diusahakan. Seperti orang pintar
yang bisa pintar dengan sebab belajar. Seperti halnya juga orang yang mendengar
hadits. Ada yang sekali dengar langsung hafal, ada yang berpuluh-puluh kali
mendengar baru hafal. Seperti itulah perumpamaan akhlak. Bertingkat-tingkat.
Keduanya harus diperbaiki sejalan dengan
Al Qur’an dan Sunnah. Maka, ada sifat yang terkadang harus diusahakan dan
harus dirubah. Apakah mungkin sifat yang kasar, keras, nan kaku kita biarkan
ada di dalam diri kita dan orang lain?
Kalau ingin membiarkan sifat buruk terus
ada dalam diri kita, ada baiknya menengok sejenak kisah Umar bin
Khoththob rodhiyallohu ‘anhu sebelum beliau masuk islam.
Dulu beliau adalah orang yang sangat
keras. Saking kerasnya jika ada orang yang masuk Islam, maka beliau orang
pertama yang akan memberi hukuman. Sampai ada seorang budak yang masuk Islam
menyembunyikan keislamannya karena takut dengan beliau. Jadi, dahulu manusia
banyak yang setelah masuk islam menyembunyikan keislamannya karena takut dengan
siksaan beliau. Dan tatkala Umar masuk islam, beliau menantang dengan mengetuk
pintu rumah Abu Jahl, “ Ya abu Jahl saya Umar dan saya telah masuk islam.” Abu
jahl hanya menutup pintunya. Tetapi, setelah Umar masuk Islam, beliau mendapat
celupan-celupan agama. Shibghotallooh.. Jadilah beliau orang yang paling
lembut, paling mudah menangis, bahkan menjadi sahabat terbaik setelah Abu Bakr
Ash-Shiddiq. Inilah yang diinginkan dari perubahan akhlak yang buruk kepada
akhlak yang baik.
Kalau ditanya mana yang lebih enak?
Semuanya tergantung.
Ada orang yang sifat bawaannya tidak bisa
marah, jadi kemungkinan dia tidak bisa menikmati bagaimana susahnya menahan
marah. Orang yang sering marah, maka terbuka lahan ibadah untuknya dari
arah menahan amarah. Tidak menahan marah, tidak ada pahala dari sisi menahan
marah. Walaupun, kita katakan nikmat tertinggi dari akhlak yang baik adalah
akhlaq berupa tabiat. Tetapi, jika Alloh memberi sesuatu yang
kita anggap sebagai kekurangan, jadikanlah ia sebagai kelebihan.
Contoh :
Pemarah, pemalas è Harus
dilawan, jangan dibiarkan.
Sifat jelek jika dibiarkan => menjadi
tabiat => setelah jadi tabiat, jadi penyakit => maka, obatnya banyak
tidak bisa sedikit.
.. PEMBAHASAN AKHLAQ BAIK KALI INI
ADALAH TENTANG MARAH ..
Abdulloh bin Mubarok (seorang tabi’in, Qurun Mufadholah –generasi terbaik--) pernah ditanya oleh seseorang, “ Kumpulkan padaku 1 kalimat yang mengumpulkan semua akhlaq yang baik.” Kata beliau, “ Tingggalkan marah. “
Imam ahmad dan Ishaq bin Rowuyah juga menafsirkan akhlak yang baik adalah meninggalkan marah.
Sebagian para sahabat berkata bahwa marah
mengumpukan semua kejelekan.
Banyak kejelekan muncul dikarenakan marah.
Contoh :
- Dendam karena ada marah,
- Ghibah karena ada marah,
- Membunuh, memukul, merampas harta,
merampas hak orang lain karena ada marah.
Sampai Ibnul Qoyyim rohimahulloh
dalam Al- Fawaid menyebutkan bahwa pondasi kekaifran ada empat. Tiap
orang yang melakukan kekafiran tidak akan keluar dari 4 pondasi ini,
yaitu
1. Al-Kibr
(sombong). Iblis kafir karena kesombongannya
2. Hasad
(iri)
3. Ghodhob
(marah), dan
4. Syahwat
Dalam kesempatan lain, masih dalam Al
Fawaid, bahwa termasuk Ushul (pondasi) kemaksiatan (baik maksiat yang
kecil atau yang besar) penyebabnya adalah salah 1 dari 3 perkara
dibawah ini :
1. Ketergantungan
hati kepada selain Alloh sehingga lahir kesyirikan
2. Mengikuti
kekuatan emosional sehingga lahir kezholiman
3. Mengikuti
kekuatan syahwat sehingga lahir fahisyah (perbuatan keji), seperti zina
Marah bisa membuat seseorang tidak peduli
dengan kata-kata yang keluar dari lisannya. Bisa membuat ia tidak peduli jika
harus menjatuhkan orang yang ia benci. Maka, tidak salah jika sebagian sahabat
mengatakan bahwa kekuatan marah mengumpulkan semua kejelekan. Puncak
kebaikannya adalah meningggalkan marah.
Marah tidak terkendali berarti tidak
bisa mengendalikan dirinya. Tidak bisa mengendalikan dirinya, berarti sedang
dikendalikan Syaithon.
A. Definisi Marah
Sebagian ulama berkata : Marah adalah
bergejolaknya jiwa yang mengantarkan untuk menyakiti atau menghukum orang lain.
Definisi lain : Marah adalah gejolak dalam
jiwa yang mengakibatkan perubahan tingkah laku yang ditandai dengan memerahnya
wajah, keluarnya urat leher, mendidihnya darah, dan memerahnya mata.
Dapat menahan marah adalah ciri
orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang telah berbuat ihsan. “ …
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik pada waktu lapang maupun
sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
kesalahan orang lain. Sungguh, Alloh menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. (Ali Imron : 134).
Marah berarti sedang menampakkan kadar
dirinya di sisi Alloh…
Mempertontonkan jiwanya yang sakit..
Menunjukkan dirinya yang lemah karena
orang yang KUAT adalah orang yang dapat menahan marahnya…
Semua orang bisa menturuti emosinya.
Contoh anak bayi, anak kecil. Mereka menangis untuk menunjukkan emosisnya
karena sesuatu. Apakah mereka bisa menahannya? Tidak, karena belum sempurna
akal mereka. Maka, seperti itulah marah. Hakikatnya menampakkan kekerdilan
dirinya. Lalu apa bedanya dengan anak kecil?
Dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata berkata, "Seorang laki-laki menemui Rosulullah Shollallohu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rosululloh, ajari aku sebuah kalimat sehingga aku dapat menghafal dan memahaminya, namun jangan terlalu banyak hingga aku melupakannya!” Kemudian Rosulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah kamu marah." [HR. Bukhory, No.6616].
Dalam lafazh lain, riwayat Abu
Darda’ rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata berkata, "Seorang
laki-laki menemui Rosulullah Shollallohu 'alaihi wa sallam dan berkata, ‘“Wahai
Rosululloh, tunjukilah aku sebuah amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam
surga!” Kemudian Rosulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda,
"Janganlah kamu marah dan bagimu surga,” [HR. Thobroni]
Faidahnya :
Semangat para sahabat ketika bertanya
suatu amalan yang ditanyakan adalah amalan yang akan memasukkan mereka ke dalam
Surga. Tidak terlalu banyak amalan tersebut, tapi bisa memasukkannya ke dalam
Surga.
Faidah Penting :
Marah mengumpulkan kejelekan. Maka, orang
yang sedang marah tidak boleh dimintakan fatwanya karena perkataannya sudah
tidak bisa dikontrol. Betapa banyak kemarahan yang dikeluarkan bahkan sampai
meledak-ledak, tapi berakhir dengan penyesalan.
B. Tafsir Kalimat ‘ Laa Taghdhob (Jangan
Marah) ‘
Ulama menjelaskan marah datangnya di hati.
Ada pun makna hadits ‘Laa taghdhob’ adalah janganlah engkau mengaplikasikan
kemarahanmu dalam perbuatan dan ucapan. Ada pun marah yang berada di hati,
selama ia tetap tersimpan dan perbuatan serta ucapannya tidak menyelisihi
syari’at, maka orang tersebut tidak dikatakan marah. Mengapa? Karena Alloh
Subhanahu wa Ta’ala yang membolak-balikkan hati kita. Hari ini kita senang,
tidak lama kemudian bisa menjadi sedih, marah. Semuanya datang ke dalam
hati tanpa bisa kita kendalikan. Sesuatu yang datang ke hati pada dasarnya
memang tidak bisa kita kendalikan. Yang bisa kita kendalikan hanyalah perbuatan
dan tutur kata kita saja agar tidak mencerminkan emosi yang tidak benar dari
hati kita.
Ibnu Rojab rohimahulloh menafsirkan ‘Laa taghdhob’ mempunyai 2 kemungkinan
perkara, yaitu :
1. Membiasakan
dirimu dengan akhlak yg baik, kelemah lembutan, sopan santun, tutur kata yang
baik karena jika engkau terbiasa dengan akhlak yg baik, akhlak yang
mulia, maka ketika engkau marah, marahmu tidak akan keluar dari kebaikan.
Jadi,
artinya laa taghdhob di sini persiapkan diri dengan akhlak baik sebelum
datangnya marahmu. Kalau sedang tidak marah terbiasa mengucapkan kata-kata yang
keras, kaku, maka bagaimana lagi ketika marah??? Sebaliknya apabila kebaikan
sudah menjadi tabiatmu, maka marahmu tidak akan jauh dari kebiasaan yang baik.
Oleh karena itu, biasakan akhlak baik sebelum engkau marah. Biasakan kelembutan
sebelum engkau marah karena marah menampakkan kebiasaan yang dilakukan
sehari-harinya. Kalau setiap harinya dalam keadaan tidak marah sudah
terbiasa berkata kotor, ketika marah bisa lebih banyak lagi kata-kata
kotor yang keluar. Kalau sehari-harinya biasa dengan kalimat dzikir, ketika
marah, akan keluar kalimat-kalimat dzikir walaupun sedikit. Ini perlu
pendidikan dan pembiasaan karena hidup sejatinya penuh dengan pendidikan.
Jangan pernah berpikir berhenti belajar, berhenti berubah menjadi lebih baik,
pasrah dengan sifat buruk kita ‘Ah, saya kan memang dari lahir sudah begini.
Biar saja lah!” Tidak.
Kapan kita merasa puas dengan akhlak kita, berarti disitulah awal
berhentinya kita dalam melakukan perbaikan diri. Dan siapa yang tidak
memperbaiki dirinya, maka dia tidak akan mengintrospeksi dirinya. Karena
Orang mukmin adalah orang orang yang menyadari dirinya penuh dengan kekurangan.
Tidak berhenti mendidik diri hingga kita bertemu Alloh. Mendidik untuk tidak
malas ibadah, mendidik untuk cinta kepada ilmu, cinta kepada Alloh. Semuanya
perlu pendidikan, perlu terus dilatih. Kalau tidak dilatih, hati akan
tumpul, kalau hati sudah tumpul, maka akan hilang semangat ibadah dan
memperbaiki diri.
2. Bermakna
jangan engkau aplikasikan marahmu dengan perbuatan dan perkatan yang tidak
sesuai syariat.
Para ulama
berkata kemarahan adalah panasnya hati, darah, dan ia tiupan syaithon sehingga
jiwa menjadi panas dan marah. Dan syaithon mengalir dalam tubuh anak Adam
seperti aliran darah. Dan syaithon awal mulanya diciptakan dari api. Pemadamnya
dengan air. Hati-hatilah Syaithon bisa menggambarkan
sesuatu yang tidak kita inginkan sehingga bisa saja kita marah karena Al-Haq,
tapi syaithon membuat marahnya kita tidak sesuai syari’at.
C. Jenis-jenis Marah
Marah ada2 jenis, yaitu
1.) Marah Tercela.
Hadits ‘Laa Taghdhob’ adalah marah yang
tercela. Contoh : marah karena makhluk bukan karena Al Haq, karena diri sendiri
bukan untuk Al Haq, karena fanatik golongan, marah karena Al-Haq tapi
aplikasinya tidak sesuai syari’at. Siapa yang mati karena berperang di bawah
bendera ashobiyah, maka dia mati bagaikkan orang yang mati dalam keadaan
jahiliyyah. Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata bahwa Rosululloh
Shollallohu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah marah dikarenakan dirinya
dengan menghukum orang lain.
Ada faidah penting :
Dalam sebuah hadits diceritakan, ada
seorang sahabat yang berulang kali meminum khomr. Maka, Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan memukul orang
tersebut. Sampai datang seorang sahabat lain lalu berkata, “ Semoga Alloh
menghinakan engkau.” Perhatikan, sahabat ini membenci minuman khomr. Semua yang
ada disitu juga membenci khomr. Minum khomr itu dosa besar. Tapi, Rosululloh
mengatakan kepada sahabat tersebut, “ Jangan engkau berkata seperti itu. JANGAN
ENGKAU BANTU SYAITHON UNTUK MENCELAKAKAN SAUDARAMU.” Dalam riwayat
lain, “ … Tapi, katakanlah : ‘ Semoga Alloh merohmatimu dan memberimu
hidayah.’” Masya Alloh. Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum MEMBUATMU BERLAKU TIDAK
ADIL. BERLAKU ADILLAH karena adil itu lebih mendekati kebenaran.” [ Al
Qur’an]. Rosululloh menegur sahabat tersebut karena sahabat tersebut berlebihan
dalam berbicara.
Dalam hadits lain diceritakan, ada seorang
sahabat yang melakukan dosa besar. Sahabat yang lain berkata, “Semoga Alloh
tidak mengampuni engkau.” Maka, Alloh subhanahu wa ta’ala berkata dalam
kitab-NYA, “Barangsiapa yang bersumpah atas nama-KU bahwa Aku tidak mengampuni
fulan, maka ketahuilah bahwa Aku telah mengampuninya dan membatalkan amalan
orang yang mengatakan bahwa Aku tidak mengampuninya.”
Jadi, kepada pelaku bid’ah sekali pun
tidak boleh kita berkata keji, kotor, kata-kata yang tidak sesuai syari’at.
Karena Alloh tidak menyukai perkataan yang keji dan kotor.
Orang yang marah karena agama, tidak
mungkin keluar dari lisannya kata-kata yang keji. Jika keluar kata-kata keji
dari lisannya, berarti marahnya telah keluar dari jalan syari’at.
2. Marah yang Terpuji.
Contoh : marah karena agama Alloh, membela
Rosululloh dengan syarat marahnya tidak keluar dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Kalau agama Alloh ini dipermainkan, Rosululloh dicela, tapi kita tidak marah.
Maka, perlu dipertanyakan keimanan kita. Tidak boleh membalas mereka dengan
suatu balasan yang membuat mereka membalas kita dengan menghinakan Alloh dan
Rosul-NYA. Termasuk juga marah kepada orang-orang yang membuat rancu agama ini,
orang-orang yang membuat orang lain lari dari dakwah.
Ada faidah penting :
Ada seorang sahabat yang terlambat sholah
subuh dan mengadu kepada Rosululloh bahwa si Fulan telah memanjangkan sholat
Isya’ nya. Maka, Ibnu Mas’ud berkata saya tidak pernah melihat Nabi marah
melebihi marahnya pada hari ini. Dan Nabi ketika dikabarkan hal itu, beliau
LANGSUNG NAIK KE MIMBARNYA dan berkata kepada seluruh manusia, “ Wahai sekalian
manusia, janganlah sebagian kalian membuat sebagian yang lain lari (dari
Sunnah). Barangsiapa yang menjadi imam, hendaklah dia memperingan sholatnya
karena di belakang kalian ada orang tua, anak kecil, orang-orang yang mempunyai
hajat.” Jadi, beliau marah karena ada seorang sahabat yang berbuat baik dalam
agama dengan memperpanjang sholatnya dan itu dibenarkan dalam Islam, akan
tetapi hal itu ternyata menimbulkan mudhorot bagi orang lain (dengan terlambat
sholat shubuh) karena sahabat itu menerapkan agama tidak sesuai tuntunan
syari’at.
“Imamah yang dipakai Oleh Hewan Ternak”
Ada sebuah kisah yang dikisahkan oleh para
Masyaikh kita tentang seorang pelajar yang khutbah dengan judul khutbah Imamah
yang dipakai Hewan Ternak. Jadi, dulu Asy-Syaikh Muqbil rohimahulloh pernah
berkhutbah di Markiz beliau di Dammaj. Dalam ceramahnya beliau membantah
seluruh Ahlul Bid’ah yang ada di Yaman tanpa menyisakannya sedikit pun. Ada
seorang tholib yang terkesan dan merasa senang dengan khutbah beliau. Akhirnya
ia rekam khutbah Syaikh, ia catat, dan ia jadikan sebuah tulisan. Sampai pada
suatu hari ketika musim liburan, kembalilah sang pelajar tersebut ke negerinya.
Ia pun disambut hangat oleh penduduk setempat dan dimintalah untuk berkhutbah
di masjid rumahnya. Pelajar itu bingung. Khutbah yang mana, ya? Tiba-tiba dia
teringat dengan khutbah yang pernah ditulis. Jadilah dia bantah seluruh Ahlul
Bid’ah di kampungnya tersebut tanpa tersisa. Akhirnya, sejak saat itu, seluruh
Ahlussunnah dilarang berkhutbah di masjid itu. Ketika pelajar itu ditanya,
mengapa kamu berkhutbah seperti itu? Jawabnya, ini adalah khutbahnya Asy Syaikh
Muqbil. Iya, benar, isi khutbah Syaikh. TAPI, Syaikh berkhutbah di Markiznya
yang pendengarnya adalah para penuntut ilmu yang sudah mengetahui mana Sunnah
mana Bid’ah, mana syirik mana khurofat.
Faidahnya :
Tidak semua hal yang kita dengar dari
ulama bisa kita sampaikan kepada masyarakat umum. Karena setiap orang mempunyai
ilmu, kedudukan, dan pemahaman yang berbeda-beda. Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu
‘anhu pernah berkata, “Sampaikanlah kepada manusia dengan perkataan yang mudah
mereka pahami. APAKAH ENGKAU INGIN JIKA ALLOH DAN ROSUL-NYA MEREKA
DUSTAKAN?” Maka, harus dilihat kondis orang-orangnya. Jangan kita
menggambarkan dakwah ini dakwah yang menyeramkan, kalau tidak sangar belum
Salafy. Ahlussunnah dikenal dengan orang yang senang menebarkan salam, senyum
kepada saudaranya, paling mengerti cara beradab dan berakhlak yang baik karena
mereka mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, dan tidak membuat orang lain lari
dakwah.
D. Mawani’ul Ghodhob (Penghalang Marah)
agar Tidak Meledak-ledak
1.) Pentingnya ma’rifatulloh
(mengenal Alloh)
Bagaimana hubungannya? Orang yang mengenal
Alloh tahu bahwa semua yang terjadi atas kehendak Alloh baik yang kita suka
atau kita benci. Baik menurut kita, belum tentu baik di sisi Alloh. Jelek
menurut kita, belum tentu jelek di sisi Alloh. Alloh lah yang paling tahu
keadaan kita. Kalau kita memahami hal di atas dengan baik, maka kita tidak akan
marah dengan takdir Alloh atas kita.
Jadikan renungan jika ingin marah-marah
kepada orang lain : Apakah pantas kita marah kepada makhluk yang bermaksiat
kepada kita, padahal kemaksiatan kita kepada Alloh lebih besar, tetapi ALLOH
MAHA PENGAMPUN??? Apakah pantas manusia yang baru salah sedikit lantas kita
berikan hukuman berat, sedangkan kita yang punya kesalahan banyak kepada Alloh,
tapi Alloh memaafkan dosa kita???
Siapa yang mengenal Alloh, dia akan
mengenali dirinya dan tahu bagaimana harus bersikap. Bagaimana cara mengenali
Alloh? Mempelajari aqidah, asma wa shifat-NYA.
2.) Ibadah
Emosi (jiwa yang panas) ada di hati.
Penyejuknya dengan beribadah. Maka orang yang banyak tilawah, berdzikir,
menangis karena Alloh hatinya akan lebih lembut. ‘ala bi dzikrillahi
tathmainnul qulub (dengan mengingat Alloh lah hati menjadi tenang).
Banyak ibadah yang dapat menundukkan hati
sehingga dari situ Alloh memberi pertolongan dengan melembutkan hati seseorang
sehingga terhindar dari panasnya emosional jiwa. Alloh juga telah mengingatkan
dalam salah satu ayatnya bahwa barang siapa yang LALAI DARI MENGINGINGAT ALLOH,
maka Alloh akan jadikan syaithon sebagai kawan dekatnya. Maka, orang yang
paling meluap-luap marahnya adalah orang yang paling lupa kepada Robb-nya
karena syaithon menjadi kawan dekatnya.
3.) Berhias dengan akhlaq yang
baik.
Membiasakan diri sehari-hari mengeluarkan
kata-kata yang baik seperti yang sudah dijelaskan di awal tadi. Apalagi
sekarang banyak media yang menyebabkan akhlaq kita menjadi jelek. Sesuatu yang
jelek dianggap biasa. Yang perlu diingat bahwa akhlaq baik itu harus dilatih,
harus dibiasakan.
4.) Berpikir efek buruk marah,
yaitu tidak memberikan solusi, menghacurkan suasana
E. Kiat Meredakan Marah agar Menjadi Tenang
1.) Diam ketika marah.
Jangan diikutkan dengan omongan, walaupun
di hati menggebu-gebu. Kadang ada bisikan harus dibilang sekarang, kalau tidak,
tidak akan berubah-ubah. Benar. Tapi, tunggu tenang. Kalau lagi panas
disampaikan, yang ada ‘konslet’. Berkata al jri, “ Aku tidak pernah berbicara
ketika marah karena jika aku telah sadar, maka aku akan menyesal.”
2.) Membaca ta’awudz.
Rosululloh pernah melihat dua orang pemuda
sedang bertengkar. Keduanya sudah saling marah. Maka, Rosulullloh bersabda,
“Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya
akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’uudzu billahi minas syaithoonir
rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhori dan Muslim)
3.) Merubah keadaan posisi
Kalau lagi berdiri, segera duduk. Masih
marah juga, segera berbaring.
4.) Wudhu
Marah itu dr api, api itu panas, sifatnya
syaithon. Ada hadits jika marah, hendaklah berwudhu. Sebagian ulama
mendho’ifkan hadits tersebut, termasuk Syaikh Al-ALbani. Tapi, bukan berarti
tidak boleh diamalkan. Bisa diamalkan dengan menjadikannya sebagai ibadah.
5.) Mengingat keutamaan memaafkan
orang lain
F. Kesimpulan :
Marah letaknya di hati. Kadang tidak bisa
dihilangkan, tapi jangan diaplikasikan ke dalam bentuk perkataan dan perbuatan
yang tidak sesuai syariat. Lakukan amalan tadi, maka kamu akan masuk Surga,
yaitu menahan marah. Amalkan ini dalam kehidupan sehari-hari kita.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
[ Faidah dari Al Ustadz Abdul Jabbar
hafizhohulloh, @Masjid Al-I'tishom, Sudirman-Jakarta Pusat, 2015 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar